Aunul
Ma’bud adalah nama kitab karangan Abu
al-Tayyib Muhammad Syams al-Haqq bin Amir ‘Ali bin Maqsud ‘Ali al-Siddiqi
al-‘Adzim Abadi yang merupakan salah satu syarh dari Sunan
Abu Daud karya Abu Daud al-Sijistani. Abu al-Tayyib lahir pada
akhir bulan Dzulqa’dah 1273 H dan wafat 11 Rajab 1320 H waktu maghrib
di Tha’un.[1]Sebagai
seorang ulama, beliau pernah pergi ke Dihli untuk berguru pada Syaikh Nadzir
Husain al-Dihlawi, kemudian kembali ke negara asal beliau tahun 1302 H. Selang
beberapa waktu kemudian Abu Tayyib kembali lagi ke Dihli untuk ke dua kalinya
serta menetap di sana selama tiga tahun dan belajar dari Syaikh Nadzir Husain
al-DihlawiKutub al-Sittah, Muwatta’, Sunan al-Darimi, Dar al-Qutni,
dan Tafsir Jalalain. Setelah merasa cukup dan telah menguasai
beberapa Ilmu Kitab, Sunnah, serta Ilmu lain yang berhubungan dengannya, Abu
al-Tayyib kembali ke negara beliau (Diyanwan) guna mengamalkan ilmu yang telah
beliau kuasai.
Selain berguru pada Syaikh Nadzir Husain al-Dihlawi, Abu
Tayyib juga pernah berguru pada Syaikh Husain bin Mahsin al-Anshari, Luthfi
al-‘Ali al-Bahari, Nur Ahmad al-Diyanwi, Fadhlullah al-Luknawi, Basyiruddin
al-Qinwaji, Abdullatif al-Siddiqi, dan masih banyak lagi guru-guru beliau yang
lain. Sedang murid beliau sangat banyak dan mayoritas tersebar di Kairo Hindia,
adapun murid beliau yang amat tersohor adalah Syaikh Muhammad Abdurrahman
al-Mibarkafuri (pengarang Tuhfatul Ahwadzi).
Abu al-Tayyib merupakan salah satu dari sekian banyak
pembesar ahli hadis di Hindia yang memperjuangkan pergerakan Sunnah dan Salaf,
disamping itu beliau juga termasuk salah satu orang terkemuka di Lebanon.
Latar Belakang Penulisan Kitab
Kitab Sunan Abu Daud karangan Abu Daud
al-Sijistani adalah salah satu dari sekian banyak kitab hadis yang mana isinya
adalah hadis-hadis yang berkenaan dengan hukum, yang seringkali dipakai Hujjah
oleh kebanyakan ahli Irak, Mesir, dan juga para ahli Ilmu lain dari
berbagi negara. Kitab ini pada mulanya dicetak di Hindia dan Mesir, namun
demikian dari kedua cetakan ini banyak ditemukan kesalahan, akan tetapi cetakan
Mesir masih jauh lebih bagus kualitasnya dibanding cetakan Hindia.
Adapun penulisan hadis-hadis dalam Sunan Abu Daud tidak
disertai dengan adanya penjelasan atau ungkapan akan maksud yang ingin dicapai
oleh masing-masing hadis tersebut, sampai suatu ketika al-Fadhil al-Jalil Abu
al-Tayyib Muhammad al-Syahir Syamsuddin al-Haq al-Adzim yang merupakan murid
dari Nadzir Husain al-Dihlawi menceritakan bahwa salah seorang dari Ulama hadis
Hindia yang bernama Abdul Aziz bin Waliyullah al-Dihlawi mempunyai keinginan
untuk mengungkap kesulitan-kesulitan juga maksud yang ingin dituju hadis-hadis
tersebut serta membenarkan kesalahan yang banyak ditemukan para ulama, dan
keinginan beliau ini benar-benar terwujud dan terbukti dengan ditemukannya
salinan kitab Sunan tersebut yang mana dalam menyalinnya beliau mulai dari awal
tema sampai akhir tanpa meninggalkan satu tema pun yang menurut kebanyakan
orang itu susah difahami maksudnya. Kemudian salinan kitab itu sampai pada
Syaikh Nadzir Husain, sampai suatu ketika datang peristiwa ayyam
fitnah di Hindia yang menyebabkan salinan kitabSunan Abu Daud tersebut
hilang dan ini mengakibatkan Syaikh Nadzir Husain sedih berlarut-larut sehingga
beliau berkata: ”Andaikata ada seseorang yang menemukan kitab itu maka aku akan
membelinya dengan harga yang mahal serta memberinya imbalan yang pantas”. Dan
ketika Abu Tayyib mendengar berita itu, beliau merasa iba dan timbul dihatinya
keinginan untuk mencurahkan segala jiwa dan raga untuk mengabdikan diri guna
mencari kitab tersebut ( Salinan Sunan Abu Daud ). Dan
akhirnya beliau berhasil menemukan salinan kitab itu yang telah digandakan dan
berjumlah sekitar sebelas buku, diantaranya ditemukan di Makkah dan Hindia yang
beliau dapat dengan cara membelinya, dan sebagian yang lain beliau temukan dari
hasil pinjaman Ahli al-Fadl dan Kamal.
Pada mulanya salinan Sunan Abu Daud yang
dikenal juga sebagai syarhnya dicetak dalam satu kitab dengan
pembahasan yang detail dan terperinci, kitab itu dikenal dengan nama شرح كبير "غاية المقصود شرح أبي داود" .
yang kemudian isi kitab tersebut disempurnakan oleh Abu Tayyib, dengan
memberikan tambahan penjelasan dan pemaparan yang detail dan terperinci akan
beberapa pendapat ulama dalam mensyarahi suatu lafadz hadis dengan menyertakan
dalil atau hujjjah masing-masing, selain itu dijelaskan juga mana diantara
pendapat itu yang rajih juga penjelasan mengenai sanad hadis
tersebut apakah tercacat, terdapat ‘illah atau
tidak.Penyempurnaan kitab ini memakan waktu panjang dan sampai sekarang belum
terselesaikan juga, dan ketika Abu Tayyib ditanya oleh salah seorang ulama
kapan kitab itu selesai disempurnakan? Beliau menjwab “Aku belum tahu kapan
kitab ini akan sempurna”. Selain menyempurnakan kitab غاية المقصود Abu At-Tayyib
juga berinisiatif membuat ringkasan kitab syarh tersebut
dengan hanya memaparkan hadis dan menguraikan penjelasan singkat akan maknanya
serta kuaitas hadis tersebut. Namun demikian ada sebagian hadis tertentu yang
mana dirasa perlu untuk dijelaskan secara rinci dan perlu untuk mencantumkan
pendapat beberapa ulama maka beliau mencantumkannnya.
Meskipun Kitab غاية المقصود شرح أبي داود belum
benar-benar sempurna, namun sudah sempat dicetak beberapa kali. Namun demikian,
kitab induk dari Aunul Ma’budini kalah tenar dibandingkan dengan
Mukhtasarnya “عون المعبود” yang
sudah mendunia ditelinga semua kalangan. Selain ketenaran kitab “عون المعبود” mengalahkan kitab
induknya, kitab syarah ini juga mengalahkan kitab-kitab syarah lain Sunan
Abu Daud.[2] Salah
satu bukti ketenaran kitab “عون
المعبود” adalah banyaknya kalangan ulama dan masyarakat pada umumnya
yang berlomba-lomba untuk mengkaji dan membahasnya dan tidak jarang kita temukan
banyak dari mereka yang mendapatkan honor dari pengkajiannya. Perhatian besar
dari ulama’ dan masyarakat inilah yang akhirnya bisa mengobati kesedihan Syaikh
Nadzir terdahulu yang disebabkan akan hilangnya kitab salinan kitab Sunan
Abu Daud (Syarh Sunan Abu Daud).
Terselesaikannya Syarh Kitab Sunan “عون المعبود” ini tidak
terlepas juga dari usaha para ulama lain yang siang malam ikut mencurahkan dan
menyumbangkan tenaga serta fikiran, adapun diantara ulama-ulama tersebut adalah
saudara Abu Tayyib sendiri yang terkecil bernama Muhammad Asyraf al-Ma’ruf
Bisyarf al-Haqq al-‘Adzim Abadi, al-Maulawi Abdirrahman al-Mihar, Dzul Qard
an-Nafis al-Fathin al-Dzaki al-Maulawi Abu Abdilah Idris, as-Shalih al-Barr
al-Hajj Abdil Jabbar, dan ulama-ulama lain dari Ahli Fadhl. Disebabkan karena
banyaknya ulama yang ikut serta dalam pensyarahan hadis dalam Sunan Abu
Daud pada kitab ‘Aunul Ma’bud, menimbulkan perbedaan
pendapat mengenai siapakah sebenarnya pengarang kitab syarah “عون المعبود” tersebut. Satu
pendapat mengemukakan bahwa pengarang “عون المعبود” adalah Abu
Tayyib, namun di sisi lain ada segolongan yang menyatakan bahwa pengarang “عون المعبود” adalah saudara
Abu Tayyib yang terkecil bernama Muhammad Asyraf al-Ma’ruf Bisyarf al-Haqq
al-‘Adzim Abadi. Golongan yang menyatakan bahwa Aunul Ma’bud adalah
karangan adik Abu Tayyib (Muhammad Asyraf) berhujjah dengan adanya perkataan
Abu Tayyib pada adiknya ”Penjelasan hadis pada Kitab Syarahku “Ghayah
al-Maqsud” amatlah panjang lebar dan mendetail sehingga aku tidak tahu
kapan bisa menyelesaikannya sebab hal itu membutuhkan waktu yang panjang, oleh
karenanya aku memerintahkan padamu untuk mengarang kitab ringkasan dariGhayah
al-Maqsud (Aunul Ma’bud),” dengan menjanjikan bahwa pada waktu
pengarangan kitab ringkasan tersebut, Abu tayyib berjanji akan membantunya
”. Selain itu pada jilid I dan II Aunul Ma’bud cetakan
Hindia di sana tercantum nama Muhammad Asyraf sebagai orang yang telah
menyelesaikan 2 Jilid pertama. Namun demikian pendapat ini dibantah oleh
golongan yang menyatakan bahwa pengarangAunul Ma’bud adalah Abu
Tayyib dengan hujjah bahwa pada dua Jilid terakhir kitabAunul Ma’bud (III
dan IV) di sana dijelaskan bahwa orang yang berhasil menyelesaikan pengarangan
kitab Aunul Ma’bud adalah Abu Tayyib, dengan adanya argumen
ini maka argumen yang menyatakan bahwa pengarang Aunul Ma’bud adalah
Muhammad Asyraf tidaklah valid. Adapun hujjah lain yang menguatkan bahwa Abu
tyyib adalah pengarang yang sebenarnya adalah pernyataan beliau pada akhir
jilid empat bahwa penisbatan 2 jilid pertama pada saudaranya adalah dikarenakan
diantara sekian banyak orang yang yang tercantum pada lajnah pengarangan kitab,
yang paling besar peranannya dibanding anggota yang lain adalah adik beliau
yakni Muhammad Asyraf.
Namun demikian ada golongan lain yang menyatakan bahwa
pengarang Aunul Ma’bud tidak hanya satu orang, melainkan dua orang, yakni:
1. Syams al-Haqq Abu al-Tayyib ( Nama yang tercantum
sebagai pengarang kitab pada sampul Aunul Ma’bud, beliau adalah
orang yang memberikan Syarah hadis dan juga hal lain yang berhubungan dengan
permasalahan fiqh).
2. Syaraf al-Haqq ( Orang yang telah memberikan syarah
hadis dengan bentuk syarah lughawi pada setiap lafadz dan
keterangan-keterangan lain yang berhubungan dengan susunan kaedah nahwiyah)
Sistematika dan Jumlah Hadis dalam Syarah Sunan Abu Daud
Berdasarkan keterangan yang didapat dari Muqaddimah kitab
ini, jumlah hadis yang tercantum dalam syarh ini sama halnya
dengan jumlah hadis yang ada padaSunan Abu Daud sekitar 4800 hadis,
namun ada juga sebagian yang mengatakan bahwa jumlahnya sekitar 5000 lebih.
Akan tetapi berdasarkan keterangan yang ada dalam paparan Muqaddimah jumlah
hadis yang mendekati kebenaran adalah sekitar 4800.[3]
Kitab ini terdiiri dari emapt jilid besar yang mana tiga
jilid pertama telah dicetak sewaktu Syaikh Nadzir Husain al-Dihlawi masih
hidup, sedang satu jilid terakhir (Jilid empat) sempurna dicetak pada tahun
berikutnya setelah beliau wafat tepatnya pada bulan Safar 1322 H. Kitab Syarah
ini terdiri dari 35 Bab besar yag dimulai dengan Babطهارة dan diakhiri dengan Bab الأدب.[4]
Metode Pensyarahan Kitab
Adapun Metode yang dipakai oleh al-Fadhil al-Jalil Abu
al-Tayyib Muhammad al-Syahir Syamsuddin al-Haq al-Adzim Abadi dalam mensyarahi
hadis-hadis dalam kitabAunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Daud adalah
dengan menggunakan metode ijmali,yakni menjelaskan hadis sesuai
dengan urutan dalam kitab hadis secara ringkas dengan menggunakan bahasa yang
mudah difahami, [5] pensyarahan
hadis dengan modelijmali ini tidak memberikan ruang bagi pensyarah
untuk lebih banyak mengemukakan pendapat dan ide-ide dari beberapa ulama lain,
karena itu penjelasan sangat umum dan sangat ringkas. Namun demikian tidak
menutup kemungkinan penjelasan pada hadis tertentu juga diberikan agak luas,
tetapi tidak seluas metode tahlili dan Muqarin. [6]
Contoh Pensyarahan Hadis:
ó Contoh I :
الصوم "في صوم المحّرم"
ó حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ
أَبِي بِشْرٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ
بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلَاةِ
بَعْدَ الْمَفْرُوضَةِ صَلَاةٌ مِنْ اللَّيْلِ لَمْ يَقُلْ قُتَيْبَةُ شَهْرٌ
قَالَ رَمَضَانُ[7]
قَالَ صَاحِبُ عَوْنِ الْمَعْبُودِ :
( عَنْ أَبِي بِشْر )
: بِكَسْرِ الْبَاء هَكَذَا فِي أَكْثَر النُّسَخ
وَكَذَا فِي الْأَطْرَاف ، وَفِي بَعْض النُّسَخ أَبُو بَشِير بِزِيَادَةِ الْيَاء
وَلَا يَصِحّ
( أَفْضَل الصِّيَام بَعْد شَهْر رَمَضَان شَهْر
اللَّه الْمُحَرَّم )
: تَصْرِيح بِأَنَّهُ أَفْضَل الْمَشْهُور
لِلصَّوْمِ . وَأَمَّا إِكْثَار النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ
صَوْم شَعْبَان دُون الْمُحَرَّم فَجَوَابه مِنْ وَجْهَيْنِ أَحَدهمَا لَعَلَّهُ
إِنَّمَا عَلِمَ فَضْله فِي آخِر حَيَاته ، وَالثَّانِي لَعَلَّهُ يَعْرِض فِيهِ
أَعْذَار مِنْ سَفَر أَوْ مَرَض أَوْ غَيْرهمَا
( وَإِنَّ أَفْضَل الصَّلَاة بَعْد الْمَفْرُوضَة
صَلَاة مِنْ اللَّيْل )
: فِيهِ دَلِيل لِمَا اِتَّفَقَ الْعُلَمَاء
عَلَيْهِ أَنَّ تَطَوُّع اللَّيْل أَفْضَل مِنْ تَطَوُّع النَّهَار ، وَفِيهِ
حُجَّة لِأَبِي إِسْحَاق الْمَرْوَزِيِّ وَمَنْ وَافَقَهُ صَلَاة اللَّيْل أَفْضَل
مِنْ السُّنَن الرَّاتِبَة . وَقَالَ أَكْثَر الْعُلَمَاء : الرَّوَاتِب أَفْضَل
لِأَنَّهَا تُشْبِه الْفَرَائِض وَالْأَوَّل أَقْوَى وَأَوْفَق وَاللَّهُ أَعْلَم
، ذَكَرَهُ النَّوَوِيّ .
قَالَ الْمُنْذِرِيُّ : وَأَخْرَجَهُ مُسْلِم
وَالتِّرْمِذِيّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْن مَاجَهْ .
تَعْلِيقُ الْحَافِظِ ابْنِ الْقَيِّمِ :
قَالَ الْحَافِظ شَمْس الدِّين اِبْن الْقَيِّم
رَحِمه اللَّه :
وَقَدْ رَوَاهُ شُعْبَة عَنْ أَبِي بِشْر عَنْ
حُمَيْد بْن عَبْد الرَّحْمَن عَنْ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مُرْسَلًا ، فَاخْتَلَفَ فِيهِ شُعْبَة وَأَبُو عَوَانَة ، فَقَالَ أَبُو عَوَانَة
، عَنْ أَبِي بِشْر حُمَيْد بْن عَبْد الرَّحْمَن عَنْ أَبِي هُرَيْرَة . وَقَالَ
شُعْبَة : عَنْ أَبِي بِشْر عَنْ حُمَيْد عَنْ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، وَرَجَّحَ الدَّارَقُطْنِيُّ إِرْسَالَهُ .
Pengarang
Aunul Ma’bud berkata:
Diriwayatkan
dari Abu Bisyar (Huruf ba’ di sini dikasrah, dan
inilah yang banyak dijumpai dalam tulisan ), disebagian tulisan ditemukan juga
dengan bacaan Abu Basyir (huruf ba’ difathah dan terdapat
tambahan huruf ya’ setelah huruf Syin), namun demikian
tulisan seperti ini tidaklah dibenarkan.
( أَفْضَل الصِّيَام بَعْد شَهْر رَمَضَان شَهْر اللَّه
الْمُحَرَّم )
“Penegasan
bahwa paling utamanya bulan untuk mengerjakan puasa setelah bulanRamadhan adalah Muharram.
Namun demikian Nabi lebih sering berpuasa pada bulanSya’ban tidak
pada bulan Muharram. Adapun jawaban dari apa yang diperbuat Nabi
ini ada dua segi, Pertama, keutamaan bulan Muharram pada
hadis ini baru diketahui di akhir masa Rasulullah (beberapa waktu sebelum
beliau meninggal). Kedua, Sewaktu Nabi akan berpuasa Muharram seringkali
beliau mendapati udzhur (baik sebab bepergian, sakit, atau
yang lainnya).”
( وَإِنَّ أَفْضَل الصَّلَاة بَعْد الْمَفْرُوضَة
صَلَاة مِنْ اللَّيْل )
Hadis ini adalah dalil yang dipakai para ulama
atas keyakinan mereka bahwa perkara sunnah yang dilakukan di malam hari
itu lebih utama dibanding yang dilakukan di siang hari. Ini merupakan hujjah
yang dipegang Abu Ishaq al-Marwazi dan orang yang sependapat dengannya yang
mengatakan bahwa shalat sunnah malam (tahjjud) lebih utama dibandingkan shalat
sunnah rawatib. Kebanyakan ulama’ menyatakan bahwa shalat rawatib lebih utama,
hal ini dikarenakan shalat rawatib adalah yang shalat yang megiringi shalat
fardlu. An-Nawawi berkata: Adapun diantara kedua pendapat tersebut yang kuat
dan paling benar hanyalah Allah yang mengetahuinya.
Al-Mundziri berkata: hadis ini diriwayatkan juga
oleh Muslim, Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibn Majah.
Ta’liq Ibn al-Qayyim:
Ibn al-Qayyim berkata: Rentetan jalur sanad hadis
di atas adalah Syu’bah dari Abi Bisyar dari Humaid bin Abdirrahman dari Nabi SAW,
yang mana ini tergolong hadisMursal. Disamping itu, ditemukan
perbedaan pendapat mengenai jalur sanad hadis ini, diantaranya ada yang
mengatakan bahwa sanad hadisnya adalah Abu ‘Iwanah dari Abu Bisyar dari
Humaid dari Abu Hurairah, ada juga yang mengatakan kalau sanadnya adalah
Syu’bah dari Abu Bisyar dari Humaid dari Nabi SAW, adapun informasi mengenai
kemursalan hadis tersebut dikuatkan oleh ad-Dar al-Qutni.
ó Contoh II:
الأطعمة "في
أكل لحوم الخيل"
ó حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ
عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ قَالَ نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ
خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ وَأَذِنَ لَنَا فِي لُحُومِ الْخَيْلِ[8]
قَالَ صَاحِبُ عَوْنِ الْمَعْبُودِ :
( عَنْ مُحَمَّد بْن عَلِيّ )
: أَيْ اِبْن الْحُسَيْن بْن عَلِيّ وَهُوَ
الْبَاقِر أَبُو جَعْفَر
( يَوْم خَيْبَر عَنْ لُحُوم الْحُمُر )
: زَادَ مُسْلِم فِي رِوَايَته الْأَهْلِيَّة
( وَأَذِنَ لَنَا فِي لُحُوم الْخَيْل )
: قَالَ النَّوَوِيّ : اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِي
إِبَاحَة لُحُوم الْخَيْل ، فَمَذْهَب الشَّافِعِيّ وَالْجُمْهُور مِنْ السَّلَف
وَالْخَلَف أَنَّهُ مُبَاح لَا كَرَاهِيَة فِيهِ ، وَبِهِ قَالَ أَحْمَد
وَإِسْحَاق وَأَبُو يُوسُف وَمُحَمَّد وَجَمَاهِير الْمُحَدِّثِينَ ، وَكَرِهَهَا
طَائِفَة مِنْهُمْ اِبْن عَبَّاس وَالْحَكَم وَمَالِك وَأَبُو حَنِيفَة
وَاحْتَجُّوا بِقَوْلِهِ تَعَالَى { وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ
لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً } وَلَمْ يَذْكُر الْأَكْل ، وَذَكَرَ الْأَكْل مِنْ
الْإِنْعَام فِي الْآيَة الَّتِي قَبْلهَا وَبِحَدِيثِ صَالِح بْن يَحْيَى بْن
الْمِقْدَام عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدّه عَنْ خَالِد بْن الْوَلِيد " أَنَّ
رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ لُحُوم الْخَيْل
" الْحَدِيث .
قُلْت : وَهُوَ الْحَدِيث الْآتِي فِي آخِر الْبَاب
، وَيَأْتِي الْكَلَام عَلَيْهِ . قَالَ : وَاحْتَجَّ الْجُمْهُور بِأَحَادِيث
الْإِبَاحَة الَّتِي ذَكَرَهَا مُسْلِم وَغَيْره ، وَهِيَ صَحِيحَة صَرِيحَة ،
وَبِأَحَادِيث أُخْرَى صَحِيحَة جَاءَتْ بِالْإِبَاحَةِ ، وَلَمْ يَثْبُت فِي
النَّهْي حَدِيث . وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء مِنْ أَئِمَّة الْحَدِيث عَلَى أَنَّ
حَدِيث صَالِح بْن يَحْيَى بْن الْمِقْدَام ضَعِيف ، وَقَالَ بَعْضهمْ هُوَ
مَنْسُوخ .
وَأَمَّا الْآيَة فَأَجَابُوا عَنْهَا بِأَنَّ
ذِكْر الرُّكُوب وَالزِّينَة لَا يَدُلّ عَلَى أَنَّ مَنْفَعَتهمَا مُخْتَصَّة
بِذَلِكَ ، وَإِنَّمَا خُصَّ هَذَانِ بِالذِّكْرِ لِأَنَّهُمَا مُعْظَم
الْمَقْصُود مِنْ الْخَيْل ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى { حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ
الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ } فَذَكَرَ اللَّحْمَ لِأَنَّهُ
أَعْظَمُ الْمَقْصُود وَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى تَحْرِيم شَحْمه
وَدَمه وَسَائِر أَجْزَائِهِ ، قَالُوا : وَلِهَذَا سَكَتَ عَنْ ذِكْر حَمْل
الْأَثْقَال عَلَى الْخَيْل مَعَ قَوْله تَعَالَى فِي الْإِنْعَام { وَتَحْمِلُ
أَثْقَالَكُمْ } وَلَمْ يَلْزَم مِنْ هَذَا تَحْرِيم حَمْل الْأَثْقَال عَلَى
الْخَيْل اِنْتَهَى مُخْتَصَرًا . قَالَ الْمُنْذِرِيُّ : وَأَخْرَجَهُ
الْبُخَارِيّ وَمُسْلِم وَالنَّسَائِيُّ . وَقَالَ : وَمَا أَعْلَمُ أَحَدًا
وَافَقَ حَمَّاد بْن زَيْد عَلَى مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ .
Pengarang
Aunul Ma’bud berkata:
Diriwayatkan
dari Muhammad bin ‘Ali ( beliau adalah putra al-Husain bin ‘Ali).
( يَوْم خَيْبَر عَنْ لُحُوم الْحُمُر )
Nabi melarang memakan daging himar pada perang
Haibar, ini adalah tambahan lafadz dalam riwayat Muslim.
( وَأَذِنَ لَنَا فِي لُحُوم الْخَيْل )
An-Nawawi berkata: ”Ulama berbeda pendapat dalam
menyikapi masalah boleh tidaknya memakan daging kuda. Madzhab Syafi’i dan
jumhur ulama ( salaf dan khallaf ) mengatakan bahwa memakan daging kuda tidak
ada larangan (halal) demikian juga Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf, Muhammad, dan
segolongan ulama Muhadditsin, sedang Ibnu Abbas, al-Hakim, Malik, dan Abu
Hanifah melarangnya dengan berhujjah pada firmn Allah وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ
لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَة, selain itu dterangkan juga pada hadis
riwayat Shalih bin Yahya bin al-Miqdam dari bapaknya dari kakeknya dari Khalid
bin Walid " أَنَّ رَسُول اللَّه
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ لُحُوم الْخَيْل
" . Sedang golongan yang menghalalkannya berhujjah pada hadis riwayat
Muslim yang berkualitas shahih yang menjelaskan akan kebolehannya, dan pada
hadis shahih lainnya yang tidak menetapkan akan keharaman memakannya. Mayoritas
ulama hadis sepakat bahwa hadis riwayat Shalih bin Yahya bin Miqdam itu dhaif
dan ada juga yang mengatakanMansukh. Sedang ayat وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ
لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَة tidak menunjukkan bahwa manfa’at dari
kuda, bighal, dan himar hanyalah untuk digunakan sebagai tunggangan dan
hiasan, dan kalaupun dalam ayat itu menyebutkan lafadz لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَة itu
dikarenakan maksud utama dari ayat itu adalah menjelaskan bahwa kuda biasa
digunakan untuk kendaran dan juga perhiasan, hal ini tidak menutup kemungkinan
kalau ada manfaat yang bisa didapatkan selain untuk kendaraan dan perhisan.
Seperti halnya firman Allah حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ
وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ disini disebutkan lafadz lahmkarna
maksud utamanya adalah daging, meski begitu jumhur sepakat bahwa lemak, bulu,
darah, dan juga anggota yang lain juga haram, begitu juga dengan potongan ayat
yang berbunyi وَتَحْمِلُ
أَثْقَالَكُمْ ini tidak menetapkan akan keharaman
membebankan barang bawaan yang berat pada kuda akan tetapi menjelaskan akan
kebiasaan kuda sebagai pengangkut barang bawaan.
Al-Mundziri berkata:” Hadis di atas
diriwayatkan juga Bukhari, Muslim, dan Nasa’i.
Berdasarkan pemaparan hadis di atas, dapat difahami bahwa
dalam mensyarahi suatu hadis Abu at Tayyib menyebutkan:
1. Rawi
Pertama Hadis tersebut (sahabat), serta sedikit penjelasan mengenai rawi
tersebut, seperti penisbatan nama rawi .
2. Dimulai
dengan penukilan sebagain lafadz hadis kemudian dilanjutkan dengan
penjelasannya.
3. Penjelasan
yang beliau paparkan kadang perlafadz hadis, namun kadang juga serangkaian
kalimat.
4. Kalaupun
ada perbedaan pendapat mengenai maksud hadis, beliau mnyebutkannya secara
global.
5. Pada
bagian akhir hadis, biasanya disebutkan juga rawi-rawi lain yang juga
meriwayatkan hadis tersebut ( Mukharrij ).
6. Apabila
ada tambahan lafadz dalam riwayat lain, beliau juga menyebutkannya.
7. Kadangkala
di akhir penjelasan (setelah menyebutkan Mukharrij lain) ditemukan
Ta’liq dari Ibnu al-Qayyim.
8. Dari
hadis-hadis di atas dapat ditangkap bahwa at-Tayyib memberikan penjelasan
terhadap suatu hadis melalui pendekatan historis. Namun kadang juga beliau
menggunakan pendekatan lain.
9. Adapun penukilan hadis pada kitab Sunan Abu
Daud dan juga Syarhnya bersumber dari hadis-hadis yang
disepakati dan diriwayatkan oleh ulama lima yaitu Bukhari, Muslim, Tirmidzi,
Nasa’i, dan Ibnu Majah. Dan kalaupun hadis yang dinukil hanya disepakati oleh
Bukhari dan Muslim atau salah satu diantara keduanya, atau Pemilik tiga Kitab
Sunan atau hanya satu diantar ketiganya, maka itu disebutkan sebagaimana
mestinya, dan kalaupun hadis itu hanya diriwayatkan oleh Abu Daud, maka
beliau tidak memberi keterangan apapun pada hadis tersebut. Tashih hadis
seperti ini dinukil dari al- Mundziri, hal ini dikarenakan al-Mundziri telah
membuat ringkasan kitab “Sunan” yang bersumber dari riwayat
al-Lu’lui yang merupakan kitab ringkasan yang terbaik.
Perbandingan Antara Kitab ‘Aunul Ma’bud dan Syarh
Abu Daud karya al-Aini
Untuk membandingkan dua kitab yang mana keduanya merupakan
Syarah dariSunan Abu Daud, kita bisa melihatnya memalui corak
pensyarahan hadis terhadap satu redaksi hadis yang sama. Berikut ini pemaparan
syarah dari ‘Aunul Ma’bud dan Syarh al-Aini:
(Redaksi
Hadis)
- 371حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ
عَنْ ابْنِ الْمُسَيِّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَفَلَ مِنْ غَزْوَةِ خَيْبَرَ فَسَارَ لَيْلَةً
حَتَّى إِذَا أَدْرَكَنَا الْكَرَى عَرَّسَ وَقَالَ لِبِلَالٍ اكْلَأْ لَنَا
اللَّيْلَ قَالَ فَغَلَبَتْ بِلَالًا عَيْنَاهُ وَهُوَ مُسْتَنِدٌ إِلَى
رَاحِلَتِهِ فَلَمْ يَسْتَيْقِظْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَلَا بِلَالٌ وَلَا أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِهِ حَتَّى إِذَا ضَرَبَتْهُمْ الشَّمْسُ
فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلَهُمْ
اسْتِيقَاظًا فَفَزِعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
يَا بِلَالُ فَقَالَ أَخَذَ بِنَفْسِي الَّذِي أَخَذَ بِنَفْسِكَ بِأَبِي أَنْتَ
وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَاقْتَادُوا رَوَاحِلَهُمْ شَيْئًا ثُمَّ تَوَضَّأَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَ بِلَالًا فَأَقَامَ لَهُمْ
الصَّلَاةَ وَصَلَّى بِهِمْ الصُّبْحَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَالَ مَنْ
نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ
أَقِمْ الصَّلَاةَ لِلذِّكْرَى [9]
Syarh Abu
Daud karya
al-Aini
باب: مَن نامَ عَن صَلاَة أو نَسيَها أي: هذا
باب في بيان حكم مَن نام عن صًلاةٍ أوَ نسِيها. وفي بعضالنسخ: " باب ما جاء
فيمن نام عن صلاة أو نسيها "
ص- نا أحمد بن صالح: نا ابن وهب: أخبرني يونس، عن
ابن شهاب، عن ابن المسيب، عن أبي هريرة، أن رسولَ الله- عليه
السلام- حين قَفَلَ من غزوة خَيبرَ فسارَ ليلةً، حتى إذا أدركَنَا الَكَرَى
عَرَس وقال لبلال: " اكلأ لنا اللَيلَ " . قال: فغلبت بلالا عينَاه
وهو مُستندٌ إلى راحلَته، فلم يستيقظ النبيُّ- عليه السلام- ولا بلالٌ ولا
أحدٌ من أصَحابه، حتىَ إَذا ضرَبتهُم الشمسُ فكان رسولُ الله أولَّهُم
استيقَاظاً، فَفَزِعَ رسولُ الله فقال: " يا بلالُ " قال: اخَذَ
بنفسَي الذي أخذَ بنفسكَ بأبي أنتَ وَأمِّي يارسولَ الله، فاقتَادُوا رَوَاحِلَهم
شيئاًَ، ثم تَوضأ لنبيُ- عليه السلام-، وأمرَ بلالاً فأقامَ لهم الصلاة، وصلى
لهم الصُّبحَ ، فلما قَضى الصلاة قال: " من نَسيَ صَلاةً فليُصلِّها إذا
ذَكَرَها؛ فإن اللهَ عز وجل قال: (أقم الصَّلاَةَ لِلذَكرَى)
ش- أحمد بن صالح: المعروف بابن الطبري، وعبد اللّه:
ابن وهب، ويونس: ابن يزيد، وابن شهاب: الزهري/، وسعيد: ابن
المُسيب. قوله: " حين قَفل " أي: حين رجع؛ والقفولُ: الرجوع، ولا
يقال قوله: وهو غير عجل " جملة وقعت حالا عن الضمير الذي في " أذّن
" .[10]
ص- نا ابن المثنى: نا محمد بن جعفر: نا شعبة، عن
جامع بن شداد قال: سمعت عبد الرحمن بن أبي علقمة قال: سمعت. عبد الله
بن مَسعود قال: أقبلنَا معَ رسول اللّهَ- عليه السلام- من الحديبية،
فقال النبيُّ- عليه السلام-: " مَن يَكلَؤُنَا؟ " فقال بلالٌ :
أنا، فَنَامُوا حتى طلعت الشمسُ، فاستيقَظَ النبيُ- عليه السلام- فقال:
" افعَلُوا كما كُنتم تَفعلونَ " . قال: ففعَلنَا، قال: "
فكذلكَ فافعَلُوا لِمن نَامَ أو نَسِيَ "
]ش- محمد: ابن المثنى، ومحمد بن جعفر المعروف
بغندر،َ وجامع ابن شداد: المحاربي الكوفي، وعبد الرحمن بن أبي علقمة،
ويقال: ابن علقمة الثقفي، قيل: له صُحبة، ذعر في الصحابة، وقال أبو
حاتم: ليست له صحبة. قوله: " من الحُدَيبية " وفي بعض النسخ
الصحيحة: " زمن الحُديبية "والحُديبيَة: قرية قريبةٌ من مكة؛ سُمّيت
ببئر هناك؛ وهي مخففة، وكثير من الحدثين يشدِّدونها. قوله: " مَن
يكلؤنا " أي: من يَحرسنا، من كلأ يكلأ كِلاءةً؛ وقد مر مرةً. قوله:
" أنا " أي: أنَا كلؤكم. قوله: " كما كنتم تفعلون " من
الطهارة والأذان والإقامة والصلاة. قوله: " فكذلك " أي: مثل ما
فعلتم افعلوا " لمن نام عن صلاة أو نسيها " من غيركم؛ بمعنى:
مُرُوهُم بذلك أو عَلِّموهُم. وروى البَيهقي بنحوه .
Sebagaimana syarah di atas, dapat diketahui bahwa
dalam mensyarahi suatu hadis al-‘Aini pertama-tama mencantumkan redaksi lengkap
hadis dalam Sunan Abu Daud dengan memberikan tanda huruf ص " “ (yang menunjukkan bahwa
hadis itu adalah hadis riwayat Abu Daud) disertai dengan penyebutan rentetan
sanadnya dan memulai syarahnya dengan memberikan tanda ‘ش’ pada awal paragraf, selain itu pada
syarahnya beliau biasanya menyebutkan makna perkata atau sinonim kata tersebut
dengan memilih kata yang lebih mudah difahami dan sering digunakan
masyatakat pada umumnya. Selain itu beliau juga memberikan keterangan yang
berhubungan dengan kaedah nahwiyah (keterangan kaidah mahwiyah inilah yang
biasanya lebih beliau tenekankan, ini berangkat dari keahlian beliau yang
merupakan ahli bahasa). Dan terkadang juga memaparkan informasi singkat
mengenai rawi dalam hadis, disertai dengan petunjuk cara membacanya. Meskipun
dalam pensyarahan hadis al-‘Aini banyak menggunakan metode Tahlili dan Muqarin,
namun kadang juga beliau menggunakan metode Ijmali, adapun
contoh yang terpaparkan di atas adalah salah satu hadis yang beliau syarahi
dengan menggunkan metode Ijmali. Selain itu juga pada hadis di
atas beliau memaparkan juga hadis lain yang isi dan redaksinya selaras dengan
hadis yang disyarahi (Baca: Hadis dengan tanda ص yang kedua). Dalam mensyarahi hadis
al-‘Aini kadangkala lebih banyak membahas perihal rawi ketimbang makna
kandungan hadisnya (Baca Syarah hadis di atas), meski demikian ini tidak
terjadi pada kesemuanya hadis yang beliau syarahi.
Syarh
Aunul Ma’bud
(باب في من نام عن صلاة أو نسيها )
( عن أبي هريرة ) هو عبد الرحمن بن صخر على الأصح
من بين نيف وثلاثين قولا وقد رأى النبي في كمه هرة فقال ياأبا هريرة فاشتهر به
والأوجه في وجه عدم انصراف هريرة في أبي هريرة هو أن هريرة صارت علما لتلك
الهرة قاله على القارىء في شرح الشفاء ( حين قفل ) أي رجع إلى المدينة ( حتى
إذا أدركنا ) بفتح الكاف ( الكرى ) بفتحتين هو النعاس وقيل النوم ( عرس ) قال
الخطابي معناه نزل للنوم والاستراحة والتعريس النزول لغير إقامة ( اكلأ ) أي احفظ
واحرس ( لنا الليل ) أي آخره لادراك الصبح ( فغلبت بلالا عيناه ) هذا عبارة عن
النوم أي نام من غير اختيار ( وهو مستند إلى راحلته ) جملة حالية تفيد عدم اضطجاعه
عند غلبة نومه ( حتى ضربتهم الشمس ) أي أصابتهم ووقع عليهم حرها ( أولهم استيقاظا
) قال الطيبي في يحفظ لنا الليل ويحرس ( فاستيقظ ) أي انتبه ( فقال افعلوا
كما كنتم تفعلون ) وفي رواية لمسلم وأحمد فصنع كما كان يصنع كل يوم فيه إشارة إلى
أن صفة قضاء الفائتة كصفة أدائها فيؤخذ منه أنه يجهر في الصبح المقضية بعد طلوع
الشمس
قال المنذري والحديث
أخرجه النسائي
Berdasarkan uraian kitab ‘Aunul Ma’bud pada
pemahasan awal, dari sana bisa diambil rujukan bagaimana model pensyarahannya
dan membandingkannya dengan pensyarahan yang dilakukan oleh al-‘Aini. Berbeda
dengan al-‘Aini, dalam mensyarahi hadis Abu Tayyib tidak memaparkan terlebih
dahulu redaksi lengkap hadis, namun beliau langsung menyebutkan rawi
pertama dan sekilas biografinya dilanjutkan dengan pensyarahan hadis yang
kadangkala pensyarahannya perlafadz hadis namum kadangkala juga dari rentetan
beberapa lafadz, dengan sedikit menyinggung aspek nahwiyah baik dari segi cara
membacanya (harakat huruf) atau selainnya. Selain itu Abu Tayyib juga
mencantumkan Tashih oleh al-Mundziri berkenaan dengan
informasi rawi lain yang meriwayatkan hadis tersebut, dan kadang kala juga
mencantumkanta’liq oleh Ibn al-Qayyim.
Dari pemaparan kedua contoh di atas yang kebetulan keduanya
menggunakan metode Ijmali, dapat diketahui perbedaan kedua corak
pensyarahan hadis tersebut.
Kelebihan dan Kekurangan Kitab ‘Aunul Ma’bud
Kelebihan dari kitab Syarah ini adalah bahwa penjelasan hadis
ringkas serta bahasa yang digunakan juga sederhana sehingga mudah untuk difahami
oleh kebanyakan kalangan, selain itu dalam mensyarahi hadis pengarang
menyelaraskannya dengan nash-nash Al Qur’an,[11] adapun kekurangannya adalah dari keterangan
yang global ini menjadikan keterangan hadis bersifat parsial, selain itu gaya
bahasa yang digunakan dalam pensyarhan tidak jauh beda
dengan gaya bahasa yang digunakan oleh hadis itu sendiri, hal ini mengharuskan
bagi si pembaca agar benar-benar memahami redaksi matan hadis.
[1] Selain itu ada juga ulama yang mengatakan bahwa Abu
Tayyib wafat 19 Rabi’ul Awwal 1329 H di Tha’un
[2] Sebut saja kitab syarah Sunan
Abu Daud karya al-‘Aini yang meskipun model pensyarahannyakarya Abu
al-Hasan al-Sindi, Ta’liqat al-Mahm
[3] Ini berbeda dengan pengecekan yang penulis lakukan
melalui DVD ROM al-Maktab al-Syamilah disana tercantum bahwa No hadis terakhir
adalah 5276.
[4] Lihat pada al-Fadhil al-Jalil Abu al-Tayyib Muhammad
al-Syahir Syamsuddin al-Haq al-Adzim Abadi, Aunul Ma’bud, dalam DVD
ROM al-Maktabah al-Syamilam.
[5] Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi ; Metode
Pendekatan,(Yogyakarta: YPI Al-Rahma), hlm. 42.
[6] Ini bisa dilihat pada contoh hadis yang
kedua(menggunkan metode Muqarin) . Dan setelah melakukan penelitian
terhadap syarah kitab, ternyata ungkapan ulama yang menyatakan baijmali ini
berpijak pada jumlah mayoritas hadis yang cara pensyarahannnya dengan
metode ijmali.
[7] Hadis Riwayat Abu Daud as-Sijistani, Sunan Abu
Daud, Kitab al-Shaum no.2074 Bab fi Shaum
al-Muharram dalam CD ROM Al-Mausu’ah al-Hadis al-Syarîf.
[8]Hadis Riwayat Abu Daud as-Sijistani, Sunan Abu Daud,
Kitab al-At’imah Bab fi Akli Luhum al-Khaili no.3294 dalam CD
ROM Al-Mausu’ah al-Hadis al-Syarîf.
[9] Hadis Riwayat Abu Daud as-Sijistani, Sunan Abu
Daud, Kitab al-Shalat Bab Man Nama ‘an Shalat au Nasiyaha no.371
dalam CD ROM Al-Mausu’ah al-Hadis al-Syarîf.
[11] Ini bisa
dilihat pada contoh yang telah dipaparkan di atas berkenaan dengan masalah
hukum memakan daging.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar