Nabi
Muhammad SAW adalah seorang Rasul yang membawa risalah dari Allah SWT Sebagai
Nabi dan Rasul beliau merupakan Uswatun hasanah dan sebagai Rasul beliau juga
wajib untuk di ta’ati sehingga apa yang datang dari beliau hendalah diterima
dengan ketaatan sepenuh hati sebagai bukti seseorang diangap beriman dan apa
yang beliau larang hendaklah dihindari. Dan Sebagai salah satu bukti bahwa
seseorang benar-benar mencintai Allah adalah dengan cara mentaati dan mengkuti Rasulullah
SAW. Apa yang datang dari Nabi dalam masalah-masalah agama adalah mutlak dan
apa yang bukan dari Nabi dalam masalah Agama adalah tertolak.
Namun selain sebagai seorang Nabi dan
Rasul beliau juga adalah manusia biasa sebagaimana manusia yang lain
sebagaimana banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskannya. Beliau juga
memiliki kebutuhan jasmani dan ruhani, memiliki keinginan dan selera dan
memiliki kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari beliau. .
Ketetapan beliau dalam kapasitas beliau
sebagai Rasul merupakan sumber syariat yang tidak diperdebatkan, namun apakah
segala yang datang dari beliau sebagai manusia biasa dalam konteks bahwa
sebagian perbuatan dan perkataan beliau yang muncul dari sifat kemanusiannya ( Jibillatul
Basyariyah) juga merupakan sumber syrai'at yang mengikat? Pertanyaan
diataslah yang memunculkan perdebataan di kalangan Ulama sehingga memunculkan
istilah Sunnah Ghoiru Tasyri’iyyah.
Sikap umum ummat Islam memandang bahwa
hadis yang terumuskan dari sunnah yang hidup saat itu mempunyai harga mati yang
tidak dapat ditawar-tawar lagi dan sebagian ulamapun kurang memiliki perhatian
khusus dalam kajian tentang sunnah Tasri’iyyah dan Ghairu Tasyri’iyah. Sehingga
di antara mereka ada yang cenderung memandang semua sunnah sebagai syari’at
yang mengikat (Al Sunnah Kulluha Tasyri’iyyah). Artinya mereka memiliki
kecenderungan menggeneralisasi sunnah sebagai syari’at atau kebenaran mutlak (taken
for granted) atau sebagai produk jadi. Sehingga pada gilirannya sulit
membedakan mana hadis yang bersifat mutlak (terutama yang berkaitan dengan
akidah dan ibadah ) yang terbebas dari ikatan ruang dan waktu, dan mana pula
hadis yang bersifat nisbi (menyangkut muamalat, pergaulan hidup, adat
kebiasaan, yang lebih mencerminkan suatu tradisi atau sunnah yang hidup pada
suatu fase penggalan sejarah tertentu) yang terikat oleh ruang dan waktu.
PENGERTIANNYA dan istilah
Istilah sunah ghairu tasriiyah atau non
asriiyyah memang masih diperdebatkan, ada ang pro dengan memberikan beberapa
definisi da nada yang kontra yang menganggap kalau istilah sunah non Tasriiyah
itu tidak ada di masa salafus shalih itu hanya rekayasa kaum modernis dan
rasionalis. Namun setelah dilaukan kajian yang mendalam ada beberapa ulama yang
mendukung pemahaman tentang adanya sunah Ghairu tasriiyyah, namun mereka berbeda-beda
dalam mendefinisikan sunnah Ghairu tasriiyah ini.
Ada beberpa istilah yang dipakai para
ulama yang dapat di katagorikan sunnah ghairu tasriiyyah yaitu sunnah
laisa fihi uswah, laisa fihi ta’assin, laa bihi Iqtida’, laisat bi qurbah, la
istimsaka bih dan sunnah la hukma lahu aslan.
Dari berbagai definisi yang sudah dikaji
ditinjau dari berbagai aspeknya bahwa sunnah non Tasriiyyah adalah sunnah Nabi yang
tidak memiliki ketetapan hukum yang mengikat, yang berkaitan dengan 1) perintah
dan larangan Nabi yang bersifat anjuran. 2) perbuatan Nabi murni (al Fi’lul
mujarrad), tanpa ada indikasi (qorinah) ibadah. 3) perbuatan nabi sebagai
manusia (fi’lul Jibiliyyah). 4)perbuatan dan perkataan Nabi yang berdasarkan
pengalaman. 5)perbuatan dan perkataan Nabi dalam kapasitas sebagai kepala
Negara dan Hakim.
ULAMA YANG PRO KALIM SUNAH NON TASRI’IYYAH
Tidak hanya ulama-ulama kontemporer saja
yang ikut membahas tentang terminology sunnah ghairu tasriiyah, mereka itu di
antaranya adalah :
- Ibnu Qutaibah (213-276 H) dalam kitab Takwil Mukhtalaful Hadis, beliau membagi sunah dalam tiga macam.
- Al Qarafi (684 H) dalam kitab al Furuq dan Al Hikam
- As Saukani dalam Irsyadul Fuhul
- Al Syirazi dalam al Luma’ Fi Ushulil Fiqh
- Al Juwaini dalam Al Burhan Fi Ushulil Fiqh
- Al Ghazali dalam Al Mankhul
- Syah Waliyullah Ad Dahlawi (w. 1176 H) dalam Hujatul Balighah
- Syaikh Rasyid Ridha
- Syaikh Mahmud Salthut
- Al Thahir Ibnu ‘Asyur
- Syaikh Abdul Wahab Khalaf
- DR. Muhammad Salim Al ‘Awwa
- Prof.DR. yusuf Al Qaradhawi
Diantara penelitian yang mendalam
berkenaan dengan terminology sunnah Non Tasri’iyyah adalah apa yang dilakukan
oleh DR. Tarmizi M. Jakfar, MA dalam disertasinya dalam rangka program
doktoralnya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul “ Otoritas Sunnah
Non-Tasri’iyyah Menurut Yusuf Qaradawi”.
Di dalamnya beliau meneliti tentang
problematika seputar sunah Non Tasriiyyah yang meliputi terminology dan kalim,
status dan peran Muhamad SAW, sikap Ummat Islam terhadap sunnah dan
kritikannya, kalsifikasi sunnah, dasar-dasarnya dan kriteria termasuk bantahan
terhadap yang menentang adanya sunnah non tasri’iyyah, termasuk menguji
validitas dalil-dalil sunnah non tasri’iyyah serta beberapa kesimpulan yang
secara garis besar Al Qaradawi tidak ingin terjebak kedalam dua kutub kelompok
yang ekstrim dalam memahami sunnah. Sebagian kalangan Ummat Islam menganggap
semua hadis adalah Tasri’iyyah sehingga semua hadis bersifat mutlak , sedangkan
yang satu lagi bersifat sekuler dimana semua sunnah adalah bersifat nisbi. Nah
Al qaradawi mengambil jalan tengah.
Diantara hadis –hadis yang masuk kedalam
katagori ini adalah hadis tentang memakai tongkat ketika berkhutbah, tangga
mimbar 3 tahap, memegang pedang, berjenggot, bersorban, makan sambil lesehan,
hukum bunuh bagi yang murtad, penetapan nisab zakat lembu, strategi peperangan,
pengobatan Nabi dll. Sebagan ulama menganggap hadis –hadis tersebut tidak bersifat
Tasri’iyyah Mutlak, namun bersifat non tasri’iyyah atau tidak mutlak tergantung
kebijakan penguasa berdasarkan pertimbangan kemaslahatan Ummat.
Bagi yang igin mendalaminya silahkan
membaca bukunya.
Ciputat, 7 /09/ 2012
Muhammad Muallif Al Jawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar