Di dalam bukunya yang berjudul “As-Sunnah An-Nabawiyah, Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits” ini, Muhammad Al Ghazali membongkar keganjilan banyak riwayat yang terlanjur dianggap sebagai hadits shahih oleh sebagian muslimin, dikarenakan sanad-nya dianggap kuat. Ia lantas membandingkan isi (matan) hadits-hadits itu dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Dan ternyata banyak “hadits-hadits” yang umumnya hadits ahad itu isinya amat bertentangan dengan Al-Qur’an. Beliau termasuk salah satu ulama yang fokus untuk mengkaji kritik matan hadis.
Muhammad Al Ghazali banyak mengritik sebagian orang yang hanya mengkaji hadis, menemukan beberapa hadis mengambil pemahaman yang masih prematur kemudian membuat kesimpulan hukum yang banyak bertentangan para Imam Mujtahid, bertentanga dengan hadis-hadis yang lain yang lebih kuat dan juga bertentangan dengan Al Qur'an. Beliau juga menganjurkan perlunya kerjasama antara Ahli hadis dan Ahli Fiqih dalam menyelesaikan problem dakwah Ummat, sehingga Islam tidak menjadi bahan ejekan dan penisbatan keterbelakangan.
Artinya ketika memahami suatu hadis supaya pemahamannya itu bisa dipertanggungjawabkan diperlukan penguasaan kelengkapan pengetahuan terhadap hadis-hadis secara komprehensif dan juga terhadap al Qur'an yang sempurna dan mampu beristinbat dengan benar dengan melibatkan pemahaman Akal yang harus dikedepankan.
Inilah buku yang telah mengguncang banyak negara Timur Tengah
selama beberapa tahun. Isinya memancing kontroversi sengit karena dianggap
sangat ‘provokatif’ oleh sebagian kalangan muslimin, terutama yang mengaku
sebagai pengikut Salafiyah (Salafi). Apalagi sang
penulis, yaitu ulama dan cendekiawan Muslim besar asal Mesir, Syaikh Muhammad
al-Ghazali (1917-1996), adalah pengajar di Universitas Islam Madinah, Arab
Saudi.
Maka, ia dengan lantang bersuara agar umat Islam mencampakkan
riwayat-riwayat yang sudah terlanjur dianggap sebagai hadits. Sebab, katanya,
tak mungkin Nabi saw. mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan
Al-Qur’an.
Selain dikenal sebagai ulama modernis yang berpengaruh besar pada
gerakan kebangkitan Islam di Mesir, Muhammad al-Ghazali juga seorang penulis
yang sangat produktif. Tak kurang dari 94 judul buku yang telah ia tulis selama
hidupnya. Belum lagi ribuan artikel dan ceramahnya yang tersebar di banyak
media massa.*
Karya-karya beliau banyak mendapat tanggapan dari berbagai pihak di nataranya :
Komentar Terhadap
Tulisan-Tulisan Muhammad Al-Ghazali
Senin, 21 Agustus 2006 11:37:28 WIB
KOMENTAR TERHADAP TULISAN-TULISAN MUHAMMAD AL-GHAZALI
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata dalam kitab beliau " Shifatu
Shalaati An-Nabiyyi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallama min At-Takbiiri ilaa
At-Tasliimi Ka-annaka Taraahaa” dalam muqadimahnya, mengomentari
tulisan-tulisan Muhammad Al-Ghazali, sebagai berikut.
Dalam sebuah buku berjudul Zhulamun Minal Gharbi karya Muhammad Al-Ghazali hlm.
200 disebutkan.
“Pada sebuah konperensi di Universitas Princeton, Amerika Serikat, salah
seorang pembicaranya ditanya oleh perserta, yang kebanyakan adalah para orientalis
dan para pemerhati masalah-masalah Islam.
Dengan ajaran apa kaum muslim bisa maju ke pentas dunia ? Apakah dengan ajaran
Islam yang dipahami golongan Sunni, atau yang dipahami golongan Syi’ah Imamiah
atau Syi’ah Zaidiyah, padahal di antara mereka sendiri terjadi perselisihan?
Terkadang ada segolongan yang menyelesaikan suatu masalah dengan pemikiran yang
modern, tetapi yang lain tetap dengan pemikiran yang kuno dan jumud
Ringkasnya : Para da'i membiarkan objek dakwahnya dalam kebingungan karena mereka
sendiri mengalami kebingungan".
Jawaban
Saya katakan disini : Tulisan-tulisan Muhammad Ghazali yang akhir-akhir ini
banyak tersebar di sana-sini, seperti bukunya yang berjudul As-Sunnah
An-Nabawiyah baina Ahlil Hadits, di mana dia sendiri termasuk kategori
da'i-da'i semacam itu, yaitu para da'i yang kebingungan.
Sebelumnya kami telah membaca buku ini dan memberi komentar terhadap beberapa
Hadits yang terdapat di dalamnya, serta koreksi-koreksi dalam beberapa masalah
fiqh.
Sebagian dari tulisan yang ada dalam buku itu penuh dengan hal-hal yang
menunjukkan kebingungannya, penyimpangannya dari Sunnah Nabi Shallallaahu
'alahi wa sallam dan menjadikan akalnya sebagai hakim dalam mengesahkan atau
mendha'ifkan hadits. Ia tidak mau berpegang pada dasar-dasar ilmu Hadits atau
para ahli atau mereka yang tahu seluk beluk Hadits. Bahkan hal yang sangat aneh
dilakukannya ialah men-shahihkan hadits yang jelas-jelas dha'if.
Tentang buku Fiqhus Sirah
Akan tetapi, tidak aneh karena kita melihat dia men-dha'if-kan hadits-hadits
yang jelas disepakati shahihnya oleh Bukhari dan Muslim sebagaimana dapat Anda
baca hal ini dalam komentar saya pada dua muqadimah bukunya berjudul Fiqhus
Sirah yang telah saya beri takhrijnya terhadap hadits-hadist yang termuat di
dalamnya pada cetakan ke-4. Hal itu saya lakukan atas permintaan dia sendiri
melalui salah seorang teman saya dari kalangan Al-Azhar. Oleh karena itu,
segera saya berikan takhrij buku tersebut, dengan perkiraan bahwa hal itu
menunjukkan adanya perhatian dia secara sungguh-sungguh terhadap hadits-hadits
Nabi dan sirah Nabi Shallallaahu 'alahi wa sallam serta ingin memeliharanya
dari pemalsuan yang datang dari luar. Sekalipun ia menyatakan pujian terhadap
komentar dan catatan saya serta dengan terus terang menyatakan gembiranya dalam
komentarnya di bawah judul Haula Ahaadiits Hadzal Kitab, namun dia sendiri
berbicara tentang metode yang digunakannya dalam menerima hadits-hadits dho'if
dan menolak hadits-hadits shahih semata-mata ditinjau dari segi matannya.
Dengan cara semacam ini dia ingin memberikan kesan kepada
para pembaca bahwa metode penelitian dan koreksi yang ditentukan oleh ilmu
hadits bagi dia sama sekali tidak ada artinya, selama hal itu bertentangan
dengan kritik yang logis, padahal metode kritik yang logis berbeda antara
seseorang dan yang lainnya. Dengan metode semacam ini agama menjadi permainan
nafsu, tanpa memiliki kaidah dan prinsip-prinsip baku, dan hanya tergantung
pada selera perorangan.
Hal ini jelas bertentangan dengan metode yang diikuti oleh para ulama kaum
muslim bahwa sanad hadits merupakan bagian dari agama.
Seandainya hadits itu boleh tanpa sanad, tentu orang akan berbicara sesuka
hatinya dan inilah yang dilakukan oleh Ghazali dalam sebagian besar
hadits-hadits yang dimuat dalam kitab Sirahnya. Kitabnya memuat sebagian besar
hadits mursal dan mu'dlal.
Hadits dho'if dikatakan shahih seperti yang terlihat dalam takhrij saya
terhadap bukunya. Sekalipun demikian ternyata dia tetap keras kepala dengan
memberikan pernyataan-pernyataan di bawah judul di atas:
"Saya telah melakukan ijtihad agar dapat menempuh cara yang benar dan
merujuk pada sumber-sumber yang dipercaya, dan saya kira saya telah sampai
dengan baik pada tingkatan ini. Saya telah mengumpulkan riwayat-riwayat yang
dapat menenangkan hati seorang alim yang berpandangan luas".
Begitulah dia berujar.
Seandainya dia ditanya, apakah kaidah yang Anda pergunakan dalam ijtihad Anda
itu, apakah kaidah itu berupa prinsip-prinsip ilmu hadits yang merupakan
satu-satunya jalan untuk mengetahui mana riwayat yang shahih dan mana yang
dha'if dari Sirah Nabi (?), jawabnya tentu ia akan mengatakan berdasarkan
pemikiran pribadi.
Itu adalah salah satu dari bentuk kebobrokannya.
Sebagai buktinya, dia berani men-shahih-kan hadits yang tidak shahih sanadnya
dan dia berani melemahkan hadits walaupun sanadnya shahih menurut Bukhari dan
Muslim, seperti yang pernah saya kemukakan pada muqaddimah kitabnya Fiqhus
Sirah di atas dan yang telah dicetak pada terbitan keempat seperti tersebut di
atas.
Namun sungguh disayangkan pada terbitan-terbitan berikutnya, seperti terbitan
Darul Qalam, Damaskus, dan lain-lain, muqaddimah itu telah dibuangnya (!).
Hal semacam ini membuat sebagian orang menduga bahwa tujuan penghapusannya pada
buku terbitan-terbitan baru tersebut hanyalah mengejar lakunya buku di kalangan
pembaca yang telah mampu menghargai kesungguhan para pengabdi sunnah Nabi
Shallallaahu 'alahi wa sallam dan berusaha dengan keras untuk memilah mana
hadits dho'if dan mana hadits shahih menurut kaidah-kaidah ilmiah, bukan selera
pribadi dan dorongan nafsu yang bermacam-macam, seperti dilakukan Ghazali dalam
bukunya.
Tentang buku As-Sunnah Nabawiyah Baina Ahlil Fiqhi wa Ahlil Hadits
Begitu juga yang ia lakukan dalam bukunya yang terakhir berjudul As-Sunnah
Nabawiyah Baina Ahlil Fiqhi wa Ahlil Hadits. Di situ nampak jelas bahwa
Ghazali menempuh metode Mu'tazilah.
Jadi, bagi Ghazali jerih payah ahli hadits yang telah berlangsung puluhan tahun
dalam memilah hadits shahih dari yang dha'if tidak ada artinya. Begitu pula
segala jerih payah para imam ahli fiqih yang telah meletakkan kaidah-kaidah
ushul dan membuat kaidah-kaidah furu', tidak ada gunanya, sebab Ghazali bisa
mengambil mana seenaknya dan meninggalkan mana saja seenaknya, tanpa terikat
oleh satu kaidah pun.
Banyak ahli ilmu telah melakukan sanggahan terhadap hal ini. Mereka telah
menjelaskan secara rinci tentang kebingungan dan penyelewengan Ghazali.
Tulisan yang terbaik dalam hal ini ialah yang ditulis oleh Dr.Rabi' bin Hadi
Al-Madkhali yang dimuat dalam majalah Al-Mujahid Afghaniyah no.9-11 dan tulisan
Shalih bin 'Abdul 'Aziz bin Muhammad 'Ali Syaikh dengan judul Al-Mi'yaru li
'ilmil Ghazali (Bobroknya ilmu Ghazali)
[Disalin dari catatan kaki kitab Shifatu Shalaati An-Nabiyyi Shallallaahu
'Alaihi Wa Sallama min At-Takbiiri ilaa At-Tasliimi Ka-annaka Taraahaa, edisi
Indonesia Sifat Sholat Nabi Shallallaahu 'alahi wa sallam, oleh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, hal.75-77, Penerjemah Muhammad Thalib, Penerbit Media
Hidayah, Jogjakarta Desember 2000] http://almanhaj.or.id/content/1922/slash/0
Tidak ada komentar:
Posting Komentar