Ada sebuah pertanyaan yang mendasar, Ummat Islam dulu pernah menguasai peradaban dunia di saat bangsa barat masih primitif namun memang jaman terus berputar disebabkan Oleh kesalahan Ummat Islam sendiri yang sangat jauh dari semangat Rasulullah SAW sehingga saat ini kondisi Ummat Islam secara umum sangat terbelakang dan tertinggal di banding negara-negara Barat khususnya dalam bidang Sains dan teknologi, sehingga memaksa Ummt Islam untuk belajar dari Negara-Negara tentang kemajuan-kemajuan yang dicapai, apakah memang dalam semua segi. ? apakah termasuk dalam mempelajari Ilmu-Ilmu Kislaman juga Ummat Islam terpaksa harus minder dan kalah dengan Barat ? sungguh sangat menyedihkan memang kondisi Ummt Islam, sehingga untuk belajar agamanya sendiri saja lebih percaya kepada Orang Non Muslim daripada kepada Ulamanya sendiri?
inilah kebijakan Petinngi-Petinggi Pendidikan di negeri Muslim.
============================================
Studi Islam di Timur Tengah sangat menekankan pendekatan normatif dan ideologis terhadap Islam. Kajian Islam di Timur bertitik tolak dari penerimaan terhadap Islam sebagai agama wahyu yang bersifat transenden. Islam tidaklah dijadikan semata-mata sebagai obyek studi ilmiah yang secara leluasa ditundukkan pada prinsip-prinsip yang berlaku di dunia keilmuwan, tetapi diletakkan secara terhormat sesuai dengan kedudukannya sebagai doktrin yang kebenarannya diyakini tanpa keraguan. Dengan demikian, sikap ilmiah yang terbentuk adalah komitmen dan penghargaan.
inilah kebijakan Petinngi-Petinggi Pendidikan di negeri Muslim.
============================================
Studi Islam di Timur Tengah sangat menekankan pendekatan normatif dan ideologis terhadap Islam. Kajian Islam di Timur bertitik tolak dari penerimaan terhadap Islam sebagai agama wahyu yang bersifat transenden. Islam tidaklah dijadikan semata-mata sebagai obyek studi ilmiah yang secara leluasa ditundukkan pada prinsip-prinsip yang berlaku di dunia keilmuwan, tetapi diletakkan secara terhormat sesuai dengan kedudukannya sebagai doktrin yang kebenarannya diyakini tanpa keraguan. Dengan demikian, sikap ilmiah yang terbentuk adalah komitmen dan penghargaan.
Usaha-usaha studi
ilmiah ditujukan untuk memperluas pemahaman, memperdalam keyakinan dan menarik
maslahatnya bagi kepentingan umat. Orentasi studi di Timur lebih menekankan
pada aspek doktrin disertai dengan pendekatan yang cenderung normatif.
Keterkaitan pada usaha untuk memelihara kesinambungan tradisi dan menjamin
stabilitas serta keseragaman bentuk pemahaman, sampai batas-batas tertentu,
menimbulkan kecenderungan untuk menekankan upaya penghafalan daripada
mengembangkan kritisisme. Meskipun kecenderungan ini tidak dominan, namun
pengaruh kebangkitan fundamentalisme di Timur Tengah telah mempengaruhi
orientasi pendidikannya yang lebih normatif
Dekade 80-an dan 90-an terjadi perubahan besar
dalam paradigma Islam di kampus-kampus agama (PTAI). Kecenderungan pertama,
terjadinya pergeseran dari kajian-kajian Islam yang lebih bersifat normatif
kepada yang lebih historis, sosiologis, dan empiris. Pendekatan normatif dalam
kajian Islam menghasilkan pandangan serba idealistik terhadap Islam, yang pada
gilirannya membuat kaum Muslimin melupakan atau meniscayakan realitas dan,
karena itu, sering mengakibatkan mereka terjebak dalam "kepuasan
batin" yang semu. Sebaliknya pendekatan historis dan sosiologis membuka
mata mahasiswa di lingkungan PTAI tentang realitas-realitas yang dihadapi Islam
dan kaum Muslimin dalam perkembanagn dan perubahan masyarakat.
Salah satu kebijakan Munawir Sazali yang bisa
dikatakan signifikan bagi perkembangan PTAI masa kini adalah usahanya untuk
menggeser kiblat studi Islam dari Timur Tengah ke Barat. Caranya adalah dengan
mengirim dosen-dosen IAIN untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas
Barat, seperti MCGill University, Kanada. Kebijakan Munawir inilah yang di
kemudian hari melahirkan dosen-dosen berwawasan internasional (Barat?) dan
mentransformasikannya ke dalam PTAI, tak terkecuali gagasan kelas internasional
yang sekarang sedang hangat dibicarakan di lingkungan Depag( sekarang
Kementrian Agama).
=======================
"Gagasan Kelas Internasional sebagai Alternatif"
Dibandingkan dengan perguruan tinggi umum
(PTU), dunia perguruan tinggi agama Islam (PTAI) banyak tertinggal. Salah
satunya adalah tentang pentingnya meningkatkan mutu pendidikan bertaraf
internasional. Di PTU, sebut saja UGM Yogyakarta dan UI Jakarta, program kelas
internasional sudah lama digagas, bahkan sudah diimplementasikan.
Di PTAI sendiri, sebenarnya, gagasan tersebut
sudah lama muncul. Tepatnya, ketika Menteri Agama RI dijabat oleh Munawir
Sjadzali. Hanya saja, ide Munawir saat itu belum sempat menjadi kebijakan.
Meski demikian, salah satu kebijakan Munawir yang bisa dikatakan signifikan
bagi perkembangan PTAI masa kini adalah usahanya untuk menggeser kiblat studi
Islam dari Timur Tengah ke Barat. Caranya adalah dengan mengirim dosen-dosen
IAIN untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat, seperti
MCGill University, Kanada. Kebijakan Munawir inilah yang di kemudian hari
melahirkan dosen-dosen berwawasan internasional (Barat?) dan
mentransformasikannya ke dalam PTAI, tak terkecuali gagasan kelas internasional
yang sekarang sedang hangat dibicarakan di lingkungan Depag.
Kita memang tidak terlalu setuju adanya
dikotomi Barat dan Timur sebagai poros studi Islam. Keduanya sama-sama memiliki
kekuatan dan kelemahan. Barat kaya dengan metodologi, sementara Timur kaya
dengan penguasaan khazanah Islam. Karena itu, jika kelas internasional akan
dibuka di PTAI kita mengusulkan agar sistem dan orientasi studi Islam di Barat
dan Timur bisa dipadukan
Kesimpulan ini dibuat juga berdasarkan atas
analisis penyelenggaraan program rintisan kelas internasional yang selama ini
sudah ada di beberapa PTAI. Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta, misalnya,
alih-alih ingin mengembangkan yang lebih baik dari Universitas al-Azhar,
ternyata masih jauh dari yang diharapkan. Demikian juga dengan program studi
Interdisciplinary Islamic Studies UIN Jakarta yang tampaknya ingin memindahkan
McGill University di Indonesia masih terjebak pada pendekatan Barat yang
empiris, historis, dan sosiologis. Padahal, studi Islam juga memerlukan
penguasaan sumber-sumber Islam yang paling otentik, yang tentu saja dapat
dilakukan dengan penguasaan bahasa Arab yang mumpuni. Bukan saja aspek
metodologi yang penting dalam setiap pendidikan Islam, tetapi penguasaan dasar
keislaman perlu terus diupayakan secara meyakinkan.
Tentu saja, kesimpulan-kesimpulan tersebut baru
kesimpulan sementara. Terpenting bagi kita sekarang, sejauhmana gagasan kelas
internasional dapat menjawab keinginan PTAI merebut poros studi Islam yang
belakangan tampak marak di luar kampus. Satu lagi PR kita belum terjawab.
Semoga. http://www.ditpertais.net/jurnal/rdksvol6.asp
Orientasi Studi Islam
di Indonesia
Mengenal Pendidikan Kelas Internasional di Lingkungan PTAI
Khamami Zada
Dosen STAINU Jakarta,
Koordinator Program Kajian dan Penelitian
Lakpesdam NU
Pendidikan Islam di Indonesia tidak pernah
lepas dari semangat penyebaran Islam yang dilakukan secara intensif oleh para
pendahulu dalam kerangka perpaduan antara konteks keindonesiaan dengan keislaman.
Tak heran, jika pada awalnya pendidikan Islam tampak sangat tradisional dalam
bentuk halaqah-halaqah. Namun seiring dengan kemajuan zaman,
modernisasi pendidikan Islam mulai tampak dengan diambilnya bentuk madrasah [1] sebagai
salah satu pendidikan Islam, selain pesantren. Semuanya ini dilakukan untuk
memenuhi target atau tujuan pendidikan Islam yang berorientasi individual dan
kemasyarakatan.
Secara umum, ada dua pandangan teoretis
mengenai tujuan pendidikan Islam. [2] Pandangan
teoretis yang pertama berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang
menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan masyarakat yang
baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis.
Pendidikan bertujuan mempersiapkan manusia yang bisa berperan dan menyesuaikan
diri dalam masyarakatnya masing-masing. Berdasarkan hal ini, tujuan dan terget
pendidikan dengan sendirinya diambil dari dan diupayakan untuk memperkuat
kepercayaan, sikap ilmu pengetahuan, dan sejumlah keahlian yang sudah diterima
dan sangat berguna bagi masyarakat. Konsekuensinya, karena kepercayaan, sikap,
ilmu pengetahuan, dan keahlian yang bermanfaat dan diterima oleh sebuah
masyarakat itu senantiasa berubah, mereka berpendapat bahwa pendidikan dalam
masyarakat tersebut harus bisa mempersiapkan peserta didiknya untuk menghadapi
segala bentuk perubahan yang ada. [3]
Pandangan teoretis yang kedua lebih
berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya
tampung, dan minat belajar. Pandangan ini terdiri dari dua aliran. Aliran pertama,
berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik
agar bisa meraih kebahagiaan yang optimal melalui pencapaian kesuksesan
kehidupan bermasyarakat dan ekonomi, jauh lebih berhasil dari yang pernah
dicapai oleh orang tua mereka. Dengan demikian, pendidikan adalah jenjang
mobilitas sosial ekonomi suatu masyarakat tertentu. Aliran kedua lebih
menekankan peningkatan intelektual, kekayaan, dan keseimbangan jiwa peserta
didik. [4]
Studi Islam di Timur dan Barat
Pendidikan Islam di Indonesia dihadapkan pada
tantangan semakin berkembangnya model-model pendidikan yang diselenggarakan
oleh berbagai lapisan masyarakat. Dari tingkat yang paling dasar (Madrasah
Ibtidaiyah/MI) hingga perguruan tinggi (UIN, IAIN, STAIN, PTAI), pencarian yang
ideal tentang studi Islam terus dilakukan, terutama untuk mewujudkan cita-cita
pendidikan Islam yang adiluhung. Bagaimana pun harus diakui bahwa model
pendidikan Islam di Indonesia masih jauh dari memuaskan, terutama jika dilihat
dari sistem pengelolaan, kualitas kurikulum, hingga pada kualitas lulusannya.
Yang tak kalah seriusnya adalah tantangan
globalisasi yang memungkinkan sebuah lembaga pendidikan mesti memiliki
kualifikasi tertentu yang bertaraf internasional. Sebagaimana diketahui,
orientasi pendidikan Islam di Indonesia masih belum begitu jelas, terutama
dalam menentukan pola, arah, dan capaian tertentu yang diinginkan, sehingga
pendidikan Islam kita dapat diakui secara internasional. Tantangan pendidikan
Islam yang sudah diharuskan memiliki kualifikasi internasional, tidak lepas
dari pandangan tentang studi Islam, yang selama ini diperdebatkan antara studi
Islam di Timur dan Barat.
Secara garis besar terdapat dua bentuk
pendekatan dalam kajian Islam di Barat; teologis dan sejarah agama-agama.
Pendekatan kajian teologis, yang bersumber dari tradisi dalam kajian tentang
Kristen di Eropa, menyodorkan pemahaman normatif mengenai agama-agama. Karena
itu, kajian-kajian diukur dari kesesuaiannya dengan dan manfaatnya bagi
keimanan. Tetapi dengan terjadinya marjinalisasi agama dalam masyarakat Eropa
atau Barat pada umumnya, kajian teologis yang normatif ini semakin cenderung
ditinggalkan para pengkaji agama-agama. [5]
Sedangkan pendekatan sejarah agama-agama
berangkat dari pemahaman tentang fenomena historis dan empiris sebagai
manifestasi dan pengalaman masyarakat-masyarakat agama. Penggambaran dan
analisis dalam kajian bentuk kedua ini tidak atau kurang mempertimbangkan
klaim-klaim keimanan dan kebenaran sebagaimana dihayati para pemeluk agama itu
sendiri. Dan, sesuai dengan perkembangan keilmuwan di Barat yang sejak abad
ke-19 semakin fenomenologis dan positivis, maka pendekatan sejarah agama ini
menjadi paradigma dominan dalam kajian-kajian agama, termasuk Islam di Barat.[6]
Dalam konteks inilah, pertumbuhan minat untuk
memahami Islam lebih sebagai "tradisi keagamaan yang hidup", yang
historis, ketimbang "kumpulan tatanan doktrin" yang terdapat dalam
al-Qur'an dan Hadits, menemukan momentumnya yang kuat dalam pertumbuhan
kajian-kajian Islam di beberapa universitas besar dan terkemuka di Amerika
Serikat. Tradisi ini tentu saja pertama kali tumbuh di Eropa, yang selanjutnya
dikembangkan di Amerika oleh sarjana semacam D.B. Macdonald (1863-1943) dan
H.A. R. Gibb. Keduanya memperingatkan "bahaya" mengkaji hanya
"Islam normatif", sebagaimana dirumuskan para ulama, dengan mengabaikan
Islam yang hidup di tengah-tengah masyarakat umum. Gagasan ini mendapatkan lahan yang subur di universitas-universitas
Amerika. Dan, sejak 1950-an sejumlah universitas mulai mengembangkan
pusat-pusat "studi kawasan" (area studies) Islam, yang pada
dasarnya mencakup berbagai disiplin yang berbeda, tetapi memperoleh pendidikan
khusus dalam bahasa-bahasa, kebudayaan dan masyarakat Muslim di wilayah
tertentu. [7]
Dengan kata lain, studi Islam di Barat melihat
Islam sebagai doktrin dan peradaban, dan bukan sebagai agama transenden yang
diyakini sebagaimana kaum Muslimin melihatnya, tetap merupakan ciri yang tak
mungkin dihapus. Oleh karena Islam diletakkan semata-mata sebagai obyek studi
ilmiah, maka Islam diperlakukan sama sebagaimana obek-obyek studi ilmiah
lainnya. Ia dapat dikritik secara bebas dan terbuka. Hal ini dapat dimengerti
karena apa yang mereka kehendaki adalah pemahaman, dan bukannya usaha mendukung
Islam sebagai sebuah agama dan jalan hidup. Penempatan Islam sebagai obyek
studi semacam ini, memungkinkan lahirnya pemahaman yang murni
"ilmiah" tanpa komitmen apa pun terhdap Islam. Penggunaan berbagai
metode ilmiah mutakhir yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan,
memungkinkan lahirnya karya-karya studi Islam yang dari segi ilmiah cukup
mengagumkan, walaupun bukan tanpa cacat sama sekali. [8]
Studi Islam kontemporer di Barat, yang berusaha
keras menampilkan citra yang lebih adil dan penuh penghargaan terhadap Islam
sebagai agama dan peradaban, dengan mengandalkan berbagai pendekatan dan metode
yang lebih canggih dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, bahkan tidak jarang
dipelopori oleh sarjan-sarjana Muslim sendiri. Ini nampaknya menarik banyak
perhatian dari generasi baru pengkaji Islam negeri ini. Departemen Agama bahkan
memberikan dorongan lebih besar kepada dosen-dosen IAIN untuk melanjutkan studi
tingkat pascasarjana ke Barat, sambil juga tetap meneruskan tradisi pengiriman
dosen-dosennya ke Timur Tengah dan negeri-negeri muslim lainnya seperti Turki
dan Asia Selatan. [9]
Sementara di tempat lain, studi Islam di Timur
Tengah sangat menekankan pendekatan normatif dan ideologis terhadap Islam.
Kajian Islam di Timur bertitik tolak dari penerimaan terhadap Islam sebagai
agama wahyu yang bersifat transenden. Islam tidaklah dijadikan semata-mata
sebagai obyek studi ilmiah yang secara leluasa ditundukkan pada prinsip-prinsip
yang berlaku di dunia keilmuwan, tetapi diletakkan secara terhormat sesuai
dengan kedudukannya sebagai doktrin yang kebenarannya diyakini tanpa keraguan.
Dengan demikian, sikap ilmiah yang terbentuk adalah komitmen dan penghargaan.
Usaha-usaha studi ilmiah ditujukan untuk memperluas pemahaman, memperdalam
keyakinan dan menarik maslahatnya bagi kepentingan umat. Orentasi studi di
Timur lebih menekankan pada aspek doktrin disertai dengan pendekatan yang cenderung
normatif. Keterkaitan pada usaha untuk memelihara kesinambungan tradisi dan
menjamin stabilitas serta keseragaman bentuk pemahaman, sampai batas-batas
tertentu, menimbulkan kecenderungan untuk menekankan upaya penghafalan daripada
mengembangkan kritisisme. [10] Meskipun
kecenderungan ini tidak dominan, namun pengaruh kebangkitan fundamentalisme di
Timur Tengah telah mempengaruhi orientasi pendidikannya yang lebih normatif.
Dua orientasi studi Islam yang dikembangkan di
lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), masih dijalankan sesuai dengan
tingkat kebutuhannya. Namun demikian, jika dilihat dari perkembangan yang
terjadi di UIN, IAIN, dan STAIN menunjukkan kecenderungan orientasi studi ke
Barat. Hal ini dapat dilihat dari semakin besarnya jumlah mahasiswa yang
dikirim ke universitas-universitas Barat, semacam McGill University, Leiden
University, Ohio Institute, dll. Pasca generasi Harun Nasution dan Mukti Ali menunjukkan
meningkatnya gelombang pengiriman mahasiswa ke Amerika Serikat, Kanada,
Australia, Belanda, Jerman, dan Perancis.
Tak heran jika dekade 80-an dan 90-an terjadi
perubahan besar dalam paradigma Islam di kampus-kampus agama (PTAI).
Kecenderungan pertama, terjadinya pergeseran dari kajian-kajian
Islam yang lebih bersifat normatif kepada yang lebih historis, sosiologis, dan
empiris. Pendekatan normatif dalam kajian Islam menghasilkan pandangan serba
idealistik terhadap Islam, yang pada gilirannya membuat kaum Muslimin melupakan
atau meniscayakan realitas dan, karena itu, sering mengakibatkan mereka
terjebak dalam "kepuasan batin" yang semu. Sebaliknya pendekatan
historis dan sosiologis membuka mata mahasiswa di lingkungan PTAI tentang realitas-realitas
yang dihadapi Islam dan kaum Muslimin dalam perkembanagn dan perubahan
masyarakat.
Kecenderungan kedua, orientasi
keilmuwan yang lebih luas. Jika pada masa sebelumnya orientasi keilmuwan
cenderung ke Timur Tengah, khususnya Universitas Al-Azhar, dalam dua dasawarsa
terakhir kelihatan semakin luas dan beragam. Dalam konteks ini, model
pendekatan Barat terhadap Islam mulai banyak bermunculan; yang pada pokoknya
cenderung lebih bersifat historis dan sosiologis. Pendekatan seperti ini mulai
menemukan momentumnya dengan kembalinya sejumlah tamatan universitas Barat
untuk mengajar di UIN, IAIN, STAIN, dll. Mereka kembali secara bergelombang,
dimulai dengan generasi Mukti Ali dan Harun Nasution dan kemudian disusul
kelompok tamatan McGill University. Gelombag selanjutnya adalah mereka yang
dikirim belajar ke beberapa universitas Amerika pada masa Menteri Agama,
Munawir Sjadzali. [11]
Kendatipun orientasi studi Islam di Indonesia
lebih cenderung ke Barat, studi di Timur Tengah tetap memiliki nilai penting,
terutama dalam memahami aspek doktrinal, yang menjadi basis ilmu pengetahuan
dalam Islam. Dengan demikian, orientasi studi islam di Timur dan Barat tetap
signifikan dalam rangka pengembangan pendidikan Islam di lingkungan PTAI
seluruh Indonesia.
Membuka Kelas Internasional
UIN dan IAIN yang kurikulumnya
merupakan rujukan bagi sekolah tinggi dan institut yang tersebar di seluruh
Indonesia masih belum mampu menghadirkan kurikulum yang berisi elemen-elemen
yang membentuk pandangan hidup Islam, yang di dalamnya metafisika dan
epistemologi Islam dikonseptualisasikan dan dituangkan dalam mata kuliah wajib
bagi semua fakultas sehingga menjadi asas bagi semua disiplin ilmu. Pembagian
fakultas ushuluddin, syariah, tarbiyah, adab, dan dakwah masih memerlukan
pengembangan lebih lanjut sehingga mencerminkan makna al-jami'ah ataukulliyah yang
berarti universal. Kurikulumnya perlu diorientasikan agar dapat menghasilkan
sarjana-sarjana yang tidak hanya memiliki otoritas di bidangnya, tetapi juga
otoritas dalam ilmu-ilmu keislaman di tingkat nasional dan internasional. [12]
Jika di UIN, IAIN dan perguruan tinggi Islam lainnya
ditanamkan konsep pandangan hidup Islam dengan pandangan metafisika yang
sistematis, para mahasiswa akan dengan mudah mengidentifikasi isu-isu itu
sebagai konsep metafisika dan epistemologi yang bukan berasal dari pandangan
hidup dan tradisi pemikiran Islam. [13] Karena
itulah, kini, mulai diupayakan pengembangan pendidikan Islam yang mengarah pada
tuntutan perbaikan mutu penyelenggaran, manajemen, kurikulum dengan standar
internasional. Salah satunya adalah dengan membuka kelas internasional
(pendidikan Islam), yang diharapkan dapat bersaing di tingkat global.
Inilah yang sedang diupayakan oleh Departemen
Agama dengan membuka fakultas/jurusan baru yang memiliki kualifikasi
internasional. Di Universitas Islam Negeri (UIN) Syariaf Hidayatullah Jakarta,
telah dibuka Fakultas Dirasat Islamiyah (setara dengan S-1) yang berorientasi
pada studi Islam di Timur Tengah dan Kelas Interdispliner (setara dengan S-2)
yang berorientasi pada studi Islam di Barat. Di tempat lain, yakni IAIN Sunan
Kalijaga dan STAIN Malang juga membuka fakultas/jurusan baru yang memiliki
kualifikasi internasional.
Dirasat Islamiyah
Fakultas Dirasat Islamiyah [14] (Program
Internasional) bertujuan menyiapkan lulusan yang ahli dan profesional di bidang
studi Islam dan bahasa Arab. Fakultas ini didirikan atas kesepakatan kerjasama
antara IAIN/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Universitas al-Azhar, Kairo
Mesir, yang ditandatangai 17 September 1999. Fakultas ini mempunyai beberapa
keistimewaan:
1. Bertaraf internasional dengan
standar mutu sama seperti Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.
2. Menyelenggarakan program
studi Islam komprehensif (syariah, aqidah, dan bahasa Arab) yang diperlukan
bagi pembinaan kader-kader mujtahid.
3. Memakai bahasa Arab sebagai
bahasa pengantar resmi perkuliahan dan memberikan peluang bagi para lulusannya
untuk mampu membaca langsung literatur utama studi keislaman.
4. Mempersiapkan alumni sebagai
kader ulama berwawasan keislaman moderat yang mampu menghadapi tantangan globalisasi,
terutama dari sudut keislaman.
Fakultas Dirasat Islamiyah memiliki staf
pengajar dari Mesir dan India, terutama untuk memenuhi standar yang mirip
dengan Universitas al-Azhar. Sayangnya, staf pengajar yang didatangkan dari
luar negeri relatif sangat sedikit, dan tidak memenuhi standar jumlah
mahasiswa. Yakni, ada 2 staf pengajar dari Mesir, dan 1 staf pengajar dari
India. Sementara, staf pengajar yang lain diisi oleh para lulusan Timur Tengah,
seperti Mesir, Sudan, Yaman, dan Arab Saudi. Mata kuliah yang diajarkan
misalnya, adab wa naqd, ushul al-adabiyah, tafsir, ulum
al-tafsir, hadits, ulum al-hadits, tauhid, tayarat
fiqriyah,balaghah, fiqh al-ibadah, fiqh al-lughah, ma'ajim,
ashwat, lahjat, yang pada awalnya menggunakan sistem paket,
namun sekarang ini sudah menggunakan sistem SKS, sama seperti mahasiswa UIN
lainnya. Gelar yang diperoleh pun sama seperti sarjana UIN atau IAIN lainnya,
yakni SSI, bukan Lc, seperti kebanyakan alumnus Universitas al-Azhar. Model
penyampaian materi/perkuliahan tak ubahnya sistem lama, yakni model ceramah,
apalagi staf pengajar dari Timur Tengah, yang cenderung menggunakan model
ceramah, sehingga tidak mengundang partisipasi aktif mahasiswa dalam berdiskusi
dan mempertajam materi. Praktis, hanya sedikit sekali staf pengajar yang
menggunakan metode diskusi. [15]
Gambaran ini menunjukkan betapa penyelenggaraan
kelas internasional yang berorientasi pada studi Timur Tengah belum maksimal
dan bisa dikatakan tidak memenuhi standar internasional, yang memiliki
kualifikasi yang mumpuni, dengan tidak seriusnya para pengelola dalam
menyelenggarakan pendidikan Islam berkualifikasi internasional.
Interdisciplinary Islamic Studies
Seyyed Hossein Nasr telah menegaskan bahwa
kekacauan yang mewarnai kurikulum pendidikan modern di kebanyakan negara Islam
sekarang ini, dalam banyak hal, disebabkan oleh hilangnya visi hierarkis
terhadap pengetahuan seperti yang dijumpai dalam pendidikan Islam tradisional.
Dalam tradisi intelektual Islam, ada suatu hierarki dan kesalinghubungan
antar-beragai disiplin ilmu yang memungkinkan realisasi kesatuan (keesaan)
dalam kemajemukan, bukan hanya dalam wilayah iman dan pengalaman keagamaan,
tetapi juga dalam dunia pengetahuan. Ditemukannya tingkatan dan hubungan yang
tepat antar-berbagai disiplin ilmu merupakan obsesi para tokoh intelektual
Islam terkemuka, dari teolog hingga filosof, dari sufi hingga sejarawan, yang banyak
di antara mereka mencurahkan energi intelektualnya pada masalah klasifikasi
ilmu. Subjek inipun merupakan kunci bagi sistem pendidikan Islam untuk mencegah
para pendidik Muslim kontemporer melepaskan mata objektif atas kekacauan dan
kerancuan yang berkecamuk dalam kurikulum pendidikan saat ini, dengan peniruan
buta terhadap model-model yang tetap hidup dalam sistem madrasah. [16]
Dalam
konteks inilah, Departemen Agama RI bekerjasama dengan McGill University
Kanada, [17] sejak
September 2003, membuka program studi Islam Antar Disiplin (Interdisciplinary
Islamic Studies) untuk S-2 di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Program studi ini bertujuan menghasilkan sarjana-sarjana
yang menguasai pengetahuan Islam yang luas dan dalam, dengan berbekal pada
pendekatan interdisiplin dan inklusif. Lulusan program ini diharapkan mampu
untuk memahami, menganalisis, dan memecahkan masalah sosial dan agama di dalam
masyarakat.
Mata
kuliah yang diajarkan dibagi dalam tiga tingkatan: (1) Mata Kuliah Dasar, yang
meliputi; Qur'an and Hadits in Modern Cenotext, Contemporary Islamic
Thought and Movement, Islam in Southeast Asia, dan Methods and Theories in the
Study of Islam, (2) Mata Kuliah Kosentrasi terdiri dari; Political
Science, Contemporary Philosophy, Social Theories, dan Interdisciplinary
Seminar, dan (3) Mata Kuliah Penunjang.
Di PPs UIN Jakarta program studi Interdisciplinary
Islamic Studies lebih ditekankan pada kajian Islam yang menggunakan
pendekatan ilmu-ilmu sosial (social sciences), sementara di PPs
IAIN Yogyakarta berfokus pada aksi sosial (social work). Program studi
ini bertujuan melahirkan sarjana Islam dlam bidang pemikiran Islam yang
memiliki penguasaan teoritik-metodologis dan kemampuan
analitis-kritis-implementatif dalam kajian kerja sosial untuk pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat yang pluralis, akual, dan transformatif.
Mata
kuliah yang diajarkan dibagi dalam dua tingkatan; (1) Mata Kuliah dasar, yang
terdiri dari: Qur'an and Hadits: theory and Methodology, Approaches to
Islamic Studies, Islamic Thought and Civilization, Islamic Thought about the
Role of Citizen in Social Life, dan Contemporary Islamic Movements, (2)
Mata Kuliah Interdiscipliner terdiri dari: Anthropology of Community
Empowerment, Human Behaviour and Social Environment, Social Welfare Policies
and Services, Popular Education and Communication,Methodology of Social Work
Research and Gender Analysis, Independence Studies in Social Work, Theories of
democracy on Globalization and Civil Soceity, dan Islam and Gender.
Staf Pengajar, selain dari UIN/IAIN dan
Universitas lain di Indonesia, juga didatangkan dari McGill University, seperti
Bassam Tibi dan Van Der Meijk. Selain dari McGill, dosen-dosen tamu dari negara
lain yang sedang berkunjung ke Indonesia, juga akan mengajar dan membimbing
program studi ini. Bahasa yang digunakan dalam seminar (perkuliahan) maupun
penulisan tesis adalah bahasa Inggris. Karena itu, sebelum mengikuti program
ini, calon mahasiswa mengikuti kursus bahasa Inggris selama enam bulan
(Januari-Juni). Skor TOEFL calon peserta sebelum mengikuti Kursus Intensif
minimal adalah 475. Sedangkan untuk dapat masuk dan mengikuti program studi, di
akhir Kursus Intensif harus mencapai 6,5 (EILTS) atau 550 (TOEFL) dan akan
mendapatkan beasiswa selama empat (4) semester atau dua (2) tahun. Mereka yang
skornya tidak mencapai batas minimal tersebut tidak dapat mengikuti program
studi ini. Selain itu, mahasiswa diberi kesempatan untuk berkunjung ke McGill
University pada musim panas (summer season).
Secara akademik, program studi Interdisciplinary
Islamic Studies tampak sangat menantang bagi proses pencarian
pendidikan tinggi Islam, yang memiliki kualifikasi internasional, namun pada
umumnya, seperti juga dialami mereka yang studi Islam di Barat, kemampuan
doktrinal Islam tidak cukup memadai (Islam normatif), berbeda dengan studi
Islam di Timur Tengah yang biasanya sangat mumpuni dalam penguasaan
sumber-sumber Islam yang paling dasar, terutama dengan penguasaan bahasa
Arabnya dalam menggali khazanah intelektual Islam yang otentik.
Penutup
Di sinilah kita bisa melihat belum adanya
perpaduan antara studi Islam di Timur Tengah yang kaya akan penguasaan khazanah
Islam dengan studi Islam di Barat yang kaya metodologi. Prototype Fakultas
Dirasat Islamiyah yang benar-benar ingin meniru Universitas al-Azhar, ternyata
masih jauh dari harapan dengan terbatasnya pengelolaan, manajemen, kurikulum,
dan staf pengajar, sehingga untuk dapat memenuhi kualifikasi yang sama seperti
Universitas al-Azhar pun belum bisa dilakukan. Alih-alih, ingin mengembangkan
yang lebih baik dari Universitas al-Azhar, jelas masih sangat kesulitan.
Program studi Interdisciplinary Islamic
Studies yang tampaknya ingin memindahkan McGill University di
Indonesia masih terjebak pada pendekatan Barat yang empiris, historis, dan
sosiologis. Padahal, studi Islam juga memerlukan penguasaan sumber-sumber Islam
yang paling otentik, yang tentu saja dapat dilakukan dengan penguasaan bahasa
Arab yang mumpuni. Bukan saja aspek metodologi yang penting dalam setiap
pendidikan Islam, tetapi penguasaan dasar keislaman perlu terus diupayakan
secara meyakinkan.
Jika model keduanya dapat digabung dan
dipadukan menjadi satu model pendidikan Islam di lingkungan PTAI, kiranya dapat
menjawab kekurangan masing-masing orientasi, yakni menguasa khazanah
intelektual Islam yang paling dasar dan otentik, juga menguasai metodologi yang
dapat digunakan untuk memecah masalah yang dihadapi di tengah-tengah
masyarakat. Apakah orientasi "studi Islam yang
normatif dan historis dapat dipadukan?” Tentu saja, sangat bisa demi suksesnya
pendidikan Islam di Indonesia, yang dapat disejajarkan dengan pendidikan Islam
di Timur Tengah dan Barat.
[1] Madrasah pertama
kali didirikan oleh Nizhamul Mulk Dinasti Bani Saljuk pada abad
ke-15 Hijriyah, meskipun pada abad sebelumnya ada yang mengatakan Naisabur
sebagai madrasah yang pertama di dunia Islam. Lihat Muhammad Munir Misri, al-Tarbiyyah
al-Islamiyyah Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-'Arabiyyah, (Kairo:
'Alam al-kutub, 1977), hlm. 98.
[2] Tujuan pendidikan
Islam harus disandarkan pada ukuran-ukuran yang jelas; (1) filsafat pendidikan
Islam agar mampu menghadapi problem-problem sosial, (2) bersifat realistis,
terukur, dan memadai sehingga dapat diimplementasikan dengan mudah, (3) sesuai
dengan standar umum yang berlaku, bukan berdasarkan sesuatu yang tidak lazim
sehingga sulit mengimplementasikan dalam proses pendidikan, (4) bersifat
komprehensif, mencakup semua aspek yang dibutuhkan dalam pendidikan, dan (5)
melibatkan segenap ahli yang mampu mendukung dalam proses pendidikan. Lihat
Ibrahim Basyuni Amirah, Tadris al-'Ulum wa al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, (ttp:
Dar al-Ma'arif, 1978), hlm. 108-111.
[3] Wan Mohd Nor Wan
Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas,
(Bandung: Mizan, 2003), hlm. 163-165. Bandingkan dengan pemikiran Muhammad
Athiyyah al-Ibrasyi, yang menegaskan tujuan pendidikan Islam lebih
diorientasikan pada pengembangan pemikiran Islam, kebebasan berfikir, perluasan
wilayah kajian, pengembangan ilmu dari berbagai aspek, dan nuansa
falsafinya. Lihat Muhammad Athiyyah al-Ibrasyi, al-Tarbiyyah
al-Islamiyyah,(ttp: al-Dar al-Qaumiyyah li al-Tiba'ah wa alNasyr, 1964),
hlm. 147.
[5] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi menuju
Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 2000), hlm. 229-230.
[8] Yusril Ihza
Mahendra, Studi Islam di Timur dan Barat dan Pengaruhnya terhadap
Pemikiran Islam Indonesia, dalam Jurnal Ulumul Qur'an No. 3 Vol.
5 Tahun 1994, hlm. 14.
[11] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi menuju
Milenium Baru,op. cit., hlm. 172.
[12] Hamid Fahmy dkk,
"Pengantar Penerjemah" dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat
dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan
2003), hlm. 32.
[16] Seyyed Hossein Nasr,
"Kata Pengantar", dalam Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun
Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu Menurut al-Farabi, al-Ghazali, Quth al-Din
al-Syirazi, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 11.
[17] Brosur PPs Program
Studi Interdisciplinary Islamic Studies di Jakarta dan Social
Workdi Yogyakarta dan Wawancara dengan Salman, mahasiswa program studi Interdisciplinary
Islamic Studies semester I tanggal 28 Desember 2003. http://www.ditpertais.net/jurnal/vol62003c.asp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar