Menurut catatan yang dihimpun oleh
Azyumardi Azra di dalam Jaringan Ulama Nusantara, disebutkan bahwa orang-orang
Indonesia banyak yang mempunyai kedudukan terhormat sebagai ulama di
tengah-tengah masyarakat Hijaz. Sehingga, pada masa itu, di Makkah dan Madinah
dikenal istilah ‘Ashabul Jawiyyin’ (orang-orang Jawa) untuk
mengidentifikasi jaringan orang-orang Indonesia yang menguasai jaringan
pendidikan dan perdagangan di wilayah Hijaz.
Dulu, perkumpulan ulama-ulama tersebut ada yang menyebut dengan
komunitas Jawi, atau Jamâ’ah al-Jâwiyyîn. Nisbat
ini tidak sekedar meliputi teritorial ulama yang datang dari Jawa Dwipa
saja, tetapi dari seluruh Nusantara (termasuk Melayu, Pattani, dan Philipina
Selatan). Kita bisa melacak nisbat ini di salah satu ruangan masjid al-Azhar (ruwwâq jâwah).
================================================
Hubungan bangsa Indonesia dan bangsa
Arab telah terjalin dalam waktu yang sangat lama, bahkan sebelum kedatangan
bangsa Eropa ke nusantara. Eratnya jalinan hubungan itu terjadi sampai ke
tingkat inisialisasi identitas di antara dua bangsa.
Di beberapa tempat di Indonesia
dijumpai wilayah-wilayah yang diberi nama dengan peristilahan Arab. Buya Hamka
di dalam Sejarah Islam di Indonesia, misalnya, menyebutkan bahwa nama Pariaman
di Sumatra Barat yang diambil dari frasa bahasa Arab, yaitu barri aman, yang
bermakna ‘daratan yang aman’. Demikian pula dengan daerah Maluku yang terambil
dari kata ‘mulukun’ yang bermakna daerah yang banyak kerajaannya.
Jalinan hubungan di antara bangsa
Arab dan Indonesia secara kebetulan terjadi karena faktor ajaran Islam yang
diterima oleh masyarakat Indonesia pada abad ketujuh, jika merujuk pada sejarah
Barus di Sumatra Utara. Kuatnya jalinan hubungan itu telah melahirkan intimasi
di antara keduanya sehingga terjadi kesatuan indentifikasi di antara bangsa
Indonesia dan Arab. Kesatuan itu tidak saja terjadi di Indonesia, akan tetapi
juga di Hijaz, nama Arab Saudi sebelum abad ke-19.
Menurut catatan yang dihimpun oleh
Azyumardi Azra di dalam Jaringan Ulama Nusantara, disebutkan bahwa orang-orang
Indonesia banyak yang mempunyai kedudukan terhormat sebagai ulama di
tengah-tengah masyarakat Hijaz. Sehingga, pada masa itu, di Makkah dan Madinah
dikenal istilah ‘ashabul jawiyyin’ (orang-orang Jawa) untuk
mengidentifikasi jaringan orang-orang Indonesia yang menguasai jaringan
pendidikan dan perdagangan di wilayah Hijaz.
Bahkan, sampai dengan 1980-an,
muruah bangsa Indonesia masih terlihat dengan keberadaan seorang ulama
karismatik keturunan Minangkabau, Syaikh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa
al-Fadani (Padang). Apresiasi terhadap bangsa Indonesia ditunjukkan dengan
dikabulkannya usulan Komite Hijaz pada 1926 yang dipimpin oleh KH Wahab
Hasbullah, agar Raja Abdul Aziz tidak menghancurkan makam Nabi Muhammad SAW.
Sejatinya,
jejak gerakan ulama Nusantara di Timur Tengah (utamanya Hijâz dan Mesir) dapat
dilacak sejak abad ke-17 M. Di antara nama-nama ulama yang populer adalah Abd
al-Raûf al-Jâwi (w. 1693), Nûruddîn al-Raniri (w. 1658), Arsyad al-Banjari
(1710), dan lain-lain.
Dulu,
perkumpulan ulama-ulama tersebut dikenal dengan komunitas Jawi, atau Jamâ’ah
al-Jâwiyyîn. Nisbat ini tidak sekedar meliputi teritorial ulama
yang datang dari Jawa Dwipa saja, tetapi dari seluruh Nusantara
(termasuk Melayu, Pattani, dan Philipina Selatan). Kita bisa melacak nisbat
ini di salah ruangan masjid al-Azhar (ruwwâq jâwah).
Abad
ke-19 M (dan awal abad 20) adalah puncak dari geliat intelektual ulama
Nusantara di Timur Tengah. Mereka bukan sekadar berkiprah dan memberi
kontribusi untuk Tanah Air saja, tetapi juga mempunyai peran besar di ranah
internasional, khususnya di Timur Tengah. Beberapa ulama Nusantara menjadi
sosok intelektual berkampium dunia. Mereka mengarang kitab-kitab yang dijadikan
rujukan penting.
Di
antara nama-nama ulama Nusantara yang populer adalah Syaikh Muhammad Nawawi ibn
'Umar al-Bantani (Tanara, Serang, Banten, w. 1879), yang mengarang beberapa
kitab dalam berbagai cawangan ilmu agama, semisal Tîjân
al-Durarî (tawhid), Sullam
al-Najât, Kâsyifah al-Sajâ, Sullam al-Tawfîq, al-Tsamrah al-Yâni'ah 'ala Riyâdh
al-Badî'ah, Tawsyîkh 'alâ Fath al-Qarîb, Nihâyah al-Zain (fikih), Qatr
al-Ghayts, Tanqîh al-Qawl (hadits), Minhâj al-'Ibâd (tasawuf), 'Uqûd
al-Lujayn (psikologi
rumah tangga), Murâh Labîd aw al-Tafsîr al-Munîr (tafsir) dan lain-lain. Syaikh Nawawi
menjadi pengajar di salah satu pintu Masjid al-Haram dan di perguruan Dâr
al-‘Ulûm, Mekkah, selain pernah memberikan pengajian di masjid
al-Azhar, Mesir, atas undangan Syaikh Ibrahim al-Bayjuri, mufti agung Mesir
kala itu.
Selain
Syaikh Nawawi Banten, dikenal juga Syaikh Mahfuzh al-Turmusi (Tremas, Pacitan,
Jawa Timur), pengarang beberapa hâsyiah (komentar atas komentar, atau great
comment) atas beberapa kitab fikih induk mazhab Syafi'iy, semisal al-Minhâj, Fath
al-Wahhâb, al-Iqnâ', dan lain-lain. Beberapa hâsyiah karangan beliau kelak dikenal denganHâsyiah al-Turmusî yang ditulis berjilid-jilid. Beliau
juga menulis al-Siqâyah al-Mardhiyyah fî Asmâ al-Kutub
al-Fiqhiyyah li Ashhâb al-Syâfi'iyyah (ensiklopedi kitab-kitab fikih mazhab
Syafi'iy), Manhaj Dzaw al-Nazhar fi Manzhûmah Ahl al-Âtsâr(metodologi
hadits), al-Fawâid al-Turmusiyyah fi Asmâ al-Qirâ'ah al-'Asyriyyah (tajwid-qira'ah
sepuluh).
Dua
Syaikh di atas tercatat yang paling berpengaruh dan melahirkan beberapa murid
yang juga menjadi ulama besar, semisal Syaikh Ihsan Dahlan al-Jamfasi al-Kadiri
(Jampes, Kediri, Jawa Timur), penulis kitab Sirâj al-Thalibîn 'alâ Minhâj al-'Âbidîn (kitab dua jilid berisi komentar atas
karya tasawuf Imam al-Ghazali)—konon kitab ini pernah dijadikan salah satu
muqarrar di Universitas al-Azhar, dan Manâhij al-Amdâd (tasawuf). Atau
Syaikh Muhammad Yasin ibn 'Isa al-Fadani (Padang), guru besar hadits dan ushul
fikih di perguruan Dâr al-‘Ulûm Mekkah, penulis kitab al-Fawâid
al-Janniyyah 'alâ al-Farâ'id al-Bahiyyah fî al-Qawâ'id al-Fiqhiyyah, Hâsyiah
'alâ al-Asybâh wa al-Nazhâ'ir fi al-Furû' al-Fiqhiyyah (ushul dan kaidah fikih), Fath
al-'Allâm Syarh Bulûgh al-Marâm (hadits
fikih setebal empat jilid), dan al-Durr al-Mandhûd fî Syarh Sunan Abî Dâwud (setebal dua puluh jilid).
Istimewanya,
para masyâyikh di atas mempunyai genealogi keilmuan berupa silsilah yang dapat
dipertanggungjawabkan ketsiqqah-annya. Mereka rata-rata belajar kepada Syaikh
Ahmad Zaini Dahlan, seorang ulama besar mazhab Sunni di Hijâz, yang silsilahnya
menyambung kepada Syaikh Ibrahim al-Bayjuri (Mesir), Muhammad al-Sanusi,
al-Iji, Fakhr al-Din al-Razi, al-Ghazali, al-Juwayni (imam Haramayn), Abu Bakar
al-Baqilani, Abu Abdillah al-Bahili, Abu Hasan al-Asy’ari, dan seterusnya.
Pertanyaannya
sekarang: dimana dan bagaimanakah nasib manuskrip (makhthûthât) kitab-kitab yang telah mereka tulis
itu? Jawabannya mungkin sedikit menjadikan hati kita merasa miris: mayoritas
manuskrip karya ulama Nusantara tempo doeloe tersimpan dan terawat dengan baik
di beberapa museum dan universitas Barat, seperti Leiden (Belanda), Oxford
(Inggris), Bonn (Jerman), ANU (Australia), dan lain-lain. Pun, yang lebih
intens mengkaji sejarah ulama Nusantara adalah beberapa sarjana Barat, bukan
sarjana Muslim. Sejarah ulama Nusantara yang hebat dan agung itu seolah
dilupakan dan disia-siakan oleh anak bangsanya sendiri. Barangkali, inilah
salah satu akibat terfatal dari keengganan sebagain orang Muslim untuk belajar
sejarah.
Beruntung,
para masyâyikh di atas mempunyai beberapa murid yang boyong dan mengabdi di Nusantara.
Di antara murid-murid mereka yang populer adalah KH. Muhammad Kholil
(Bangkalan), KH. Hasyim Asy'ari (Jombang), KH. As'ad Syamsul 'Arifin
(Situbondo), KH. Abbas dan Anas (Cirebon), dan lain-lain. Para kyai tersebut
kelak mempunyai beberapa murid semisal KH. Abdul Karim, KH. Marzuqi Dahlan, KH.
Mahrus Ali (Lirboyo, Kediri), KH. Jazuli Utsman (Ploso, Kediri), KH. Wahhab
Hasbullah (Jombang), KH. Zubair (Sarang, Rembang), KH. 'Alwi (Senori, Tuban),
KH. Faqih (Langitan, Tuban), KH. 'Aqil Siraj, KH. Sanusi (Ciwaringin, Cirebon),
KH. Dimyathi (Banten), KH. Mukhtar Bogor, KH. Rukhiyat (Cipasung, Tasikmalaya),
KH. Abdul Halim (Leuwimunding, Majalengka) dan beberapa rama kyai lain.
Dulu,
para ajengan-kyai mendirikan beberapa pesantren sebagai sarana untuk mengajarkan
dan menyebarkan (ilmu-ilmu) Islam. Beberapa kitab yang telah dianggit oleh
masyâyikh di atas pun dijadikan pegangan wajib—khususnya bagi kalangan pemula (mubtadi'în), dan banyak dijadikan
bahan rujukan. Pesantren (khususnya pesantren tradisional-salaf NU) mempunyai
jasa besar, sebab telah menjaga, melestarikan, dan mengajarkan kitab-kitab
karangan ulama Nusantara yang tak ternilai harganya itu, sekalipun pesantren
kurang dapat mengembangkan semangat produktivitas dan geliat keilmuan yang
telah diwariskan oleh ulama Nusantara tersebut, bahkan tak sedikit yang jatuh
kedalam kubangan taqlid dan taqdis di hadapan kitab-kitab tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar