Kamis, 31 Mei 2012

Pemikiran Hadis Mu'tazilah


Belum pernah ditemukan satu golongan pun dalam Islam, yang mempunyai reputasi yang tinggi dan mendapat perhatian besar dari para cendekiawan dan ulama untuk mengkaji dan menelaah dasar-dasar pemikirannya, baik dulu maupun sekarang, melebihi kaum Muktazilah. Mereka adalah golongan yang menjadikan akal sebagai panutan, memikirkan kesalahan-kesalahannya dan membangun dasar pemikiran mereka dengan pancaran akal. Kemudian mempertahankan hasil pemikiran tersebut.

Para peneliti berbeda pendapat mengenai asal usul Kaum muktazilah namun dari beberapa pendapt itu dapat disimpulkan bahwa Mu’tazilah baru lahir pada akhir abad pertama Hijriyah pada masa Hasan Al Bashri. Mu’tazilah muncul di kota Basrah yang merupakan pusat peradaban yang dipenuhi dengan beragam alur pemikiran. Penyebab munculnya Mu’tazilah adalah keluarnya Washil bin ‘Atha’ dari forum Hasan Bashri, kemudian mereka mendeklarasikan ide barunya tentang al Manzilah Baina Manzilatain.

Selasa, 29 Mei 2012

Hadis Yang sudah Tidak diamalkan


Berbicara mengenai Nasikh dan mansukh sebenarnya kita membahas persoalan yang sangat urgen, karena nasikh dan mansukh merupakan salah satu cabang ilmu baik dalam Ulumul Qur’an maupun Ulumul Hadits.

Menurut istilah dalam ilmu hadis yang dimaksud dengan nasakh adalah pembuat hukum mengangkat hukum yang terdahulu dengan hukum yang lain.

Pengetahuan mengenai nasikh dan mansukhnya suatu hadis merupakan cabang ilmu yang amat penting lagi amat sulit. Az Zuhri berkata : “ perkara yang paling melelahkan dan melemahkan para Fuqaha’ adalah mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh.” Tokoh yang terkenal dalam bidang ini adalah As Syafi’I, beliau mempunyai kemampuan  yang mumpunidan tergolong pionernya. Imam Ahmad mengatakan kepada Ibnu Warah (tatkala baru datang dari Mesir) :” apakah engkau telah mencatat kitab-kitabnya Syafi’I ? ia menjawab : “tidak’. Maka Imam Ahmad menimpali : “ Engkau telah lalai. kita tidak pernah mengetahui hadits yang mujmal dari yang mufassar, juga hadis yang nasikh dari yang mansukh sampai kita duduk dengan As Sayafi’i.”

Kamis, 24 Mei 2012

Masa Orang-Orang terdahulu


“Standarisasi ittiba us Salaf dengan segala perkembangan dan perubahannya tidak hanya sebatas pada kata dan namanya saja yang diucapkan atau mengambil contoh sebagian saja dari mereka, karena mereka sendiri tidak melakukan hal itu. Tetapi iitiba’ salaf yang benar adalah dengan mengikuti mereka tentang kaidah-kaidah di dalam menafsirkan dan menakwili nash, dan dasar-dasar ijtihad dalam memahami prinsip-prinsip dasar hukum Islam. Merujuk kembali kepada kaidah-kaidah dan ushul-ushul ini merupakan kewajiban bagi setiap ummat Islam di dalam setiap masa”.

Jumat, 18 Mei 2012

Dr. Lutfi Fathullah, MA: Syeikh Albani Punya Kelebihan dan Kekurangan


Ada artikel menarik yang baru sempat aku baca tentang wawancara dengan DR. Luthfi Fatullah, MA, Narasumber yang pernah aku panggil dalam kegiatan Stadium General dan juga narasumber dalam acara kajian Kitab Kuning di TVRI.

Doktor ilmu hadits putera Betawi asli ini merupakan murid langsung dari Syaikh Ramadhan Al-Buthi dan Wahbah Az-Zuhayli. Keturunan dari Guru besar di bilangan Kuningan Jakarta, almarhum Guru Mughni, ini bercita-cita untuk membuat indeks hadits yang belum pernah dibuat di negeri ini.

Kamis, 17 Mei 2012

Pemikiran Modern Dalam Sunah


Buku yang berjudul Pemikiran Modern Dalam Sunah : Pendekatan Ilmu Hadis berasal dari petikan disertasi yang berjudul Pemikiran Ingkar Sunah di Mesir Modern. Judul ini diperluas dibeberapa Negara meliputi India, Pakistan, Mesir, Malaysia dan Indonesia, mengingat betapa perlunya informasi tentang paham yang sama di beberapa Negara ini. Adalah merupakan karya DR. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, dalam bukunya beliau mengupas tuntas pemikiran modern dalam sunah sampai keakar-akarnya, mulai dari ingkar sunah era klasik hingga era modern sampai new modernism sunah, sejarah dan sebab-sebab timbulnya pengingkar sunah di beberapa Negara, serta berbagai alasan dan argumentasi yang mereka ajukan.

Buku tersebut juga melihat secara ilmiah pergulatan atau percaturan antara modernis sunah yang sesungguhnya dan new modernism sunah yang sekedar mencari popularitas.

Serta beliaupun memberikan beberapa kesimpulan. Tentang EKSISTENSI INGKAR SUNNAH MODERN, bahwa Substansi ingkar sunnah modern (abad ke-19-21 M) sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pemikiran inkar sunah klasik (masa Imam Syafi’I abad ke-2 H/7M ) yakni sama-sama menolak kehujjahan sunah sebagi dasar agama.  Kedua ingkar sunah ini memiliki tingkatan yang sama dalam penolakan sunah yakni adakalanya menolak sunah secara keseluruhan (ingkar sunah mutlak), menolak sebagian sunah  yang tidak semakna dengan al Qur’an (ingkar sunnah Syibh kulli) dan menolak sunnah Ahad saja (ingkar sunah Juz’i). Dalam pemikiran modern, ingkar sunah memiliki pengembangan baru dari segi formalitas yakni sunah mudawwanah (sudah terkodifikasi) diartikan sunah formal tertulis dalam beberapa buku induk hadis (ingkar sunah kulli). Sedang sunah tathbiqiyah (sunah praktis) dimaksudkan pengamalan Nabi SAW secara tidak tercatat diterima oleh mereka.

KOPI LUWAK


Subhan jenggot sms ke saya : bagaimana tanggapnnya mengenai Kopi Luwak. Sesuatu yang sudah menjadi kotoran kok halal dimakan? Kemudian secara singkat saya  balas smsnya : tidak semua yang keluar dari alat pembuangan jadi haram, telor kan halal setelah dicuci.

SMS di atas menggugah saya untuk melihat lebih lengkap tentang Fatwa MUI mengenai kopi luwak, karena saya sudah mengetahui dari media akan Fatwa MUI yang menghukumi halal kopi luwak itu. Namun saya belum membaca secara lengkap tentang isi Fatwa MUI tersebut.

Setelah saya membacanya,  MUI dalam fatwanya Nomor 07 tahun 2010 tentang kopi luwak menjelaskan dalam pertimbangannya pada point a) bahwa di masyarakat muncul usaha kopi luwak, di mana kopi tersebut brasal dari biji kopi yang dimakan oleh Luwak dan kemudian dikeluarkan kembali bersama kotorannya, kemudian diolah menjadi serbuk kopi yang dikonsumsi masyarakat dan dikenal dengan kopi Luwak.

Kemudian mengingatkan tentang ayat –ayat Al Qur’an sebagai landasan fatwanya  yaitu : Surat Al Maidah ayat 88, Al Baqrah; 172, Al Baqarah ; 168, Al Baqarah ; 29, Al An’am ; 145, Al A’raf ; 157.

Kamis, 10 Mei 2012

Kitab Taqrib & Kitab2 Ulumul Hadis


Salah satu kitab yang di tulis Imam An Nawawi (631 H – 14 Rajab 676 H) dalam bidang ‘Ulumul Hadits adalah Al Taqrib wa Al Taisir Li Ma’rifati Sunan Al Basyir al Nazir. Dalam mukadimah Kitab tersebut beliau menjelaskan bahwa “ ilmu  Hadis merupakan medium paling optimal untuk mempercepat proses pendekatan diri kepada Allah SWT. Mengingat bahwa ilmu ini merupakan sarana utuk mengenal lebih jauh tata hidup manusia Agung, Muhammad SAW, secara detail.”

Kitab ini merupakan ringkasan penulis dari kitab Al Irsyad, sedangkan kitab Al Irsyad sendiri juga hasil ringkasan dari kitab ‘Ulumul Hadis, karya seorang  Ahli Hadis Besar yang memperoleh gelar Hafidzul Hadits, Abu ‘Amr ‘Utsman bin ‘Abd al Rahman. Tokoh yang lebih popular dengan Ibnu Shalah (w.643 H).

Dalam pembahasan kitab tersebut Imam Nawawi berupaya untuk menyajikan pembahasan dengan metode yang paling praktis, tanpa mengurangi dan merusak tjuan penulisannya. Materi yang ditampilkan diusahakan dengan menggunakan pendekatan yang paling mudah dicerna, namun tetap memperhatikan cakupan lingkup pembahasan.


kitab Al Taqrib nya Imam Nawawi Juga sudah banyak yang mensyarahnya di antaranya Adalah Tadribur Rawi Karya Imam As Suyuthi.    

Sebelum masa Imam Nawawi menulis kitab tersebut memang masa puncak perkembangan Ilmu Hadis terjadi pada masa Ibnu Shalah (w. 643 H) dengan karyanya yang monumental yaitu ‘Ulumul Hadits atau lebih dikenal dengan Mukaddimah Ibnu Shalah, yang telah menarik para ulama setelahnya untuk membahasnya baik dalam bentuk Ikhtisar, Syarah, Nadzam dan Mu’aradlah, tidak kurang dari 33 kitab dan diantaranya adalah Al Taqrib nya Imam An Nawawi tersebut.

Ya.. Allah..! Ampunilah dan Sayangilah Orang Tua Kami


Ketika Allah memberikan ujian kepada keluarga kami, yaitu bapak mertua diberi cobaan berupa penyakit yang pada awalnya adalah hipertensi, setelah diusahakan dengan berbagai pengobatan dari mulai medis sampai alternative al hamdulillah ada perubahan kesembuhan, namun selang tidak begitu lama ternyata ada gejala lain yang timbul yang setelah diperiksa oleh dokter ternyata adalah penyakit jantung coroner, maka dengan segala keterbatasan bapakpun harus melakukan pengobatan yang terus-menerus, sudah kurang lebih delapan bulan tidak boleh terputus dari obat, kalau sampai tertunda sebentar saja dari obat maka efeknya gejala sakit pada bagian dada. Ada kemungkinan itu merupakan ketergantungan obat sehingga kamipun mengusahakan untuk mencoba obat-obat alternative namun sampai saat ini obat-obat alternative itu belum memberi pengaruh bisa terlepas dari obat-obat kimia. Kamipun tidak putus asa untuk terus berikhtiyar mencari obat untuk kesembuhan bapak sambil terus berdo’a untuk kesembuhannya dengan berbekal keyakinan akan sabda Nabi Muhamad SAW. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ الزُّبَيْرِيُّ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ أَبِي حُسَيْنٍ قَالَ حَدَّثَنِي عَطَاءُ بْنُ أَبِي رَبَاحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az Zubairi telah menceritakan kepada kami 'Umar bin Sa'id bin Abu Husain dia berkata; telah menceritakan kepadaku 'Atha` bin Abu Rabah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Allah tidak akan menurunkan penyakit melainkan menurunkan obatnya juga."(HR. Bukhari)

Mudah-mudahan Allah akan menunjukan kepada kami obatnya sehingga bapak mertua kami cepat diberi kesembuhan.

Minggu, 06 Mei 2012

SEPUTR NAQD DAKHII


Dalam mempelajari Hadits Nabi ada dua hal pokok yang harus diperhatikan, yaitu wurud dan dalalah. Wurud berkaitan dengan asal usul hadist, yakni apakah suatu hadits benar-benar berasal dari Nabi saw. atau tidak. Untuk keperluan ini, ada dua metode kritik, yaitu kritik sanad dan kritik matan. Kritik sanad adalah penelitian secara cermat asal-usul suatu hadits berdasarkan para periwayatnya. Sedangkan kritik matan adalah penelitian secara cermat asal usul suatu hadits berdasarkan teks yang dibawa oleh para periwayat itu. Tujuan akhir dari kedua penelitian ini adalah menentukan apakah suatu hadits bisa diterima atau tidak (maqbul atau mardud).

Sedang dalalah berkaitan dengan makna yang ditunjukan oleh suatu hadits yang telah dinyatakan diterima berdasarkan penelitian terhadap wurud-nya. Sehingga kajian terhadap dalalah suatu hadits bisa dilakukan bila hadits yang bersangkutan telah diuji wurud-nya dan telah diketahui hasilnya. Dalam hal ini muncul dua metode utama dalam memahami hadits, yaitu metode tekstual dan metode kontekstual. Metode tekstual adalah cara memahami hadits berdasarkan makna verbal dari teks hadits yang bersangkutan. Sedang metode kontekstual adalah cara memahami hadits yang juga didasarkan pada konteks yang melingkupi hadits yang bersangkutan. Tujuan yang hendak dicapai dari studi ini adalah apakah suatu hadits bisa diamalkan atau tidak ( ma’mul atau ghair ma’mul) atau bagaimana mengamalkannya. Jika antara studi dalalh ini sepintas sama dengan studi kritik matan, maka tujuan masing-masinglah yang membedakan antara keduanya.

Metodologi Kritik Matan Hadisnya Al Adlabi


Dalam bukunya Manhaj Naqd al Matn Ind Ulama’ al Hadits an Nabawi ( Metodologi Kritik Matan Hadis) DR. Salahudin Ibn Ahmad al Adlabi berupaya memperjelas metode kritik matan (kritik intern), yang sejak dini kaum muslimin telah mempraktekannya dan telah meletakkan dasar-dasar metodologinya. Dalam bukunya tersebut beliau menjelaskan tentang latar belakang perlunya menggunakan Kritik Matan, kemudian beliau juga memaparkan fakta-fakta bahwa kritik matan sudah dipakai Para sahabat dan Ulama Hadis, kemudian beliau menarik sebuah pemahaman dan desain tentang prinsip-prinsip kritik matan menurut ulama hadits.

Kalau kita pelajari ilmu hadis Khusunya Ilmu Jarh Wa Ta’dil maka kita akan melihat bahwa Sepintas kritik sanad sudah cukup untuk menilai sahih tidaknya sebuah hadits, sebab periwayatan seorang periwayattsiqah dari periwayat tsiqah lainnya, yakni dari awal sampai akhir sanad, mengandung arti bahwa kita mempercayai kesahihan riwayat para periwayat tsiqah itu. Jika tidak demikian, maka penilaina tsiqah terhadap para periwayat tidak ada artinya.

KREDIT HAJI


Sedang ngobrol tentang Haji lalu masuk pada pembahasan tentang Kredit haji atau ada yang menyebut juga dengan Istilah Pembiayaan haji. Karena memang era sekarang ini adalah era ekonomi kredit. Segala macam kebutuhan bisa dikreditkan, dari mulai perabot rumah tangga, alat2 elektronik, sepeda motor, mobil, rumah, apartemen, hotel, ruko, buku dan lain sebagainya. Sampai akhirnya Hajipun yang sifatnya ibadah ada yang mengkomersialkan dengan menggunakan istilah Kredit haji. Sehingga tidak ada yang tersisa dalam masyarakat kita kecuali seumur hidupnya dia menjadi pengemis dan penghutang. Alangkah hinanya jika keadaanya memang seperti itu.

Patut diwaspadai memang kondisi perkembangan ekonomi kita dewasa ini khususnya dalam masyarakat kita dimana system yang ada justru menciptakan tatanan masyarakat yang makin terhimpit dan tercekik dengan hutang sehingga kita akan tahu siapa pihak yang banyak memperoleh dan melangengkan keuntungan dan siapa yang menjadi karyawan dan budak para pemodal selamanya?

Maaf saya sebenarnya bukan mau membahas ekonomi tapi mau membahas masalah Kredit haji, Kalau saya baca kamus Ilmiah Populer maka pengertian dari Kredit di antaranya adalah pinjaman uang atau barang atau mengutangkan.

Kalau yang dimaksud Kredit Haji adalah Pemberi pinjaman atau pembiayaan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga keuangan kepada seseorang untuk melaksanakan ibadah haji, maka artinya seseorang itu berhutang dulu untuk melaksanakan hajinya.

Kemudian timbul pertanyaan bagaimana ketentuan hukumnya di dalam Islam sebenarnya.?

Kalau saya baca Kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusdy  (W. 595 H) pada Kitab haji dijelaskan bahwa salah syarat wajinya haji adalah Istitho’ah (memiliki kemampuan) berdasarkan firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat 97 dan tidak ada perbedaan pendapat para Imam Mujtahid. Perbedaan muncul dalam memperinci pengertian Istitho’ah tersebut.