Perbedaan
pendapat, pertikaian apalagi pertarungan pemikiran yang terjadi di dalam tubuh
ummat Islam akan berakibat tidak hanya dalam wilayah pemikiran, diskusi dan
wacana saja namun juga berakibat pada adanya perpecahan dan pertikaian yang
terjadi dalam semua sisi kehidupan Ummtat Islam.
Kalau
kita pelajari sebab munculnya berbagai macam perbedaan yang menyebabkan
pertikaian, di kalangan Ummt Islam, maka hal itu sungguh akan banyak sekali
menyita pemikiran, dan menguras energi baik ulama ataupun Ummat, yang
seharusnya Ummat Lebih di arahkan dan Fokus untuk menggarap hal-hal yang paling
di butuhkan Ummat Islam saat ini dalam kaca mata Global. Namun Ummat disibukkan
dengan problem di dalam dirinya sendiri yang tidak pernah terselesaikan, masalah-masalah yang sudah di bahas
dari sejak dahulu kala selalu diulang-ulang untuk di pertentangkan dan tidak
pernah mampu untuk diselesaikan oleh Ummat. Ummat Masih mempertentangkan problem-problem
masa lalu tanpa punya kesempatan membahas dan mendiskusikan problem-problem
yang sedang dan akan di hadapi Ummt Islam Untuk menatap masa depannya di
hadapan musuh-mushnya yang Nyata. Sebuah PR yang berat bagi Umat Islam
yang harus segera diselesaikan.
Ummat Islam sebenarnya menyadari akan hal itu, selalu ada upaya untuk mencari titik temu dalam berbagai perbedaan namun kadang tetap saja banyak rintangan yang mengalahkan upaya saling memahami itu. Merupakan usaha yang harus dilakukan sungguh-sungguh dan terus-menerus oleh semua pihak.
Ummat Islam sebenarnya menyadari akan hal itu, selalu ada upaya untuk mencari titik temu dalam berbagai perbedaan namun kadang tetap saja banyak rintangan yang mengalahkan upaya saling memahami itu. Merupakan usaha yang harus dilakukan sungguh-sungguh dan terus-menerus oleh semua pihak.
Perbedaan pendapat dan pemikiran adalah suatu keniscayaan, sehingga bisa menjadi rahmat, namun ketika kita tidak pandai untuk menyikapinya maka hal itu merupakan kehancuran dan kekacauan dalam Ummat. saling mengkritisi adalah sesuatu yang mesti terjadi namun harus di dasari sifat obyektif dan proporsional, tidak hanya saling mencari kesalahan tokoh masing-masing, sehingga ketika setiap tokoh memiliki kelemahan itu dijadikan untuk membodohi yang lain agar tidak melihat pendapatnya pada sisi yang lain.
Setiap tokoh memiliki kelebihan dan kekurangan, dan sikap yang baik adalah mempelajari semua sisi pemikirannya secara komprehensif dan jujur dengan mengungkapkan sisi kelebihannya dan sisi kekurangannya. Tentunya sisi baiknya bisa diterima namun sisi yang tidak disetujui boleh untuk berbeda pendapat dengannya.
Itulah realitas yang terjadi di dalam tubuh ummat Islam dan kita dituntut untuk bersikap adil,Obyektif, dan bijak serta tidak mudah terpancing dan terseret-seret dalam pertikaian tanpa jelas tujuan dan solusinya, tentunya dengan mengedepankan sikap dewasa dan pandangan lebih luas serta rasa toleransi apalagi di antara sesama Ummat Islam.
Setiap tokoh memiliki kelebihan dan kekurangan, dan sikap yang baik adalah mempelajari semua sisi pemikirannya secara komprehensif dan jujur dengan mengungkapkan sisi kelebihannya dan sisi kekurangannya. Tentunya sisi baiknya bisa diterima namun sisi yang tidak disetujui boleh untuk berbeda pendapat dengannya.
Itulah realitas yang terjadi di dalam tubuh ummat Islam dan kita dituntut untuk bersikap adil,Obyektif, dan bijak serta tidak mudah terpancing dan terseret-seret dalam pertikaian tanpa jelas tujuan dan solusinya, tentunya dengan mengedepankan sikap dewasa dan pandangan lebih luas serta rasa toleransi apalagi di antara sesama Ummat Islam.
Perseteruan itu dapat anda lihat :
Mewaspadai Ajaran Sesat Di Luar Ahlussunah
ATAU
http://www.irwanto.net/bacaan-muslim/598/buku-hadist-hadist-palsu-seputar-ramadhan-oleh-prof-kh-ali-mustafa-yaqub-ma.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/03/mengapa-hanya-mentahdzir-syaikh-aliy.html
Buku “ Hadist- Hadist Palsu Seputar Ramadhan”
Celaan Terhadap Ulama Hadist , Al-Albani
http://www.irwanto.net/bacaan-muslim/598/buku-hadist-hadist-palsu-seputar-ramadhan-oleh-prof-kh-ali-mustafa-yaqub-ma.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/03/mengapa-hanya-mentahdzir-syaikh-aliy.html
Beberapa waktu lalu, salah seorang ustadz ‘salafiy’ mempublikasikan fatwa Lajnah Daaimah dalam situsnya yang mentahdzir dua kitab Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy : At-Tahdziir min Fitnatit-Takfiir dan Shaihatun Nadziir. Diberinya fatwa tersebut dengan judul yang cukup provokatif : Fatwa Lajnah Daimah tentang Buku Karya Ali Hasan Al-Halabi : Ali Hasan Al-Halabi menyebar pemikiran Murji'ah. Saya tidak akan membahas tentang fatwa dimaksud, karena Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy sendiri telah menjawabnya dalam kitab berjudul Al-Ajwibatul-Mutalaaimah ‘alaa Fatwaa Al-Lajnah Ad-Daaimah, yang bisa dibaca di sini. Atas jawaban tersebut, Asy-Syaikh Dr. Husain Alusy-Syaikh hafidhahullah (imam dan khathib Masjid Nabawiy) berkata :
والشيخ علي قد ردَّ ردًّا علميّاً [((الأجوبة المتلائمة على فتوى اللجنة الدائمة))] كما عَلَيه سلف هذه الأمَّة.
“Dan Asy-Syaikh ‘Aliy telah membantah dengan bantahan yang ilmiah [Al-Ajwibatul-Mutalaaimah ‘alaa Fatwaa Al-Lajnah Ad-Daaimah] sebagaimana hal itu telah dilakukan oleh salaf umat ini” [Perkataan ini beliau sampaikan dalam muhadlarah beliau yang berjudul :‘Alaa Thariiqis-Sunnah].
Begitu juga reaksi Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah saat mengetahui fatwa Lajnah yang berkata :
وهذا غَلطٌ مِن اللَّجْنَة، أنا مُستَاءٌ مِن هذِهِ الفَتْوى، وَلَقَدْ فَرَّقَتْ هذهِ الْفَتْوَى الْمُسْلِمِينَ في أَنْحاءِ العَالمِ؛ حَتَّى إِنَّهُمْ يَتَّصلونَ بِي مِنْ أَمْرِيكَا وأُوروبّا
“Ini adalah kekeliruan dari Lajnah. Aku merasa terganggu dengan fatwa ini. Fatwa ini telah memecah-belah kaum muslimin di seluruh negeri, hingga mereka menghubungiku dari negeri Amerika dan Eropa” [At-Ta’riifu wat-Tanbi’ah, hal. 15].
Oleh karena itu di sini berlaku perkataan Mujaahid rahimahullah :
لَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلا يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ، وَيُتْرَكُ إِلا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Tidak ada seorang pun setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dimana perkataannya dapat diambil dan ditinggalkan, kecuali Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Juz’u Raf’il-Yadain, hal. 153 no. 179; shahih[1]].
Sebagaimana disebutkan di atas, salah satu kitab yang ditahdzir adalah Shaihatun Nadziir.Alhamdulillah, beberapa waktu lalu saya mendapatkan kitab ini dengan men-download di Muntadaa Kulalsalafiyeen (tepatnya di sini), sehingga mengobati rasa penasaran saya setelah sekian lama mencari apa gerangan isinya. Di antara hal yang menarik saat membaca buku tersebut adalah apa yang tertera di bagian pembukaan/muqaddimahhalaman 6 dimana disitu disebutkan siapa saja yang telah membaca/menelaah kitab tersebut sebelum disebarluaskan (diterbitkan) oleh Asy-Syaikh ‘Aliy hafidhahullah. Berikut saya ambil scan halamannya :
“Sejumlah masyaikh kami dan saudara kami telah membaca/mentelaah kitabku ini sebelum penyebarannya. Yang pertama dari mereka adalah (1) Ustadz kami Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddiin Al-Albaaniy, dan beliau mendoakanku – jazaahullaahu khairan – setelah membacanya : ‘semoga Allah menambahkan taufiq kepadamu’, (2) Ustadz kami Asy-Syaikh Muhammad Syaqrah, (3) Ustadz kami Asy-Syaikh Muhammad Ra’fat, (4) Al-Ustadz Asy-Syaikh Rabii’ bin Haadiy, (5) Al-Ustadz Muhammad ‘Umar Bazmuul, (6) Al-Akh Asy-Syaikh Masyhuur Hasan, (7) Al-Akh Asy-Syaikh Saliim Al-Hilaaliy, (8) Al-Akh Asy-Syaikh Muraad Syukriy, dan yang lainnya – baarakallaahu fiihim” [selesai].
Asy-Syaikh Rabii’ Al-Madkhaliy dan Asy-Syaikh Muhammad Bazmuul hafidhahumallah sayabold secara khusus, sebagai penekanan bahwa penyebaran dan penerbitan kitab tersebut setelah dibaca oleh beliau berdua.
Oleh karena itu,..... sungguh aneh jika ‘sang ustadz’ yang dulu diam tidak mencap Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy hafidhahullah sebagai murji’ sekarang menjadi berbalik keadaannya. Apakah itu dikarenakan dulu Asy-Syaikh ‘Aliy tidak berselisih dengan Asy-Syaikh Rabii’ dan Asy-Syaikh Bazmuul sehingga tidak dicap seorang murji’; dan kemudian bermetaforfosis menjadi murji’ setelah berselisih dengan keduanya ?. Entahlah.....
Seandainya, ‘sang ustadz’ memproklamirkan Asy-Syaikh ‘Aliy adalah murji’ karena tahdzir Lajnah terhadap kitab Shaihatun Nadziir (di antaranya), apakah ‘sang ustadz’ juga akan mentahdzir Asy-Syaikh Rabii’ dan Asy-Syaikh Muhammad Bazmuul yang telah menelaah kitab itu sebelum penyebarannya ?. Atau,.... mentahdzir yang lebih tinggi dari keduanya, yaitu Al-Imaam Al-Albaaniy rahimahullah (yang telah menjuluki Asy-Syaikh Rabii’ sebagai pemegang bendera al-jarh wat-ta’diil di jaman ini – dan perkataan beliau ini selalu diulang-ulang di banyak kesempatan untuk menyatakan ketinggian martabat Asy-Syaikh Rabii’) ?. Entahlah....
وإن كنت لا تدري فتلك مصيبة. وإن كنت تدري فالمصيبة أعظم
“Dan seandainya engkau tidak mengetahui, maka itu musibah. Namun seandainya engkau tahu, maka musibah itu lebih besar (bagi dirimu)”.
Apa sebab dari semua itu ?. Saya persilakan para Pembaca untuk menjawabnya.
وَعَيْنُ الرِّضَا عَنْ كُلِّ عَيْبٍ كَلِيْلَةٌ
كَمَا أَنَّ عَيْنَ السُّخْطِ تُبْدِي الْمَسَاوِيَا
“Mata yang penuh ridla akan terpejam dari segala aib yang ia lihat
Sedangkan mata yang penuh kebencian yang ia lihat hanyalah keburukan”.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – wonokarto, wonogiri – 14032012].
[1] Riwayat tersebut secara lebih lengkap beserta sanadnya adalah :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: " لَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلا يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ، وَيُتْرَكُ إِلا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Abdul-Kariim, dari Mujaahid, ia berkata : “Tidak ada seorang pun setelah Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam dimana perkataannya dapat diambil dan ditinggalkan, kecuali Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.
Keterangan perawinya adalah sebagai berikut :
a. Qutaibah bin Sa’iid bin Jamiil bin Thariif bin ‘Abdillah Ats-Tsaqafiy, Abu Rajaa’ Al-Balkhiy Al-Baghlaaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun tahun 150 H, dan wafat tahun 240 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [lihat : Tahdziibul-Kamaal 23/523-537 no. 4852, Tahdziibut-Tahdziib 8/358-361 no. 641, dan Taqriibut-Tahdziib, hal. 799 no. 5557].
b. Sufyaan bin ‘Uyainah bin Abi ‘Imraan Al-Hilaaliy, Abu Muhammad Al-Kuufiy Al-Makkiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, imaam, dan hujjah. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 107 H, dan wafat tahun 198 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 395 no. 2464].
c. ‘Abdul-Kariim bin Maalik Al-Jazariy, Abu Sa’iid Al-Harraaniy Al-Hadlramiy; seorang yangtsiqah lagi mutqin. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 127 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 619 no. 4182].
d. Mujaahid bin Jabr Al-Makkiy, Abul-Hajjaaj Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy; seorang yang tsiqah lagi imam di bidang tafsir. Termasuk thabaqah ke-3 dan wafat tahun 101/102/103/104 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 921 no. 6523].
Para perawinya tsiqaat dan sanadnya bersambung (muttashil).
PERISAI PENANGKIS DI DALAM MEMBELA AL-IMAM AL-ALBANI DARI KEJAHATAN
”AL-MUDZABDZAB” AT-TAHRIRI (2)
الحصن
المنيع للدفاع عن الإمام الألباني من
مشاغبة
المذبذب التحريري
PERISAI
PENANGKIS DI DALAM MEMBELA AL-IMAM AL-ALBANI DARI KEJAHATAN ”AL-MUDZABDZAB”
AT-TAHRIRI
[Bagian
2]
BENARKAH
MEREKA PARA ULAMA PEMBELA ISLAM?!
Saya lanjutkan menukil penyebutan
al-Mudzabdzab terhadap kitab-kitab dan ulama yang berlawanan dengan Syaikh
al-Albani, dia menyebutkan diantara ulama yang membantah Syaikh al-Albani
rahimahullahu :
1.
Ulama Ahli Hadits India,
Habiburrahman al-Azhami yang menulis kitab Al-Albani Syudzudzuhu wa
Akhtha’uhu (Keganjilan dan kekeliruan Albani) dalam 4 jilid.
2. Ulama
Siria yaitu DR. Muhammad Said Ramadhani al-Buthi yang mengarang al-Laamadzhabiyyah
Akhtaru Bid’atin Tuhaddidu asy-Syari’atal Islamiyyah (Tidak bermadzhab
bid’ah terbahaya yang menentang Syariat Islam) dan kitab As-Salafiyyatu
Marhalatun Zamaniyyatun Mubarakatun La Madzhabun Islamiyyi (Salafiyah
adalah tahapan zaman yang penuh berkah bukan madzhab Islami)
3. Ulama
Ahli Hadits Maroko yaitu Abdullah bin Shiddiq al-Ghumari yang menulis Irghamul
Mubtadi’ al-Ghabi bi Jawazit Tawassul bin Nabiy fir Raddi ’ala al-Albani
al-Wabi (Pukulan Terhadap Pelaku Bid’ah yang Dungu Tentang Bolehnya
Bertawasul Dengan Nabi Sebagai Bantahan Terhadap Albani Yang Jahat), al-Qoulul
Muqni’ fir Raddi ’ala al-Albani al-Mubtadi’ (Perkataan Yang Terang Di
Dalam Membantah Albani Si Pelaku Bid’ah) dan Itqaan as-Sun’ah fi
Tahqiqi Ma’nal Bid’ah (Aktivitas Yang Mulia di dalam Penelitian Makna
Bid’ah)
4. Abdul
Aziz bin Muhammad bin Shiddiq al-Ghumari yang menulis Bayaanu Naqdul
Naaqish al-Mu’tadi(Penjelasan Tentang Kritikan Terhadap Penentang Yang
Lemah).
5. Ulama
Siria yaitu Abdul Fattah Abu Ghuddah yang menulis ar-Radd ’alal
Abaathil wa iftiraa`at Nashir Albani wa Shahibihi Zuhair asy-Syawisy wa
Mu’azirihima (Bantahan Terhadap Kebatilan dan Kedustaan Nashir Albani
dan Sahabat Lamanya Zuhair Syawisy dan Para Pengikut Keduanya).
6. Ulama
Mesir yaitu Muhammad Awwama yang menulis Adabul Ikhtilaaf (Etika
Bertikai).
7. Ulama
Mesir yaitu Mamduh Sa’id Mamduh yang menulis Wushul at-Tahani bi
Itsbaati Sunniyat as-Subhah war Radd ’alal Albani (Meraih Cahaya
Manfaat dan Ketetapan Sunnahnya Tasbih dan Bantahan Terhadap Albani) dan Tanbiihul
Muslim ila Ta’addil Albani ’ala Shahih Muslim (Peringatan Terhadap
Muslim Tentang Kelancangan Albani Terhadap Shahih Muslim).
8. Ahli
Hadits Saudi yaitu Ismail Muhammad al-Anshari yang menulis Ta’aqqubaat
’ala Silsilatil Ahaadits adl-Dlaaifah wal Maudlu’ lil Albani (Kerancuan
Silsilah Hadits-Hadits Lemah dan Palsu Karya Albani),Tashhih Sholaatit
Taraawih Isyriina Rak’atan war Raddu ’alal Albani fi Tadl’ifihi (Pensahihahan
Sholat Tarawih 20 Raka’at dan Bantahan Terhadap Albani Atas Pendhaifannya) dan Ibaahatut
Tahalli bidz Dzahab al-Muhallaq lin Nisaa’ war Raddu ’alal Albani fi Tahriimihi (Bolehnya
Memakai Emas Melingkar Bagi Wanita dan Bantahan Terhadap Albani Atas
Pengharamannya).
9. Ulama
Siria yaitu Badruddin Hasan Diab yang menulis Anwaarul Mashaabih ’ala
Zhulumaatil Albani fi Shalatit Tarawih (Pelita Penerang Terhadap
Kegelapan Albani Di Dalam Masalah Shalat Tarawih).
10. Direktur
Urusan Keagamaan di Dubai, yaitu Isa bin Abdullah bin Mani’ al-Himyari yang
menulis al-I’lam bil Istihbaabi Syaddur Rihaal li Ziyaarati Qobri
Khayral Anaam Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (Penjelasan Tentang
Bolehnya Bepergian Jauh Dalam Rangka Berziarah ke Kubur Manusia Terbaik
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) dan al-Bi’datul Hasanah Ashlun Min Ushulutit
Tasyri’ (Bid’ah Hasanah adalah Pokok dari Pokok-Pokok Dasar
Pensyariatan).
11. Menteri
Urusan Islam dan Keagamaan di Uni Emirat Arab yaitu Muhammad bin Ahmad
al-Khazraji yang menulis sebuah artikel berjudul al-Albani :
Tatharuffatuhu (Al-Albani : keekstrimannya)
12. Ulama
Siria yaitu Firad Muhammad Walid Ways dalam kitabnya Ibnul Mulaqqin yang
berjudulSunniyatul Jum’ah al-Qobliyah (Sunnahnya Sholat Qabliyah
Jum’at).
13. Ulama
Siria yaitu Samir al-Istanbuli yang menulis al-Ahad, al-Ijma’ wan
Naskhu
14.
Ulama Yordania yaitu Hasan Ali
as-Saqqof yang menulis 2 jilid buku berjudul Tanaqudlaat al-Albani
al-Wadlihah fima waqo’a fi tashiihil Ahaadits wa tadl’ifiha minal Akhtho’ wal
Gholath (Kontradiksi Nyata Albani Di Dalam Kekeliruan dan Kesalahan
Pensahihan dan Pendhaifan Hadits-Hadits), Ihtijaajul Kha’ib bi Ibaarati
Man-idda’al Ijma’ fahuwa Kaadzib (Pendalilan Yang Lemah Terhadap
Ungkapan Barangsiapa Yang Mengaku Adanya Ijma’ Maka Dia Telah Berdusta), al-Qoulu
ats-Tsabt fi Shiyaami Yawmis Sabti(Ucapan Yang Mantap Tentang Berpuasa Pada
Hari Sabtu), al-Lajif adh-Dhu’af al-Mutala’ib bi Ahkamil I’tikaaf (Pukulan
Yang Mematikan Bagi Orang-Orang Yang Bermain-Main Dengan Hukum I’tikaf),Shahih
Shifatus Sholatin Nabi, I’lamul Kha’id bi Tahrimil Qur’an ’alal
Junub wal Ha’idl (Penjelasan Yang Terang Tentang Haramnya al-Qur’an
Bagi Orang Yang Junub dan Haidh), Shahih Syarh Aqidah ath-Thohawiyah.
Setelah mencomot nukilan-nukilan
di atas, si Mudzabdzab ini berkomentar :
Alhamdulilah,
telah bangkit para ulama pembela Islam untuk meluruskan
penyimpangan-penyimpangan yang disebarkan oleh ’orang yang tidak bertanggung
jawab’, sehingga ummat ini tetap dalam jalan yang sesuai dengan al-Haq yaitu
al-Kitab dan as-Sunnah
Saya Jawab : Wahai Mudzabdzab…
perhatikanlah sebentar lagi hakikat orang-orang yang kau sebut sebagai ”para
ulama pembela islam”. Wahai mudzabdzab!!! Sungguh akan kembali ucapanmu di atas
kepadamu sendiri dan kelompokmu yang kau puja dan kau puji, dan sesungguhnya
perkataanmu ’orang yang tidak bertanggung jawab’ yang engkau beri tanda petik
di atasnya itu hakikatnya adalah mereka yang kau nukil ucapannya. Orang-orang
yang kau katakan sebagai pembela Islam akan tampak hakikatnya sebentar lagi
–insya Allah-. Dan jalan yang kau katakan dengan al-Haq adalah jalan yang kau klaim
dengan kebodohanmu belaka tanpa ada buktinya…!!!
Pembaca budiman, sesungguhnya
Mudzabdzab ini hanya menukil dan mencomot begitu saja dari website pembenci
dakwah salafiyah dan ulamanya. Saya katakan demikian, karena tulisan yang ia
nukil dalam format transliterasi Arab ke Inggris dan dalam terjemahan dari
versi Inggris, dan itupun dia banyak sekali melakukan kengawuran di dalam
menterjemahnya. Berikut ini, akan kita kupas tuduhan-tuduhan si mudzadzab yang
jahil ini -dan pembaca insya Allah akan menemukan kejahilannya yang amat sangat
sebentar lagi, yang hal ini menunjukkan kejahilan syabab Hizbut Tahrir terhadap
dien ini, kepandaian orang ini hanyalah bermain kata-kata dan pengkhianatan
ilmiah.-
Berikut ini hakikat orang-orang
yang dia katakan sebagai ulama pembela Islam dan dia gelari dengan Imam dan
ulama hadits[1] :
Habiburrahman al-A’zhami al-Hindi
(Arsyad as-Salafi)
Syaikh Sholahudin Maqbul Ahmad
berkata di dalam kitab beliau yang bermutu yang berjudul Zawabi’ fi
Wajhi Sunnah Qadiman wa Haditsan (terj. Bahaya Mengingkari Sunnah,
pent. Pustaka Azzam) di dalam bab “Kesewenang-wenangan Orang-Orang Yang
Bertaklid Atas Hadits-Hadits Nabi” yang menjelaskan tentang bahaya orang-orang
yang fanatik madzhab terhadap hadits nabi, yang kebanyakan mereka jika menemui
hadits yang sesuai dengan madzhab imam yang mereka ikuti maka mereka gembira
bercampur bangga. Namun jika hadits tersebut bertentangan dengan madzhab imam
mereka dan sesuai dengan madzhab lainnya, maka mereka marah. Syaikh Sholahudin
di dalam hasyiah (catatan kaki)nya mengomentari dan
menjelaskan perkataan tersebut sebagai berikut :
”Sikap ini terlihat pada diri
tokoh-tokoh di kalangan mereka apalagi di kalangan umum (awam). Contoh yang
paling dekat adalah sikap Syaikh Habiburrahman al-A’zhami al-Hanafi al-Hindi.
Ia tumbuh dalam pengabdian kepada sunnah nabi sampai usia 60 tahun lebih. Ia
juga mentakhrij buku-buku hadits lebih dari 40 jilid. Akan tetapi sikap
fanatiknya tidak berubah, sehingga usahanya itu tidak berguna, kecuali ia hanya
menegakkan hujjah atas dirinya sendiri. Kami memohon keselamatan kepada
Allah!”
Berikut ini akan kami sampaikan
satu contoh dari masalah tersebut :
Seseorang yang menelaah tahqiiqot (penelitian-penelitian)
Syaikh al-A’zhami, dapat melihat dengan jelas bahwa di banyak kesempatan
al-A’zhami tidak lebih mengatakan, ”Demikianlah yang terdapat di dalam manuskrip”.
”Demikianlah yang terdapat di dalam al-Majma”. Akan tetapi, ketika disebutkan
kepadanya riwayat Barra’ bin ’Azib mengenai tidak mengangkat kedua tangan di
dalam sholat kecuali satu kali dalam Mushanaaf Abdirrazaq (III/71),
ia memberikan komentar tidak seperti biasanya hingga mencapai 11 baris kalimat
sebagai berikut : ”Semoga Allah merahmati. Di antara mereka adalah Imam
Turmudzi. Fanatismenya terhadap gurunya, Imam Bukhari, tidak membawanya kepada
penyimpangan dari kebenaran. Sungguh ia menyatakan hasan hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, kemudian ia mengumumkan bahwa ia berpedoman pada
hadits tersebut. Hadits ini juga menjadi pedoman banyak ulama…”
Padahal sebelum riwayat itu sudah
ada sekitar 10 riwayat tentang mengangkat kedua tangan di dalam sholat. Tetapi
al-A’zhami tidak lapang dada terhadap riwayat-riwayat tersebut, seperti ketika
ia bersikap lapang dada terhadap riwayat ini dengan memberikan komentar. Ia
mengisyaratkan penyimpangan Bukhari dari kebenaran.
Di samping itu, ketika disebutkan
riwayat al-Humaidi dengan jalur riwayat Salim bin Abdullah, dari bapaknya, ia
berkata, ”Aku melihat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam apabila beliau
memulai sholat beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya. Apabila
beliau ingin ruku’ dan setelah bangun dari ruku’, maka beliau tidak mengangkat
kedua tangannya dan tidak juga ketika bangkit di antara dua sujud.” (Musnad
al-Humaidi II/227).
Al-A’zhami mengomentari riwayat
ini sebagai berikut : ”Dalam riwayat al-Humaidi, Nabi tidak mengangkat kedua
tangannya ketika hendak ruku dan bangkit dari ruku, dan tidak pula ketika
bangkit dari duduk antara dua sujud semuanya. Semua ahli hadits tidak ada yang
menentang riwayat Humaidi ini!”
Bagaimana ahli hadits menentang
sedangkan riwayatnya telah dirubah dalam naskah yang menjadi pegangan
al-A’zhami dalam komentarnya terhadap riwayat tersebut. Adapun dalam naskah
azh-Zhahiriyah –yang ia sendiri mengakui telah membandingkannya- berbeda dengan
musnad yang telah dicetak, yaitu dengan lafazh ”Apabila beliau memulai sholat beliau
mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya, apabila beliau ingin
ruku’ dan setelah bangun dari ruku’, dan beliau tidak mengangkat kedua
tangannya ketika bangkit di antara dua sujud.”
Begitulah perilaku orang fanatik.
Herannya, bagaimana mereka bisa bersikap lapang dada terhadap riwayat yang
diputarbalikkan tapi mendukung pendapatnya ini, sebaliknya mereka tidak suka
riwayat yang bertentangan dengan pendapatnya. Kita berlindung kepada Allah dari
perubahan ini dan dari sikap ridha terhadap perubahan dalam hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. [2]
Jika para pembaca mau, silakan
membaca secara lengkap sejarah perubahan hadits baik yang terjadi pada Mustadrak
al-Hakim, Sunan Abu Dawud, Mushonnaf Ibnu Abi Saibah dan selainnya di
dalam kitab Syaikh Sholahudin Maqbul Ahmad ini (Bahaya Pengingkaran Sunnah)
hal. 253-272. Di dalam bab ini, para pembaca akan diajak ber’tamasya’ oleh
Syaikh Sholahudin di dalam melihat pengkhinatan para fanatikus madzhabi di
dalam merubah sunnah nabawiyah agar sesuai dengan madzhabnya. Nas’alullaha
salaamah wal ’aafiyah.
Perlu para pembaca budiman
ketahui, bahwa Habiburrahman al-A’zhami al-Hanafi ini di kalangan muhadditisin
India dikenal sebagai orang fanatik terhadap madzhab Hanafiyah dan mudallis (gemar
menyembunyikan kebenaran). Muhadditsin India dari Jum’iyyah Ahlil Hadits semacam
Syaikh Ubaidillah ar-Rehmani, Syaikh Abdul Hamid ar-Rehmani, Syaikh
Shafiyurrahman al-Mubarakfuri (baca : al-Mabarkapuri), Syaikh Abul Qasim
al-Benaresi, Syaikh Muhammad Isma’il as-Salafi, Syaikh Abul Kalam Azad, Syaikh
Muhammad Sulaiman al-Mansurpuri, Syaikh Badi’udin Syah ar-Rasyidi, Syaikh
Muhammad Mustofa al-A’zhami dan lain-lain tidak mentazkiyah Habiburrahman
bahkan sebagian mereka membantah syudzudz (keganjilan)-nya
karena lebih mendahulukan madzhab daripada hadits Nabi yang mulia.
Bahkan Syaikh Albani mengomentari
Habiburrahman sebagai berikut : ”…Salah seorang musuh Sunnah dan musuh penyeru
Tauhid, Syaikh Habiburrahman al-A’zhami yang bersembunyi di balik nama
samarannya Arsyad as-Salafi, karena dia tidak punya keberanian dan takut
berpolemik secara ilmiah dan beradab. Ini dia lakukan di dalam karyanya yang
berjudul Al-Albani Syudzudzuhu wa Akhtha’uhu.”[3]
Syaikhuna al-Fadhil, Salim bin
Ied al-Hilali dan Ali Hasan al-Halabi hafizhahumallahu telah membantah
Habiburrahman al-A’zhami ini di dalam dua jilid karya mereka yang berjudul ar-Raddul
’Ilmiy ’ala Habibirrahman al-A’zhami –dan Insya Allah akan dicetak
jilid ketiganya-. Demikianlah keadaan Habiburrahman al-A’zhami yang
menulis Al-Albani Syudzdzuhu wa Akhtha’uhu, yang dicomot oleh
Mudzabdzab al-Hizbi.
Kemudian muncul di benak saya,
apakah gerangan yang melandasi si Mudzabdzab ini menghimpun bantahan
Habiburrahman ini?? Kenapa dia tidak menukilnya dengan mencukupkan dari tokoh
atau ulama Hizbut Tahrir saja?! Ternyata, jawabannya sangat jelas ketika kita
telah melihat simpul benang merah yang tinggal ditarik saja, yaitu :
1.
Hizbut Tahrir tidak memiliki
satupun ulama hadits. Dan ini adalah realita! karena Hizbut Tahrir tidak
memiliki tahqiqot, ta’liqot maupun takhrijat terhadap
kitab ulama hadits. Bahkan menurut mereka, kodifikasi ilmu hadits saat ini
bukanlah cara untuk menuju kebangkitan Islam sebagaimana dikatakan oleh an-Nabhani
rahimahullahu di dalam kitabnya yang berjudul Nizhamul
Islam. Adapun klaim Mudzabdzab yang menyebut sebagian tokoh hizb semisal
Fathi Salim, Samih ’Athifuzzain dan selainnya sebagai muhaddits hanyalah isapan
jempol belaka. Akan datang keterangannya pada pembahasannya insya Allah Ta’ala.
2.
An-Nabhani dan mayoritas tokoh
Hizb adalah Asy’ariyah Maturidiyah, maka tidaklah heran jika mereka getol
mengambil pendapat al-Kautsari, al-Hamid, Abu Ghuddah, al-A’zhami dan semisal
mereka[4].
Bahkan, Yusuf an-Nabhani ash-Shufi, kakek Taqiyudin an-Nabhani al-Hanafi
termasuk pembesar hanafiyah berakidah shufiyah quburiyah. Yusuf an-Nabhani ini
memiliki karangan yang berjudulSyawahidul Haqq yang dikomentari
oleh Ustadz Tengku Hasbi ash-Shiddiqui sebagai kitab sufiyah yang penuh dengan
cercaan terhadap ulama Ahlus Sunnah terutama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Al-Muhaddits Iraq, al-Allamah Mahmud Syukri al-Alusi telah membantah Yusuf
an-Nabhani ini. Dua simpul telah kita tarik di sini, dan inilah mengapa mereka
berserikat dengan as-Saqqof murid al-Kautsari yang kedua-duanya pembenci
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Usut punya usut, ternyata pendahulu Fanatikus Hanafiyin
yang bernama Ala`uddin Muhammad bin Muhammad al-Bukhari al-Hanafi (w. 841 H)
menuduh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan kekafiran. Oleh karena itu,
al-Allamah Muhammad bin Nashirudin ad-Dimasyqi asy-Syafi’i membantah tuduhan
Ala`uddin tersebut di dalam kitab beliau yang masyhur yang berjudul ar-Raddul
Wafir ’ala Man Za’ama Anna Man Summiya Ibn Taimiyah Syaikhal Islam Kaafir (buku
ini diterbitkan dengan tahqiq Syaikh Zuhair asy-Syawisy diterbitkan oleh
al-Maktab al-Islamiy, Beirut). Bahkan syaikh Badruddin al-’Aini al-Hanafi
memuji kitab ini, karena beliau bukanlah termasuk fanatikus madzhab Hanafi dan
beliau lebih mencintai sunnah nabi dan al-Haq daripada taqlid dan ashobiyah.
3.
si Mudzabdzab yang syabab Hizbut
Tahrir ini dan kaum shufiyah, jahmiyah, asy’ariyah dan firqoh sesat lainnya
berserikat di dalam membenci ahlus sunnah, ahlul hadits dan ahlul atsar. Hal
ini tampak sebentar lagi dengan dasar referensi al-Mudzdzab al-Hizbi ini yang
mencomot dari kitab-kitab sesat yang mengajarkan kesyirikan dan kebid’ahan
untuk mengantam dakwah tauhid yang dijuluki dakwah Wahabiyah. Allahul
Musta’an.
DR. Said Ramadhan al-Buthi
Satu lagi pembesar asy’ari sufi
dikemukakan sebagai hujjah untuk menghantam manhaj salaf dan ahlinya. Al-Buthi
ini dikenal dengan sikap permusuhannya terhadap Manhaj Salaf dan ahlinya.
Beliau menyatakan bahwa bermadzhab secara mu’ayan (spesifik)
adalah wajib dan menyatakan bahwa tidak bermadzhab adalah suatu kebid’ahan yang
membahayakan agama, sebagaimana tertuang di dalam kitabnya yang berjudul al-Laamadzhabiyyah
Akhtharu Bid’ah. Beliau juga menyatakan bahwa salafiy bukanlah manhaj,
namun merupakan zaman penuh berkah belaka, sebagaimana termaktub di dalam
kitabnya as-Salafiyatu Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Madzhab Islamiy,
yang isinya mencela penisbatan salafiy dan membatalkan manhaj salaf dari
pokoknya. Tampaknya, al-Mudzabdzab al-Hizbi sepertinya menukil pendapat
al-Buthi ini ketika menyangkal tentang eksistensi manhaj salaf di dalam risalah
bantahannya yang ’gelap gulita’. Insya Allah akan datang penjelasan dan
bantahannya pada pembahasannya.
Al-Buthi ini adalah seorang
Asy’ariyah tulen dan pembela madzhab Asy’ariyah. Hal ini tampak di dalam
kitabnya yang berjudul Kubro al-Yaqqiniyaat al-Kauniyah[5] namun
beliau melakukan kontradiksi dengan kitabnya terdahulu yang berjudul al-Aqidah
al-Islamiyah wal Fikru al-Mu’ashir yang menetapkan manhaj salaf dengan
menukil dari buku al-Ibanah ’an Ushulid Diyaanah karya Imam
al-Jalil Abul Hasan al-Asy’ari.
Berikut ini saya nukilkan
kontradiksi al-Buthi dari kedua kitabnya yang saya nukil dari Majalah
al-Asholah (no. 12/15 Shofar 1415/Tahun II/Yordania) di dalam artikel yang
berjudul DR. al-Buthi min Khilaali Kutubihiyang disusun oleh Syaikh
Abu Abdillah asy-Syaami.
Kubro al-Yaqqiiniyat al-Kauniyyah
|
Al-Aqiidah wal Fikru al-Mu’ashir
|
||||||||
Tentang
Hadits Ahad
|
|||||||||
Tentang
Kalamullah
|
|||||||||
Ketinggian
Allah
|
|||||||||
Sifat
Allah
|
DR. Said Ramadhan al-Buthi pernah
berdialog dengan Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani dan muridnya, Syaikh
Muhammad Ied Abbasi[6] seputar
masalah madzhabiyah. Al-Buthi menulis sebuah buku yang mengharamkan bagi
seorang muslim untuk tidak bermadzhab yang tertuang di dalam kitabnya yang
berjudul al-Laamadzhabiyah Akhtaru Bid’ah Tuhaddidu asy-Syarii’atal
Islamiyyah. Syaikh Muhammad Ied Abbasi membantah syubuhat dan
argumentasi al-Buthi di dalam kitab beliau yang berjudul Bid’atut
Ta’ashshubil Madzhabi wa Atsaruha al-Khathirah fi Jumudil Fikri wa Inhithaatil
Muslimiin (Bid’ahnya fanatik terhadap madzhab dan pengaruhnya yang
berbahaya bagi kebekuan pemikiran dan pembodohan kaum muslimin).
Di dalam kitab setebal lebih dari
350 halaman ini, syaikh Muhammad Ied Abbasi memangkas kerancuan dan
kesalahkaprahan al-Buthi di dalam memandang wajibnya bermadzhab secara
spesifik/tertentu. Faham ini berangkat dari pemahaman tentang tertutupnya pintu
ijtihad pasca generasi Imam yang empat dan pemilahan manusia di dalam agama ini
hanya menjadi dua, yakni imma seorang mujtahid atau immaseorang
muqollid. Padahal pemilahan yang demikian ini adalah pemilahan yang kurang dan
tidak mencukupi. Berikut inilah penjelasan yang dipaparkan oleh Syaikh
al-Allamah al-Muhaddits Muhammad Nashirudin al-Albani rahimahullahu :
”Termasuk hal yang disepakati
oleh para ulama bahwa taklid adalah ”Mengambil suatu pendapat tanpa diketahui
dalilnya.” Artinya taklid bukanlah berdasarkan ilmu pengetahuan. Maka atas
dasar ini, para ulama menetapkan bahwa orang yang melakukan taklid tidak
dinamakan orang yang alim.[7] Bahkan
Ibnu Abdil Barr telah menukil kesepakatan tentang hal ini di dalam Jami’
Bayanil Ilmi (II/37 dan 117), Ibnul Qoyyim dalam I’lamul
Muwaqqi’in (III/293) dan Suyuthi serta para peneliti lainnya, hingga
sebagian mereka secara berlebihan mengatakan, ”Tidak ada perbedaan antara
taklid terhadap hewan dengan taklid terhadap manusia.”
Penulis kitab al-Hidayah berkata
berkaitan dengan seorang ahli taklid yang memegang jabatan hakim, ”Adapun
taklid yang dilakukan oleh orang awam menurut kami adalah boleh, berbeda dengan
pendapat imam Syafi’i.[8] Oleh
karena itu, para ulama berkata bahwa orang yang taklid tidak diperkenankan
untuk memberikan fatwa.
Dengan mengetahui hal itu, maka
jelaslah bagi kita sebab yang mendorong kaum salaf mencela dan mengharamkan
taklid,[9] karena
perbuatan taklid dapat menyeret seseorang untuk berpaling dari al-Kitab dan
as-Sunnah dalam rangka berpegang teguh dengan pendapat para imam dan taklid
terhadap mereka sebagaimana yang sering terjadi di kalangan ahli taklid.[10] Bahkan
larangan melakukan taklid seperti ini telah dinyatakan secara transparan oleh
para imam generasi baru dalam kalangan madzhab Abu Hanifah.[11]
Al-Buthi disusupi pemahaman bahwa
ia menjadikan ijtihad sebagai sisi yang berhadapan dengan taklid, jika
seseorang tidak bertaklid maka tentulah berijtihad. Sehingga ia menuduh para
du’at sunnah atau salafiyin mewajibkan pengikutnya untuk berijtihad baik ia
seorang yang alim maupun jahil, dan ia menyatakan bahwa taklid adalah haram
baik terhadap seorang alim maupun jahil. Tentu saja ini adalah kesalahan dan
kedangkalan dalam berfikir serta kesalahfahaman yang sangat nyata.
Al-Buthi tidak menyadari bahwa
selain ijtihad dan taklid, ada sisi ketiga, yaitu ittiba’, dan para
imam telah memahami bahwa yang dimaksud dengan ittiba’ adalah
mengikut pendapat seorang imam karena kuatnya dalil, yaitu dalil menjadi acuan
pertama bukannya ucapan imam itu sendiri. Maka dari sini, jelas bahwa sisi yang
berhadapan langsung dengan taklid adalah ittiba’ bukan ijtihad.
Sebagai kesimpulan adalah bahwa
para du’at sunnah atau salafiyun tidaklah mewajibkan ijtihad kepada para
pengikutnya, tuduhan salafiyin mewajibkan ijtihad kepada pengikutnya ini jelas
adalah suatu kedustaan terhadap salafiyin, karena ijtihad adalah hak para ulama
yang memiliki kapasitas memadai untuk berijtihad. Namun salafiyun mewajibkan
pengikutnya untuk ittiba’ kepada setiap muslim yang memiliki dalil terkuat, baik
dari pendapat Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbaliyah, Tsauriyah ataupun
Zhahiriyah maupun selainnya yang ditopang oleh dalil yang kuat. Oleh karena itu
salafiyun mengharamkan taklid kecuali dalam keadaan darurat, seperti orang yang
tidak mampu meneliti dalil, maka tiada kewajiban baginya melainkan hanyalah
taklid, dan inipun dalam keadaan darurat.[12]
Adapun karyanya yang berjudul as-Salafiyyatu
Marhalatun Zamaniyyatun Mubarokatun La Madzhabun Islamiyah merupakan
buku yang penuh dengan kegelapan dan celaan terhadap salaf. Syaikh Salim
al-Hilali menyebutkan bahaya buku ini sebagai berikut :
1. Al-Buthi
berusaha mencela as-Salaf dan Manhaj Ilmiah mereka dalam talaqqi,
istidlal dan itstinbath. Dengan demikian, ia telah
menjadikan mereka seperti orang-orang yang ummi yang tidak memahami al-Kitab
melainkan hanya angan-angan.
2. Dia
telah menjadikan manhaj salaf dan salafiyyah hanyalah sejarah masa lalu yang
telah sirna dan takkan kembali lagi kecuali hanya dalam angan-angan.
3. Mengklaim
bid’ahnya berintisab kepada salaf, sehingga ia telah mengingkari satu perkara
yang sudah dikenal dan tersebar sepanjang zaman secara turun temurun.
4. dia
berputar seputar manhaj salaf dalam rangka membenarkan madzhab kholaf dimana
akhirnya ia menetapkan bahwa manhaj kholaf adalah penjaga dari kesesatan hawa
nafsu dan menyembunyikan kenyataan-kenyataan sejarah bahwa manhaj kholaf telah
menghantarkan kepada kerusakan pribadi muslim dan pelecehan terhadap manhaj
Islam.[13]
Di sinilah kesekian kali,
simpatisan Hizbut Tahrir ini membawakan bantahan terhadap salafiyin dengan
ucapan-ucapan atau tulisan para fanatikus madzhabi yang melazimkan seorang
muslim untuk bermadzhab dengan madzhab tertentu, bahkan mengharamkan dan
membid’ahkan madzhab salaf yang hakikatnya madzhab salaf ini tidak fanatik
terhadap seorangpun selain Rasulullah dan tidak menganjurkan kaum muslimin
untuk bermadzhab secara mu’ayan (spesifik), hal ini menunjukkan bagaimana HT
dan para ulama fanatikus madzhabi yang mereka jadikan acuan berupaya
melanggengkanta’ashshub madzhabi dan mengajak kaum muslimin untuk
taklid kepada para imam madzhab, tidak kepada dalil yang rajih dari
madzhab mereka.
Sebenarnya saya ingin sekali
menambahkan penjelasan secara mendetail tentang penyimpangan dan kesalahan
al-Buthi yang ditulis oleh para ulama sunnah[14],
namun saya rasa apa yang saya nukil cukup adanya. Namun jika sekiranya
al-Mudzdabdzab al-Hizbi dan Lazuardi al-Haqid menghendaki untuk melanjutkan
mengupas kejelekan al-Buthi ini, maka insya Allah peperangan antara pembelaan
yang haq dan penghancuran yang bathil ini akan terus berjalan. Apalagi, si
mudzbdzab al-jahil ini hanyalah menukil dan main comot belaka dari situs-situs
sufiyah, jahmiyah dan ahlul bid’ah lainnya, tanpa mau tahu apa isi dari
nukilan-nukilannya. Sungguh tidak aneh lagi…!!!
Abdullah bin Muhammad ash-Shiddiq
al-Ghumari
Satu lagi dari Maroko, pembenci
Syaikh al-Muhaddits al-Albani rahimahullahu. Abdullah al-Ghumari ini terkenal
akan kesufiyahannya. Dia seorang pembela madzhab sufi tulen dan ia mengklaim
bahwa dia adalah Syafi’iyah. Syaikh Abdullah ini walaupun tidak bersepakat
dengan al-Kautsari, bahkan beliau membantah dan menghabisi al-Kautsari dalam
kitabnya Bida’ut Tafasir, namun mereka berdua berserikat di dalam
menghantam ahlus sunnah dan dakwah Tauhid. Abdullah al-Ghumari ini tidak
menyukai Albani karena sikap keras Albani di dalam memerangi sufi dan
kebid’ahan.
Kebenciannya terhadap Albani
tampak dari judul-judul karangannya. Ia bahkan tidak segan-segan menggelari
Albani dengan gelar jahat, mubtadi’, ekstrim dan semacamnya. Karyanya yang
berjudulIrghamul Mubtadi’ al-Ghabi bi Jawazit Tawassul bin Nabiy fir Raddi
’ala al-Albani al-Wabi (Pukulan Terhadap Pelaku Bid’ah yang Dungu
Tentang Bolehnya Bertawasul Dengan Nabi Sebagai Bantahan Terhadap Albani Yang
Jahat) menjadi saksi atas kedengkiannya terhadap al-Albani dan saksi atas
aqidahnya yang menyimpang.
Dia memperbolehkan bertawasul
kepada Nabi, ziarah ke kuburan Nabi dan bertabaruk dengannya, menganjurkan
membangun kubah di atas kuburan dan semacamnya. Walaupun dikatakan dia adalah
termasuk orang yang mengetahui seluk beluk hadits, namun ilmunya tidaklah
menjadikan dirinya selamat dari fanatik terhadap sufiyah. Ia mengumpulkan zallatul
ulama (kesalahan-kesalahan ulama) dan dijadikannya sebagai dalil untuk
menolak serta menakwil hadits-hadits nabi.
Bahkan untuk memperkuat
argumennya, ia menyatakan bahwa ada bid’ah hasanah di dalam agama ini
sebagaimana tertuang di dalam kitabnya Itqaan as-Sun’ah fi Tahqiqi
Ma’nal Bid’ah (Aktivitas Yang Mulia di dalam Penelitian Makna Bid’ah).
Syaikh Ali Hasan al-Halabi membantah bukunya ini secara sekilas di dalam kitab
beliau yang berjudul Ilmu Ushulil Bida’.
Sesungguhnya, hal yang saya
sebutkan ini telah mencukupi untuk mengetahui hakikat al-Ghumari ini.
Penjelasan lebih rinci tentang hakikat al-Ghumari ini telah dipaparkan oleh
Syaikh Ali Hasan di dalam bantahannya terhadap dirinya dan telah disibak pula
kesesatannya di dalam Majalah al-Asholah (15 Rabi’ul Akhir 1420/ no. 11/th.
IV/Yordania) di dalam artikel yang berjudul Min Dlolalaati al-Ghumari
fi Ta’liiqihi ’ala at-Tamhid[15] (Diantara
Kesesatan al-Ghumari di dalam Komentarnya Terhadap at-Tamhid) yang ditulis oleh
Syaikh Umar al-Ahmadi.
Abdul Aziz bin Muhammad
ash-Shiddiq al-Ghumari
Saya tidak begitu tahu tentang
Abdul Aziz al-Ghumari dikarenakan minimnya referensi yang saya miliki. Karena
yang saya tahu adalah Syaikh Ahmad bin Muhammad ash-Shidiq al-Ghumari, saudara
dari Syaikh Abdullah al-Ghumari. Dan saya menahan diri dari dirinya, karena
sesungguhnya kewajiban seorang muslim adalah tidak berbicara melainkan
berlandaskan ilmu. Wallahul Muwaafiq.
Abdul Fattah Abu Ghuddah
Dia termasuk diantara barisan
murid al-Kautsari yang fanatik dengan gurunya. Dan telah berlalu penjelasan
tentang al-Kautsari dengan turut menyinggung Abu Ghuddah ini. Beberapa ulama
telah membantah penyelewengan Abu Ghuddah ini. Syaikh Rabi’ bin Hadi memiliki
kitab yang membantah Abu Ghuddah dan Muhammad ’Awwamah di dalam taqsim (pemilahan)
hadits menjadi shahih dan dha’if. Telah jelas hakikat Abu Ghuddah ini, sehingga
tidak perlu diulangi lagi.
Muhammad ’Awwamah al-Halabi
Dia adalah seorang dari Mesir,
guru dari Mamduh Sa’id bin Muhammad Mamduh. Muhammad Awwamah ini adalah teman
dekat al-Ghumari yang terkenal kedengkian dan permusuhannya terhadap Ahlus
Sunnah dan Ahlut Tauhid. Syaikh Albani mengatakan bahwa Muhammad Awwamah inilah
diantara orang yang mendorong Mamduh Sa’id menulis buku Tanbihul Muslim
ila Ta’addi al-Albani ’ala Shaihil Muslim. Syaikh Rabi’ bin Hadi dan
Syaikh Ali Hasan telah membantah Muhammad ’Awwamah ini, walhamdulillah.
Mamduh Sa’id bin Muhammad Mamduh
al-Qahirah
Dia menulis Wushul
at-Tahanni bi Itsbaati Sunniyat as-Subhah war Radd ’alal Albani (Meraih
Cahaya Manfaat dan Ketetapan Sunnahnya Tasbih dan Bantahan Terhadap Albani) dan Tanbiihul
Muslim ila Ta’addil Albani ’ala Shahih Muslim (Peringatan Terhadap
Muslim Tentang Kelancangan Albani Terhadap Shahih Muslim).
Sebelumnya, Mamduh Sa’id Mamduh
ini memiliki sikap yang jauh berbeda dengan sikapnya yang terakhir. Dia pernah
menulis surat kepada Syaikh al-Albani yang menyebut Syaikh al-Albani sebagai
al-Ustadz asy-Syaikh al-Allamah al-Muhaddits atau al-Allamah Ustadz kami,
berikut ini saya nukilkan suratnya :
Ustadz
Kami, al-Allamah. Alhamdulillah kami memuji kepada Allah yang telah menciptakan
seseorang yang mau berkhidmat kepada as-Sunnah, meneliti mana hadits yang
shahih dan mana hadits yang dha’if, serta memilah-milah mana yang baik dan mana
yang buruk. Alhamdulillah, saya bisa mendapatkan kitab-kitab hasil penelitian
hadits yang anda tulis yang amat bermutu dan berharga. Saya ikut menjaga
kitab-kitab anda tersebut dari masuknya tangan-tangan yang tidak bertanggung
jawab, karena saya telah menisbatkan diri masuk ke dalam kelompok anda!
Alhamdulillah,
saya telah mengikuti semua kitab-kitab anda. Yang terakhir adalah kitabIrwa’
al-Ghalil fi Takhrij Manaris Sabil. Kami juga telah menelaah
tulisan-tulisan tangan anda yang belum sempat tercetak seperti Tamamul
Minnah bi Ta’liq ’ala Fiqhis Sunnah. Tatkala anda berkunjung ke Kairo, kami
selalu mengikuti ceramah-ceramah anda, di Markaz Anshorus Sunnah Abidin, di
Jami’ Anshorus Sunnah Zaitun, Jami’ah ’Ainusy Syamsi dan tempat-tempat lainnya.
Kemudian
tatkala anda kembali lagi (ke Kairo) tidak selang berapa lama kami pun menjadi
pendengar pertama terhadap pelajaran-pelajaran anda. Dengan sebab itulah,
meskipun tentu ada sebab-sebab lainnya, Allah telah membuat saya cinta dengan
dengan ilmu hadits dan suka mempelajari hadits-hadits, bahkan hingga dimanapun
kami berada sellau menyandang kitab-kitab hadits.
Penulis
Abu
Sulaiman Mahmud Sa’id bin Muhammad Mamduh al-Qahirah
Nazil
ar-Riyadh 22/2/1401 H.[16]
Apakah yang menyebabkan Mamduh
Sa’id berubah seratus delapan puluh derajat?? Setelah menyanjung-nyanjung
kemudian menghina dan melecehkan?? Tidak lain dan tidak bukan adalah karena
jeratan para pendengki yang menjejalinya dengan pikiran-pikiran buruk dari
segala penjuru. Akhirnya dia pun terjerat oleh hawa nafsunya sendiri sehingga
berani tampil bagaikan orang yang mumpuni ilmunya dan mulai berani membantah
orang yang dulu disanjung-sanjungnya.
Mamduh Sa’id ini tidak fair
sebagaimana as-Saqqof, dia menyembunyikan hakikat dan mengungkap kejahilannya
di depan khayalak. Dia membantah secara kasar Syaikh Al-Albani dan dipoles agar
tampak ilmiah di dalam kitabnya Tanbihul Muslim ila Ta’addi Albani ’ala
Shahihil Muslim. Di dalam bukunya ia menyanjung-nyanjung Abdullah
al-Ghumari sebagai al-Allamah al-Alim al-Jihbidz al-Hibr al-Mudaqqiq
al-Muhaqqiq, padahal gurunya tersebut berani mendhaifkan hadits Bukhari
Muslim.
Abdullah Al-Ghumari mendhaifkan
hadits yang diriwayatkan dari Urwah dari Aisyah tentang rakaat sholat safar
yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim di dalam risalahnya yang berjudul ash-Shubhu
was Safir(hal. 16) bukan karena cacat sanadnya, namun katena menurut
anggapannya hadits tersebut bertentangan dengan al-Qur’an padahal
pemahamannyalah yang salah.
Mamduh Sa’id juga menyanjung
saudara Abdullah al-Ghumari yaitu Ahmad bin Muhammad al-Ghumari dengan sebutan al-Imam
al-Hafizh al-Muhaddits an-Naaqid Nadiratul Ashri, bahkan di dalam bukunya, at-Tanbih (hal.
78) ia menyanjungnya secara berlebih-lebihan dengan mengatakan, ”Tidak ada
orang sepertinya setelah al-Hafizh as-Sakhowi dan as-Suyuthi yang ahli di dalam
bidang hadits…”
Padahal Ahmad al-Ghumari ini
mendhaifkan hadits di dalam shahihain yang diriwayatkan dari Jabir dan Ibnu
Abbas tentang sholat gerhana matahari di dalam kitabnya yang berjudul al-Hidayah
fi Takhrij Ahadits al-Bidayah (IV/197-201) dengan perkataannya :
”Hadits ini dusta dan bathil menurut akal sehat, meskipun terdapat dalam shahih
Muslim, karena gerhana matahari hanya terjadi sekali pada hari meninggalnya
Ibrahim, anak Muhammad Shallallahu ’alaihi wa sallam. Ini juga
merupakan pendapat para imam ahli hadits.” Pendhaifan yang dilakukan oleh
al-Ghumari ini sebelumnya telah dinyatakan oleh Albani di dalam kitab beliau Irwa’ul
Ghalil yang oleh Mamduh Sa’id dimasukkannya sebagai tindakan
kelancangan Albani terhadap shahih Muslim. Lantas mengapa Mamduh ini hanya
menganggap Albani saja yang lancang?? Mengapa tidak disebutkan juga orang yang
digelarinya dengan al-Imam al-Hafizh al-Muhaddits an-Naaqid Nadiratul
Ashri Ahmad al-Ghumari dengan tuduhan lancang terhadap shahih Muslim??
Lantas dimanakah keadilan dan amanah itu?!!
Ternyata usut punya usut, Mamduh
Sa’id yang disebut oleh al-Mudzabdzab ini sebagai Imam hadits ternyata lemah
dan dangkal dalam ilmu hadits, karena dia tidak memahami tentang tadh’if beberapa
hadits yang terdapat di dalam Shahihain dan dia anggap sebagai
kelancangan dan kezhaliman. Padahal dirinya sendiri yang telah melakukan
kezhaliman.
Mamduh telah mengatakan bahwa
al-Albani telah melakukan kezhaliman terhadap Shahih Muslim karena beliau
rahimahullahu telah menyatakan di dalam Muqoddimah Syarh Aqidah
Ath-Thahawiyah bahwa tidak semua hadits yang terdapat di dalam Shahih
Bukhari atau Shahih Muslim itu semuanya dengan serta merta adalah shahih
sebelum penelitian kembali secara mendalam… lantas bagaimana dia mensikapi
ucapan gurunya, al-Imam al-Hafizh al-Muhaddits an-Naaqid Nadiratul
Ashri Ahmad al-Ghumari yang berkata di dalam al-Hidayah fi
Takhriji Ahadits al-Bidayah (IV/201) yang berkata :
”Beberapa hadits palsu terdapat
juga di dalam kitab ash-Shahihain. Dinamakan palsu karena di dalam
hadits-hadits tersebut terdapat sesuatu yang terbukti batil. Oleh karena itu
janganlah anda tertipu. Janganlah anda takut meninggalkan hadits tersebut
walaupun para ulama telah bersepakat menilai shahih isi yang dikandungnya,
karena sesungguhnya itu hanyalah klaim kosong yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan ketika dibahas dan diteliti secara mendalam. Adanya
kesepakatan shahihnya seluruh hadits yang ada di dalam kitab ash-shahihain pun
tidak bisa diterima secara akal dan tidak realistis. Akan tetapi, bukan berarti
hadits-hadits yang ada di dalam kitab ash-shahihain adalah
dhaif ataupun bathil atau di dalamnya banyak hadits-hadits yang serupa dengan
itu. Yang dimaksud adalah bahwa di dalam kitab tersebut ada beberapa hadits
yang tergolong tidak shahih karena bertentangan dengan kenyataan.”
Apakah yang akan dia katakan
mengenai ucapan ini??
Amboi, apakah dia juga akan
mengatakan bahwa Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah al-Harrani rahimahullah juga
melakukan kezhaliman terhadap Shahihain karena melakukan hal
yang sama dengan al-Albani -dan al-Ghumari- di dalam menolak hadits dhaif di
dalam shahih Muslim sebagaimana di dalam al-Fatawa (XIII/352-353),
juga Ibnul Qoyyim di dalam Zadul Ma’ad (V/112-113), atau juga
bahkan Imam Ahmad yang mengikuti penghulu tabi’in, Sa’id bin Musayyab
sebagaimana termaktub di dalam al-Fath (IX/165-166).
Sesungguhnya tepatlah kiranya perumpaan : menepuk air di dulang terpecik di
muka sendiri!!!
Lantas bagaimana pula dia
menempatkan al-Kautsari yang disanjung-sanjungnya sebagai al-Allamah
al-Muarikh an-Naqid, bahkan dia katakan sebagai Syaikhul Islam,
padahal al-Kautsari ini mendhaifkan dan menolak hadits-hadits shahih Bukhari
Muslim hanya karena menyelisihi madzhabnya…!!! Haihata haihata…
dimanakah keadilan dan sikap amanah itu…[17]
Ismail Muhammad al-Anshari
Syaikh Ismail Muhammad al-Anshori
adalah ulama salafi, ahlul hadits dan aqidahnya salafiyah serta bermanhaj
salaf. Perselisihan beliau dengan Albani adalah perselisihan ilmiah bukan
perselisihan aqidah maupun manhaj. Dan merupakan suatu hal yang biasa di
kalangan ahlul ilmi berselisih dalam rangka membela al-Haq dan
mengkonfrontasikan dalil, walaupun terkesan keras. Perselisihan ini juga
terjadi antara Syaikh al-Albani dengan Syaikh as-Salafi al-Allamah Hammud bin
Abdillah at-Tuwaijiri seputar masalah jilbab/hijab wanita muslimah. Masalah
bilangan rakaat sholat tarawih, perhiasan emas melingkar bagi wanita, cadar,
i’tikaf, jenggot yang melebihi segenggam tangan dan selainnya adalah masalah
fiqhiyah yang sedang menjadi polemik diantara mereka. Syaikh Abdul Qadir
al-Arna’uth rahimahullahu yang berselisih pendapat dengan Albani dalam masalah
perhiasan emas melingkar mengatakan bahwa Albani adalah Imam al-Hadits, namun
tidak semua orang maksum terbebas dari kesalahan, dan perselisihan antara diri
beliau dengan Albani adalah perselisihan ilmu bukan hati. Bahkan beliau akan
mengunjungi Albani –semasa hidupnya- jika beliau berada di Yordan dan demikian
pula sebaliknya.[18]
Namun, biar bagaimanapun
kebenaran adalah satu tidak berbilang. Hujjah kita adalah al-Qur’an dan
as-Sunnah yang shahih. kita tidak fanatik terhadap seorangpun dari mereka
melainkan hanya kepada Rasulullah alaihi Sholatu wa Salam. Syaikh
Albani telah membantah tuduhan-tuduhan syaikh al-Anshori di dalam
tulisan-tulisannya. Jika sekiranya al-Mudzabdzab dan Hizbut Tahrir mau
beraqidah dan bermanhaj sebagaimana aqidah dan manhaj al-Anshori, maka niscaya
Hizbut Tahrir akan selamat dari kegoncangan dan penyelewengan aqidah. Hizb akan
memiliki aqidah yang jelas dan akan dengan tegas menyatakan bahwa aqidah yang
shahih adalah aqidah salafiyah, bukan aqidah jahmiyah, shufiyah, asy’ariyah,
maturidiyah sebagaimana aqidahnya al-Kautsari, Abu Ghuddah, al-Buthi, al-Ghumari,
Muhammad Awwamah, dan selain mereka. Sungguh mencampurbaurkan aqidah shahihah
dengan dholalah akan membuahkan kesesatan yang lebih jauh.
Badruddin Hasan Diab
Seorang dari Siria
yang menulis Anwaarul Mashaabih ’ala Zhulumaatil Albani fi Shalatit
Tarawih (Pelita Penerang Terhadap Kegelapan Albani Di Dalam Masalah
Shalat Tarawih). Saya tidak memiliki referensi yang menjelaskan hakikat Hasan
Diab ini, bagaimana aqidah dan manhajnya. Maka saya bertawaqquf(mendiamkan)
terlebih dahulu sampai jelas hakikat Badrudin Hasan Diab ini.
Isa bin Abdullah bin Mani’
al-Himyari
Dia menulis al-I’lam bil
Istihbaabi Syaddur Rihaal li Ziyaarati Qobri Khayral Anaam Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam (Penjelasan Tentang Bolehnya Bepergian Jauh Dalam Rangka
Berziarah ke Kubur Manusia Terbaik Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) dan al-Bi’datul
Hasanah Ashlun Min Ushulutit Tasyri’ (Bid’ah Hasanah adalah Pokok dari
Pokok-Pokok Dasar Pensyariatan), dari kedua tulisan ini tampak bahwa al-Himyari
ini adalah seorang sufi yang menganjurkan untuk safar jauh dengan niat ziarah
ke kubur nabi dan mengatakan bahwa bid’ah hasanah adalah bagian dari syariat
islam.
Abdul Qadim Zallum rahimahullahu,
mantan pimpinan Hizbut Tahrir di Yordania pasca an-Nabhani rahimahullahu, di
dalam kitabnya yang berjudul Kaifa Hudimatil Khilafah memiliki
pandangan yang sama dengan al-Himyari di dalam kebolehannya bepergian jauh
dengan maksud ziarah ke makam nabi. Hal ini menyelisihi hadits shahih yang
berbunyi : ”Janganlah melakukan perjalanan jauh melainkan hanya ke tiga masjid,
yaitu Masjidil Haram, Masjidil Aqsha dan Masjid Nabawi.”
Mengenai bid’ah hasanah, jelas
ini adalah pendapat bid’ah yang akan merusak islam, Syaikh al-Allamah
asy-Syathibi rahimahullahu telah membantah klaim bid’ah hasanah ini di dalam al-I’tisham, demikian
pula syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qoyyim al-Jauziyah, dan
seluruh ulama salaf.
Menteri Urusan Islam dan
Keagamaan di Uni Emirat Arab yaitu Muhammad bin Ahmad al-Khazraji
Ulama Siria yaitu Firad Muhammad
Walid Ways dalam kitabnya Ibnul Mulaqqin yang berjudulSunniyatul
Jum’ah al-Qobliyah
Samir al-Istanbuli yang menulis al-Ahad,
al-Ijma’ wan Naskhu
Saya tidak mengetahui aqidah,
pemikiran dan hakikat mereka, wallahu a’lam.
Hasan Ali as-Saqqof
Telah berlalu penjelasannya di
silsilah bantahan pertama. Sebagai tambahan, syaikh Ali Hasan al-Halabi di
dalam website http://www.alhalaby.com/ membantah
as-Saqqof di dalam artikel diskusinya yang berjudul Munazhorot Ma’a
as-Saqqof.
[Bersambung
Bagian 3]
Catatan
kaki :
1 Telah hadir sebuah buku
yang bermanfaat dari al-Akh al-Ustadz Abu ‘Ubaidah Yusuf as-Sidawi, yang
berjudul “Syaikh Al-Albani Dihujat”, diterbitkan oleh Pustaka Abdullah Jakarta.
Buku ini ditulis untuk membantah tuduhan Prof. Ali Mustofa Ya’qub yang juga turut
menuduh Syaikh al-Albani. Bacalah buku ini karena besar faidah dan manfaatnya.
2 Lihat Zawabi’ fi
Wajhi Sunnah Qadiman wa Haditsan karya Syaikh Sholahudin Maqbul Ahmad,
(terj.) “Bahaya Mengingkari Sunnah”, Pustaka Azzam hal. 250-251.
3 Lihat Muqoddimah Adabuz
Zifaf fis Sunnatil Muthohharoh, terj. “Panduan Pernikahan Cara Nabi”,
penerbit Media Hidayah, hal. 13.
4 Termasuk ad-Dajjal Hamim
Nuh Keller ash-Shufi asy-Syaadzili al-Bid’i, pembesar kesesatan dari Amerika
yang pernah belajar di Yordania, yang mengklaim menimba ilmu dari Syaikh Syuaib
al-Arnauth dan mengaku mendapat tazkiyah dari pembesar sufi zaman ini, Muhammad
Alwi al-Maliki ghofarollahu lahu. Sikap permusuhan dan kebenciannya terhadap
ahlus sunnah sangat nyata, termasuk kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Saya
mendapatkan cercaannya di dalam forum situs sesathttp://www.masud.co.uk/. Pemilik situs ini
bernama Mas’ud Ahmad Khan, keturunan India, penggila sufi dan kebid’ahan.
Waspadailah membaca dan apalagi mengambil ilmu dari pencinta kesesatan seperti
mereka ini!!! Namun si ”Futtan Mudzabdzab” ini tampaknya menyukai website ini
dan merasa bahagia dengan isinya yang mencela dan mencerca Ahlus Sunnah, sebab
dia dan hizb-nya sendiri melangkah keluar dari barisan ahlis sunnah dan
mengumpulkan semua kesesatan di dalam barisan dan pemikiran mereka. Wal
Iyyadzubillah
5 Baca perincian aqidah
al-Buthi ghofarollahu lahu dari kitabnya Kubro al-Yaqiiniyaat ini
dan bantahannya di dalam Majalah al-Asholah, no. 11, 15 Dzulhijjah 1414, Tahun
II, hal. 59-66. Para pembaca akan mengetahui hakikat aqidah beliau yang
kontradiktif dengan tulisan pertamanya, yaitu al-Aqidah
al-Islamiyyah wal Fikrul Mu’aashir.
6 Hamim Nuh Keller ad-Dajjal
menterjemahkan ke dalam bahasa Inggris secara tidak fair dan penuh dengan
pengkhiatan tentang dialog antara DR. al-Buthi dengan Syaikh Muhammad Ied
Abbasi, ia memalingkan dan memotong-motong dialog seenak hawa nafsunya sendiri
agar terkesan bahwa ulama salafi tampak bodoh dibandingkan al-Buthi. Al-Ustadz
Abu Rumaishah, seorang da’i dari Inggris membantah terjemahannya dan
mengungkapkan makar kedustaan Keller ini, para pembaca bisa membacanya dihttp://www.allaahuakbar.net/ bagian
Deviant People dan bantahan yang disusun oleh Ustadz Abu Rumaishah,
Jazzahullahu khoyr anil Islam wal Muslimin.
7 Lihat al-Muwafaqot oleh
Imam Syathibi (IV/293) dan kitab ar-Raudhul Basim fi Dazbb ‘an Sunnati
Abil Qosim oleh Muhaqqiq (peneliti) Muhammad bin Ibrahim al-Wazir
al-Yamani (I/36-38).
8 Dalam pandangan ini, Imam
Syafi’i didukung oleh mayoritas ulama seperti Imam Malik dan Imam Ahmad.
10 Seperti yang dilakukan oleh
al-Kautsari, Abu Ghuddah, as-Saqqof, Habiburrahman al’A’zhami dan orang-orang
semisal mereka, termasuk juga Hizbut Tahrir yang fanatik terhadap madzhab
pendahulu mereka dan fanataik terhadap hizb mereka, sehingga mereka senantiasa
membela pemahaman Hizb salah maupun benar. Wallahul Musta’an.
11 Lihat ’Audatu ilas
Sunnah (Majalah al-Muslimun V/465-466) dicantumkan di
dalam Bid’atu Ta’ashshub al-Madzhabi, Maktabah Islamiyah,
1948/1970, Amman Yordan, hal. 33,34 dan Maqoolat Albani oleh
Syaikh Nurudin Thalib, terj. ‘Risalah Ilmiah Albani’, Pustaka Azzam, hal.
43-44.
12 Disarikan dari Bid’atu
Ta’ashshub al-Madzhabi oleh Muhammad Ied Abbasri, sub-bab Itsbatu
Martabatil Ittiba’, Maktabah Islamiyah, 1948/1970, Amman Yordan
13 Lihat Limadza
Ikhtartu al-Manhaj as-salafi oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali,
terj. “Mengapa Memilih Manhaj Salaf”, Pustaka Imam Bukhari, catatan kaki, hal.
40.
14 Diantaranya yang ditulis
oleh Syaikh al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad dalam kitabnya yang berjudul Ar-Raddu ‘ala ar-Rifa’iy wal Buthy
16 Dinukil dari Adabuz
Zifaf fi Sunnatil Muthohharoh oleh Syaikh Muhammad Nashirudin
al-Albani, terj. “Panduan Pernikahan Cara Nabi”, Media Hidayah, Catatan Kaki,
hal. 49
17 Pembaca budiman dapat
melihat bantahan Syaikh al-Albani terhadap Mamduh Sa’id ini di dalam muqoddimah
cetakan kedua-nya dari kitab Adabuz Zifaf, terj. “Panduan
Pernikahan Cara Nabi”, Media Hidayah, hal. 48-64.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar