Dalam kitab “Nudzaful Khawatir” , karangan
Abdul hajj Fakhruddin al Hasan, sebuah kitab berbehasa arab yang menerangkan
riwayat hidup Ulama-Ulama India pada abad ke-11 H. tersebut Nama beliau : Syeikh Nuruddin Muhammad bin Ali Al Hamidy As
Syafi’I Al Asy’Ary al Idrusi Ar Ranri As Suraty. Syekh Nuruddin diperkirakan lahir sekitar akhir abad ke-16 di kota Rani, India, dan wafat pada 21 September 1658.
Syeikh Nuruddin Ar Raniri di angkat sebagai mufti dalam Madzhab
Syafi’I oleh Sutan Iskandar Tsani, Sultan inipun bermazdhab Syafi’I Rhl.
Beliau adalah ulama besar dalam Madzhab Syafi’I dan Ahlussunnah wal
Jama’ah yang jarang tandingannya ketika itu. Beliaulah seorang ulama yang
sangat berjasa di Aceh yang menjadikan Aceh sebagai “Serambi Mekkah”.
Beliau ulama Nusantara yang
sangat produktif, banyak mengarang kitab lebih dari 23 kitab. Banyak sekali
yang menulis biografi beliau
(Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’I ; KH.
Sirojuddin ‘Abbas)
Syeikh Nuruddin Ar Raniry; Penentang Wujudiah
"…dan lalu pula katanya tamsil
seperti matahari dengan cahaya, dengan panas, namanya tiga, rupanya tiga,
hakikatnya satu jua. Maka I’tikad seperti ini adalah I’tikad Nasrani bahwa
wujud (tuhan) tiga. Pertama wujud bapa, ke dua wujud ibu, ke tiga wujud anak…
Jauhilah wahai semua (orang) yang beriman.”
Itulah sepenggal analisis kritis Syeikh Nurruddin
Ar-Raniri dalam kitabnya Tabyan fi ma’rifat al-Adyan, terhadap isi kitap Muntha
karangan Hamzah Fansuri yang menyebarkan faham Wujudiah.
Ulama yang namanya ditabalkan pada Institus Agama
Islam Negeri (IAIN) di Darussalam, Banda Aceh ini, dalam faham keislamannya,
sangat bertolak belakang dengan faham wujudiah yang diajarkan oleh ulama Aceh
seangkatannya; Hamzah Fansuri.
Penetangannya terhadap Wujudiah, dituangkan dalam
kitab Ma’a al-Hayat Li al-Mamat. Yang berisikan bantahan-bantahan terhadap
ajaran Wujudiah. Salah satu alasannya menentang ajaran Wujudiah dalam kitab
tersebut adalah tentang ke-Esaan wujud Tuhan dengan wujud alam dan manusia.
Alasannya, jika benar Tuhan dan makhluk itu
hakikatnya satu, maka semua makhluk ciptaan Allah adalah Allah. Hal ini
menurutnya mengartikan bahwa apa yang dimakan, diminum, dan dibakar itu adalah
Allah. Dengan demikian berarti semua perbuatan manusia dan makhluk lainnya, seperti
membunuh dan mencuri adalah perbuatan Allah (Ahmad Daudi,1978).
Sikapnya yang menentang ajaran Wujudiah ter¬sebut
didukung oleh Sultan Iskandar Thani, sehingga tak lama kemudian dia pun
di¬angkat menjadi Mufti kerajaan Aceh. Maka se¬makin mudahlah jalan baginya
untuk me¬lakukan pembaharuan di Aceh.
Berbagai kitab kemudian ditulisnya untuk
mema¬tahkan ajar¬an Wujudiah. Salah satunya dalam kitab¬nya Hujjah as-Siddiq
Lidaf az-Zindik. Ia menulis: “Amat nyata kesalahan mereka itu, kare¬na
ditamsilkan mereka itu hak (Allah) Ta’ala dengan makhluk, seperti matahari
dengan pa¬nas yang hadith keduanya: maka dihu¬bung¬kannya mahkluk dengan hak
(Allah) Ta’ala seperti perhubungan panas dengan matahari. Dan tiada sesuatu
dari pada kedua¬nya berhubungan, maka misal yang demi¬kian itu muhal,
sekali-kali tiada diperoleh pada hak (Allah) Ta’ala…”.(DR. T. Iskandar)
Pertentangan Syeikh Nurruddin Ar-Raniry dengan
faham Wujudiah, semakin lama se-makin memuncak. Dan atas anjurannya kemudian
Sultan Iskandar Thani memerin-tahkan untuk membakar semua kitab karangan Hamzah
Fansuri dan Syeikh Shamsuddin Pasai, tentang Wujudiah.
Setelah kitab-kitab itu dibakar, maka atas
perintah Sultan Iskandar Thani kala itu, Syeikh Nurruddin Ar-Raniry kemudian
mengarang kitab Bustanus Salatin, kitab itu mulai ditulis pada tanggal 17
Syawal 1047 H.
Kitab tersebut merupakan karya Syeikh Nurruddin
Ar-Raniry terbesar diantara sejumlah karya-karyanya. Dan merupakan karya
terbesar pula yang pernah ditulis oleh pengarang-pengarang Melayu. Sampai sekarang
kitab ini masih menjadi bahan kajian para sejarawan manca-negara.
Setelah berhasil memerangi faham Wujudiah selama
tujuh tahun di Aceh, Syeikh Nurruddin Ar-Raniry pada tahun 1045 H, kembali ke
kampung halamannya di Ranir. Sampai di sana ia mengarang kitab Rahik
Al-Muhammadiyyah fi Tariq as-Sufiyah (Minuman bagi Umat Muhammad pada jalan
tasawuf)
Tapi sebelum kitab itu rampung ditulisnya, ulama
besar ini, yang telah mem¬bebaskan masyarakat Aceh dari pengaruh Wujudiah,
meninggal dunia pada 22 Zulhijjah 1069 H. kitab tersebut kemudian ditamatkan
oleh Syeikh Salah ad-Din Ibrahim Ibnu Abdullah dengan jalan memasukkan khutbah
ke dalamnya.
Dari Ranir ke Aceh
Syeikh Nurruddin Ar-Raniry bernama lengkap
Nurruddin Muhammad Bin Ali Bin Hasan Muhammad Hamid Ar-Raniry al-Quraisyi
Asy-Syafii. Ia merupakan seorang sarjana India ber-kebangsaan Arab, lahir di
daerah Ranir (sekarang Rander) suatu Bandar dekat Surat di Gujarat, India.
Ranir saat itu merupakan sebuah kota pelabuhan
yang ramai dikunjungi dan didiami oleh ber¬bagai bang¬sa seperti Turki, Mesir,
Arab, Persia dan juga dari negara-negara Asia Tenggara.
Tentang sejarah tokoh sufi ini, telah ditulis oleh
beberapa sejarawan Belanda, seperti P. Voorhoeve dalam bukunya Van en Over
Nurruddin Ar-Raniry dan Twee Maleische Geschriften Van Nurruddin Ar-Raniry,
terbitan Leiden University. Belanda.
Kemudian ada lagi G.W.J. Drewes, juga berkebangsan
Belanda, dalam buku De Herkomst Van Nurruddin Ar-Raniry. Jejak kedua sejarawan
ini ke¬mudian diikuti oleh rekan sebangsanya C.A.O Van Nieuwenhuijze, yang
menulis buku Nur al-Din Ar-Raniry, als Bestrijder de Wugudiyah, yang mengupas
tentang per¬tentangan Ar-Raniry dengan Hamzah Fan¬suri yang menyebarkah faham
Wujudiah.
Masa kecil Syeikh Nurruddin Ar-Raniry di¬ha¬bis¬kan
untuk mempelajari Islam di daerah¬nya. Dalam ilmu sufi dan tarekat, ia ber¬guru
pada As-Sayyid Umar Ibnu Abdullah Ba Saiban. Setelah dewasa, ia melanjutkan
stu¬di¬nya ke Tarim, Arab Selatan.
Tahun 1030 H (1621 M) hijrah ke Mekkah dan Madinah
un¬tuk menu¬naikan ibadah haji. Di Arab, ia terus mem¬per¬dalam ilmunya, karena
saat itu banyak orang Melayu di tanah suci, maka kesem¬patan itu juga
digunakannya untuk mem¬pelajari bahasa Melayu. Setelah me¬mantapkan ilmunya di
Arab, ia kembali lagi ke Ranir.
Tapi saat itu, suasana Ranir sudah lain, karena
terjadi persaingan dalam perda¬gangan dengan orang Islam, Portugis me¬lakukan
agresi ke kota pelabuhan itu pada tahun 1530. Ketika Ranir jatuh ke tangan
Portugis, maka kota perdagangan Islam dipindahkan ke daerah Surat, sebagai kota
pelabuhan baru di Gujarat.
Akibat dari agresi Portugis itu banyak dari
pedagang-pedagang Islam yang meninggalkan Ranir dan mencari pusat perdagangan
lain. Selain Surat dan daerah sekitar India, kerajaan Aceh yang sudah maju di
bidang per¬dagangan ekspor-impor, juga merupakan tujuan yang banyak dipilih
oleh mereka.
Selain pedagang, tokoh agama pun banyak yang
hijrah ke Aceh. Salah satunya yang berhasil merebut hati raja kerajaan Aceh
saat itu adalah Sultan Iskandar Thani yang tak lain adalah Syeikh Nurruddin
Ar-Raniry. Ia datang ke Aceh pada tahun 1637.
Tapi sebelumnya, pada masa pe¬merintahan Sultan
Iskandar Muda, Syeikh Nurruddin Ar-Raniry telah datang ke Aceh. Namun, karena
adanya pertentangan faham dengan Syeikh Shamsuddin Pasai, guru dan penasehat
Sultan Iskandar Muda, ia tidak menetap di Aceh, tapi di daerah se¬menanjung
Melayu.
Di sana ia mempelajari kitab-kitab sastra Melayu
yang berisikan sejarah dan pegangan raja-raja serta pembesar kerajaan dalam
memimpin menurut Islam. Seperti: Hikayat Iskandar Zulkarnain, kitab
Tajussalatin dan sejarah Melayu, serta beberapa kitab lainnya yang sudah
ditulis masa itu.
Kitab-kitab tersebut kemudian di¬perbaharuinya.
Selama di Semenanjung Melayu dia menulis dua buah kitab, kitab Durrat
al-Fara’id dan Hidayat al-Habib. Kedua kitab inilah yang dibawanya ke Aceh masa
pemerintahan Sultan Iskandar Thani, karena Sultan Iskandar Muda dan juga Syeikh
Shamsuddin Pasai, guru dan pena¬sehatnya sudah mangkat. Sheikh Nurruddin
Ar-Raniry diterima dengan baik oleh Sultan Iskandar Thani.
Tapi tak mudah baginya untuk membawa faham Syafii
ke Aceh kala itu, karena di Aceh telah berkembang faham Wujudiah yang
disebarkan oleh Hamzah Fansuri. Syeikh Nurruddin Ar-Raniry menentang keras
faham Wujudiah kala itu. menurutnya ajaran Hamzah Fansuri tersebut merupakan
aliran sesat yang bertentangan dengan ajaran Islam. [iskandar norman]
Ar Raniry di Taman Raja-raja
Kebesaran Syeikh Nuruddin Ar Raniry, salah satunya
terdapat dalam kitab Bustanussalatin, yang merupakan kitab terkenal mufti
kerajaan Aceh tersebut. Kitab itu ditulis pada tahun 1637 M (1047 H), pada masa
Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Iskandar Thani.
Dalam kitab itu digambarkan keindahan Taman
Ghairah, yakni taman para raja. Ar Raniry menulis. “Pada zaman bagindalah
berbuat suatu bustan, yaitu kebun, terlalu indah-indah, kira-kira seribu depa
luasnya. Maka ditanami berbagai bunga-bungaan dan aneka buah-buahan. Digelar
Baginda bustan itu Taman Ghairah.”
Keindahan Taman Ghairah yang disebutkan dalam
kitab Bustanussalatin, pernah distulis oleh Dr Hoesein Djajaninggrat pada tahun
1961 dalam bahasa Belanda, kemudian diterjemahkan oleh Aboe Bakar dan Ibrahim
Alfian. Diceritakan, taman gunung (gunongan) di dalamnya sangat memukau.
Taman itu sangat luas dan daliri oleh sungai Darul
Isyki, kini dikenal sebagai Krueng Daroy. Taman itu dipenuhi tumbuhan buang dan
buah. Di dalam taman juga terdapat bangunan-bangunan yang terbuat dari batu
pualam warna-warni, serta tiang-tiang yang terbuat dari tembaga, perak, dan
suasa yang berukir indah. Bangunan yang masih tersisa sampai sekarang adalah
gunongan dan pinto khop.
Dikisahkan dalam Kitab Biustabussalatin, air
sungai Darul Isylki sangat sejuk dan menyehatkan, bersumber dari mata air di
bawah jabalul a’la di arah magrib. Sekarang dikenal sebagai tempat wisata
pemandian Mata Ie.
Di pertengahan jalur sungai Darul Isyki ditemukan
sebuah pulau kecil bernama Pulau Sangga Marmar, berlais batu dan dikelilingi
karang aneka warna yang disebut Pancalogam. Ada pula jembatan besar yang indah
yang dinamai Rambut Kamalai.
Diceritakan pula berbagai jenis batu yang dipakai
sebagai tarupan tanah dan lereng, serta tebing sungai, diselingi oleh taman
bunga dan berbagai pohon yang berbuah. Oleh sultan Aceh, taman ini digelar
Taman Ghairah.
Begitulah Nuruddin Ar Raniry menggambarkan
keindahan dalam Bustanussalatin. Marwah taman itu bukan saja karena aneka
bangunan mungil yang sesak dengan berbagai material pembangunannya, tapi juga
oleh beragam jenis tanaman bunga dan buah yang membuat keasrian taman sangat
alami. [iskandar norman]
Karya-karya Besar
Syeikh Nurruddin Ar-Raniry:
1. Kitab Al-Shirath al-Mustaqim
2. Kitab Durrat al-faraid bi Syarh al-‘Aqaid an
Nasafiyah
3. Kitab Hidayat al-habib fi al Targhib
wa’l-Tarhib
4. Kitab Bustanus al-Shalathin fi dzikr al-Awwalin
Wa’l-Akhirin
5. Kitab Nubdzah fi da’wa al-zhill ma’a shahibihi
6. Kitab Latha’if al-Asrar
7. Kitab Asral an-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa
al-Rahman
8. Kitab Tibyan fi ma’rifat al-Adyan
9. Kitab Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah
10. Kitab Hill al-Zhill
11. Kitab Ma’u’l Hayat li Ahl al-Mamat
12. Kitab Jawahir al-‘ulum fi Kasyfi’l-Ma’lum
13. Kitab Aina’l-‘Alam qabl an Yukhlaq
14. Kitab Syifa’u’l-Qulub
15. Kitab Hujjat al-Shiddiq li daf’I al-Zindiq
16. Kitab Al-Fat-hu’l-Mubin ‘a’l-Mulhiddin
17. Kitab Al-Lama’an fi Takfir Man Qala bi Khalg
al-Qur-an
18. Kitab Shawarim al- Shiddiq li Qath’I al-Zindiq
19. Kitab Rahiq al-Muhammadiyyah fi Thariq
al-Shufiyyah.
20. Kitab Ba’du Khalg al-samawat wa’l-Ardh
21. Kitab Kaifiyat al-Shalat
22. Kitab Hidayat al-Iman bi Fadhli’l-Manaan
23. Kitab ‘Aqa’id al-Shufiyyat al-Muwahhiddin
24. Kitab ‘Alaqat Allah bi’l-‘Alam
25. Kitab Al-Fat-hu’l-Wadud fi Bayan Wahdat
al-Wujud
26. Kitab ‘Ain al-Jawad fi Bayan Wahdat al-Wujud
27. Kitab Awdhah al-Sabil wa’l-Dalil laisal li
Abathil al-Mulhiddin Ta’wil
28. Kitab Awdhah al-Sabil laisan li Abathil
al-Mulhiddin Ta’wil.
29. Kitab Syadar al-Mazid
30. Dll
http://iskandarnorman.multiply.com/reviews/item/62?&show_interstitial=1&u=%2Freviews%2Fitem
Ar-Raniri: negarawan, ahli fikih,
teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan, sejarawan dan sastrawan
Syeikh Nuruddin
Ar-Raniri, Ulama Aceh Terkenal. Nama lengkapnya, Nuruddin Muhammad bin Ali bin
Hasanji Al-Hamid (atau Al-Syafi’i Al-Asyary Al-Aydarusi Al-Raniri (untuk
berikutnya disebut Al-Raniri). la dilahirkan di Ranir (Randir), sebuah kota
pelabuhan tua di Pantai Gujarat, sekitar pertengahan kedua abad XVI M. Syekh
Nuruddin diperkirakan lahir sekitar akhir abad ke-16 di kota Rani, India, dan
wafat pada 21 September 1658. Pada tahun 1637, ia datang ke aceh, dan kemudian
menjadi penasehat kesultanan di sana hingga tahun 1644. Ibunya seorang
keturunan Melayu, sementara ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadhramaut
(Al-Attas: 1199 M). Ia adalah ulama penasehat di kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan
Sultan Iskandar Tsani (Iskandar II).
Seperti ketidakpastian tahun kelahiran, asal usul keturunan
Al-Raniri pun memuat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, nenek moyangnya
adalah keluarga Al-Hamid dari Zuhra (salah satu dari sepuluh keluarga Quraisy).
Sementara kemungkinan yang lain Al-Raniri dinisbatkan pada Al-Humayd, orang
yang sering dikaitkan dengan Abu Bakr ‘Abd Allah b. Zubair Al-As’adi
Al-Humaydi, seorang mufti Makkah dan murid termasyhur Al-Syafii (Azra 1994).
Daerah asal
Al-Raniri, sebagaimana layaknya kota-kota pelabuhan yang lain, kota Ranir
sangat ramai dikunjungi para pendatang (imigran) dari berbagal penjuru dunia.
Ada yang berasal dari Timur-Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa. Tujuan utama mereka untuk melakukan aktifitas bisnis dan mencari sumber-sumber ekonomi baru. Di samping itu, mereka juga berdakwah dan menyebarluaskan ilmu-ilmu agama, sehingga menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Ada yang berasal dari Timur-Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa. Tujuan utama mereka untuk melakukan aktifitas bisnis dan mencari sumber-sumber ekonomi baru. Di samping itu, mereka juga berdakwah dan menyebarluaskan ilmu-ilmu agama, sehingga menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Dari Ranir
pula, mereka kemudian berlayar kembali menuju pelabuhan-pelabuhan lain di
Semenanjung Melayu dan Hindia untuk keperluan yang sama.
Jadilah orang Ranir dikenal sebagai masyarakat yang gemar merantau dari satu tempat ke tempat yang lain. Pola hidup yang berpindah-pindah seperti ini juga terjadi pada keluarga besar Al-Raniri sendiri, yaitu ketika pamannya, Muhammad Al-jilani b. Hasan Muhammad Al-Humaydi, datang ke Aceh (1580-1583 M) untuk berdagang sekaligus mengajar ilmu-ilmu agama, seperti fiqh, ushul fiqh, etika, manthiq, dan retorika. Kebanyakan dari mereka (perantau) biasanya menetap di kota-kota pelabuhan di pantai Samudera Hindia dan wilayah-wilayah kepulauan Melayu-Indonesia, lainnya (Azra: 1994).
Jadilah orang Ranir dikenal sebagai masyarakat yang gemar merantau dari satu tempat ke tempat yang lain. Pola hidup yang berpindah-pindah seperti ini juga terjadi pada keluarga besar Al-Raniri sendiri, yaitu ketika pamannya, Muhammad Al-jilani b. Hasan Muhammad Al-Humaydi, datang ke Aceh (1580-1583 M) untuk berdagang sekaligus mengajar ilmu-ilmu agama, seperti fiqh, ushul fiqh, etika, manthiq, dan retorika. Kebanyakan dari mereka (perantau) biasanya menetap di kota-kota pelabuhan di pantai Samudera Hindia dan wilayah-wilayah kepulauan Melayu-Indonesia, lainnya (Azra: 1994).
Nuruddin
al-Raniri tiba di Aceh pada hari Ahad 6 Muharram 1047 H, bertepatan dengan
tanggal 31 mei 1637 M mengikuti jejak pamannya sebelumnya mengunjungi dan
menetap di Aceh bernama Muhammad Jailani bin Hasan bin Muhammad Hamid al-Raniri
yang datang ke Aceh pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Mansur Syah dari
Perak (1577-1586).
Pada tahun 1637 M Nuruddin al-Raniri berada di Kutaradja (Aceh) dan menetap selama tujuh tahun dari masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1636-1641) yang masih memiliki keturunan putra sultan Pahang yaitu menantu Sultan Iskandar Muda dan Sultanah Safiatuddin Syah istri Sultan Iskandar Tsani dan putri Sultan Iskandar Muda.
Pada tahun 1637 M Nuruddin al-Raniri berada di Kutaradja (Aceh) dan menetap selama tujuh tahun dari masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1636-1641) yang masih memiliki keturunan putra sultan Pahang yaitu menantu Sultan Iskandar Muda dan Sultanah Safiatuddin Syah istri Sultan Iskandar Tsani dan putri Sultan Iskandar Muda.
Sebagai ahli
bidang syariat dan teolog, Nuruddin al-Raniri juga dikenal sebagai seorang
syaikh dalam Tarekat Qadariyah dan Rifa’iyyah. Ia belajar kepada Syeikh Abu
Hafs ‘Umar bin ‘Abdullah Ba Syaiban atau dikenal dengan Saiyid ‘Umar al-’Aidrus
Ba Syaiban (970-1030 H), kepada ulama ini beliau mengambil bai’at Thariqat
Rifa’iyah. Al-Raniri ditunjuk oleh Ba Syaiban sebagai khalifah dalam Tarekat
Rifa’iyyah dan bertanggung jawab untuk penyebarannya di wilayah
Melayu-Indonesia.
Ide pemikiran
dan fatwa Nuruddin al-Raniri dituangkan dalam kitab-kitab karyanya mayoritas
bersifat polemis dan sampai pada batas apologetis, ada sekitar 31 kitab
(mungkin lebih) yang ditulis olehnya dan sebagian besarnya tentang fatwa
pertentangan doktrin mistiko-filosofis Wujudiyyah yang telah berkembang turun
temurun pada pengikut Wujudiyyah di Aceh yang dianggapnya sesat dan menyimpang.
Ar-Raniri
dikatakan pulang kembali ke India setelah beliau dikalahkan oleh dua orang
murid Hamzah Fansuri pada suatu perdebatan umum. Ada riwayat mengatakan beliau
wafat di India. http://herydotus.wordpress.com/2012/02/25/nuruddin-ar-raniri-negarawan-ahli-fikih-teolog-sufi-sejarawan-dan-sastrawan/
Nuruddin Ar-Raniri, Sufi
Produktif
Meski masa kejayaan Nuruddin
relatif singkat, perannya dalam perkembangan Islam di wilayah Melayu tak bisa
diabaikan. Dia memainkan peran penting dalam membawa Tradisi Islam ke wilayah
tersebut.
Rentang kehidupan Nuruddin
Ar-Raniri di isi dengan pengabdian, dakwah dan pencerahan untuk umat Islam. Dia
adalah seorang sufi yang paling lengkap julukannya dan paling produktif dalam
berkarya mentransfer ilmu pengetahuan. Tidak kurang dari 29 buku menjadi
warisan yang berharga darinya. Walaupun lahir di Ranir, Gujarat, India, tempat
dimana nenek moyang masyarakat Aceh berasal, kerena adaptasi, reputasi dan
tingginya ilmu pengetahuan yang dimiliki Nuruddin, dia menjadi pembaharu yang
paling disegani di wailayah Melayu Indonesia, khususnya Aceh pada 1600-an.
Setelah berguru di Gujarat, antara
lain kepada Syekh Ba Syaiban, Syekh Tarekat Rifa’iyah, ia melanjutkan studinya
ke Tarim, Hadramaut Yaman Selatan. Nuruddin berhasil menjadi ulama besar yang
berpengetahuan luas dan tercatat sebagai Syekh Tarekat Rifa’iyah dan bermazhab
Syafi’i dalam bidang Fikih. Pada 1621 ia berada di Mekah dan Madinah dalam
rangka menunaikan ibadah haji.
Tahun berapa ia pertama kali berada
di Aceh, masih menjadi pertanyaan dan perdebatan. Melihat kemahirannya menulis
dan berbahasa Melayu dan adanya karangan yang berbahasa Melayu yang ditulis
sejak 1633, orang memperkirakan, ia pada tahun 1620 telah masuk ke Aceh dan
menelaah paham Wujudiyah yang sedang dikembangkan oleh Syekh Syamsuddin
As-Sumatrani, yang menjadi mufti pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda,
dan temannya Hamzah Fansuri.
Setelah Syamsuddin wafat dan
Iskandar Tsani menjadi Sultan, Nuruddin datang lagi ke Aceh. Tak lama kemudian
ia diangkat menjadi Mufti, dan selama tujuh tahun dalam kedudukannya sebagai
mufti itu ia sering berdebat dengan pengikut paham Wujudiyah, dengan tujuan
agar pengikut paham tersebut meninggalkan pahamnya. Tidak berhasil membujuk
pengikut paham Wujudiyah agar kembali ke akidah yang murni, Nuruddin
merekomendasikan hukuman mati untuk setiap pengikut paham Wujudiyah.
Sikap keras Nuruddin ini
dilatarbelakangi oleh masa kecilnya yang penuh intimidasi. Ia hidup di tengah
komunitas Hindu di Desa Ranir dimana mayoritas Hindu tidak mengenal sedikitpun
toleransi dengan penganut agama dan paham apapun.
Nuruddin adalah ulama yang
berpengetahuan luas dan produktif dalam menulis. Ia menulis dalam berbagai
cabang ilmu pengetahuan, Fikih, akidah, hadis, sejarah, Tasawuf, juga
perbandingan agama. Kitab karangannya sebagian berbahasa Melayu dan sebagian
berbahasa Arab.
Sebagian
karangannya itu bertujuan menyerang paham Wujudiyah yang ditegakkan oleh Hamzah
Fanzuri dan Syamsuddin As-Sumatrani, diantaranya As-Sirat al-Mustaqim (jalan
lurus), Asrar Al-Insan Ma’rifat ar-Ruh wa
Ar-Rahman (Rahasia manusia dalam mengetahui Roh dan Tuhan), Al-Fathu al-Mubin Ala al-Mulhidin(kenangan nyata
atas kaum yang menyimpang).
Sebelum kedatangan Nuruddin
Ar-Raniri, adalah masa keemasan Islam mistik, ketika aliran Wujudiyah berjaya
tidak hanya di Aceh, tapi juga di banyak bagian wilayah Nusantara. Banyak
tela’ah menyebutkan Nuruddin lebih tepat disebut sebagai tokoh sufi dibanding
dengan pembaharu, padahal dia juga merupakan tokoh pembaharu paling penting
pada abad ke 17.
Guru
Ar-Raniri yang paling terkenal dari India adalah Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba
Syaiban Al-Tarimi Al-Hadrami, yang juga dikenal di wilayah Gujarat sebagai Syyaid
Umar Alaydrus. Ba Syaiban seperti juga Nuruddin, berasal dari keluarga Hadrami.
Menurut Nuruddin, Ba Syaibanlah yang membaiatnya dalam tarekat Rifa’iyah,
sebuah tarekat Arab. Dia menunjuk Nuruddin sebagai Khalifahnya dan bertanggung
jawab menyebarkannya di wilayah Melayu Indonesia. Tapi tarekat Rifa’iyah bukan
satu-satunya yang dikaitkan dengan Nuruddin, di juga masuk tarekat Alaydrusiyah
dan tarekat Qadariyah.
Nuruddin jelas merupakan perintis paling
menonjol dari keluarga ulama Alaydrusiyah di kepulauan Melayu Indonesia. Tidak
ada informasi kapan Nuruddin menetap dan mengadakan perjalanan pertama kali di
wilayah Melayu.
Serba
Bisa
Nuruddin adalah seorang sufi,
teologi dan seorang Fakih, ahli hukum. Dia juga seorang sastrawan dan politisi.
Kepribadiannya yang menguasai banyak bidang dapat menimbulkan kesalah pahaman,
terutama jika kita memandang hanya dari satu aspek tertentu pemikirannya.
Akibatnya sampai saat ini dia lebih sering dianggap sebagai seorang sufi yang
hanya disibukkan dengan praktik-praktik mistis, padahal dia juga seorang fakih
yang perhatian utamanya adalah penerapan praktis aturan-aturan paling mendasar
Syariat. Oleh karena itu untuk memahaminya secara benar kita harus mempertimbangkan
semua aspek pemikiran, kepribadian dan aktivitasnya.
Meski masa kejayaan Nuruddin di
Nusantara relatif singkat, perannya dalam perkembangan Islam di wilayah Melayu
Indonesia tak bisa diabaikan. Dia memainkan peranan penting dalam membawa
tradisi besar Islam ke wilayah ini dengan menghalangi kecendrungan kuat
percampuran tradisi lokal ke dalam Islam, tanpa mengabaikan peranan pembawa
Islam dari Timur Tengah atau dari tempat lain. Nuruddin dapat dikatakan sebagai
mata rantai yang sangat kuat menghubungkan tradisi Islam di Timur Tengah dengan
tradisi Islam di Nusantara. Jelas ia merupakan penyebar terpenting pembaharuan
Islam di Nusantara.
Nuruddin adalah ulama sufi pertama
di Nusantara yang mengambil inisiatif menulis semacam buku pegangan standard
mengenai kewajiban-kewajiban agama yang mendasar bagi semua orang. Meskipun
aturan-aturan syariat atau fikih dalam batas tertentu telah dikenal dan di
praktekkan sebagian kaum muslimin Melayu Indonesia. Tidak ada satupun karya
Melayu yang dapat diacu sebelum munculnya karya Nuruddin. Karena itu tidak
sulit memahami, mengapa karya ini menjadi sangat populer dan masih digunakan
sampai hari ini di beberapa bagian dunia Melayu Indonesia.
Kepedulian
Nuruddin terhadap penerapan aturan-aturan terperinci fikih mendorongnya
menyarikan bagian-bagian karyanya. Syirat al-Mustaqim,
dan mengeluarkannya sebagai karya terpisah.
Peranan Nuruddin dalam
mengintensifkan proses Islamisasi juga jelas dalam bidang politik. Selama
mengemban tanggung jawab sebagai Syekh al-Islam kesultanan Aceh, diantara
tugas-tugasnya dalam memberi nasihat kepada Sultan Iskandar Tsani dalam
berbagai masalah, baik yang bersifat religius maupun poltik.
Dalam
karyanya Bustanus Salatin, dia mengungkapkan bagaimana
menasihati Sultan dalam fungsinya sebagai penguasa serta tanggung jawab dan
kewajibannya kepada rakyat untuk melindungi yang lemah dan mendatangkan
kebaikan bagi rakyat, yang akan membuatnya dilindungi dan di rahmati Tuhan.
Barangkali karena nasihat-nasihatnya, Sultan Iskandar Tsani menghapuskan hukuman-hukuman
yang tidak islami bagi para penjahat, seperti mencelup minyak, dan menjilat
besi. Sultan juga melarang rakyatnya membahas masalah-masalah seperti wujud dan
dzat Tuhan.
Menurut
Nuruddin peranan syariat tidak dapat ditingkatkan tanpa pengetahuan lebih
mendalam mengenai hadis Nabi, karena itu dia mengumpulkan hadis dalam karyanya Hidayah al-Habib fi al-Targhih wa al- Tartib. Sejumlah
hadis diterjemahkannya dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu agar kaum muslim
mampu mamahaminya secara benar. Dalam risalah ringkas itu dia
menginterpolarisasikan hadis-hadis dengan ayat Al-Qur’an untuk mendukung
argumen-argumen yang melekat pada hadits-hadits tersebut. Karyanya ini
merupakan rintisan dalam bidang hadis di nusantara dan menunjukkan pentingnya
hadis dalam kehidupan kaum muslimin.
Di samping menjelaskan perbedaan
antara tasawuf yang menyimpang dan tasawuf ortodok serta menekankan pentingnya
syariat, Nuruddin pun mengambil alih tugas lain yang juga berat, yaitu membuat
kaum muslimin memahami secara benar pokok-pokok keyakinan akidah.
Nuruddin
tidak hanya memainkan peranan penting dalam menjelaskan kepada kaum muslimin
Melayu Indonesia dasar-dasar pokok keimanan dan ibadah Islam, tetapi juga
mengungkap kebenaran Islam dalam suatu prespektif perbandingan dengan
agama-agama lain. Dialah alim ulama pertama di wilayah Melayu yang menulis
sebuah karya mengenai perbandingan agama yang dinamai Tibyan fi Ma’rifat al-Adyan serta bagian tertentu
yang menyinggung subyek yang sama dalam karya-karyanya yang lain.
Pengaruhnya
dalam bidang sejarah tidak kalah besarnya. Dialah penulis pertama di Tanah
Melayu yang menyajikan sejarah dalam konteks universal dan memprakarsai bentuk
baru penulisan sejarah Melayu. buku sejarahnya yang berjudul Bustan al-Salatin merupakan karya terbesarnya yang
mencerminkan minat khusus pengarangnya terhadap sejarah.
Karya
ini, terdiri atas tujuh buku, menunjukkan bagaimana dia berhasil memanfaatkan
beberapa tradisi Historiografi Islam dan memperkenalkan kepada khalayak Melayu.
Dua buku pertama, merupakan sejarah dunia dari sudut pandang teologis.
Sementara buku pertama di tulis dengan mengikuti pola karya Al-Thabari,Tarikh al Rasul wa al-Muluk. Di sini pembahasannya
mulai dari sejarah, bangsa Persia, Yunani, dan Arab di masa Pra-Islam, di ikuti
dengan analitis Islam. Buku kedua menjelaskan sejarah para Raja India dan
Melayu Indonesia. Lima buku berikutnya, mengikuti pola karya Al-Ghazali, Nasihat al-Muluk, dan karenanya dimaksudkan
sebagai buku petunjuk bagi keluarga-keluarga kerajaan.
Karyanya ini merupakan salah satu
buku terpenting tentang sejarah awal Melayu Indonesia. Ia merupakan sumber yang
tak tergantikan untuk rekonstruksi sejarah awal Islam di wilayah Melayu
Indonesia. Makna pentingnya semakin jelas mengingat kenyataan bahwa sejarah
Islam diwilayah ini kebanyakan di tulis berdasarkan sumber-sumber barat.
Keahlian Nuruddin menyangkut sejarah Nusantara jelas luar biasa. Dia ahli dalam
diskripsi sejarah Melayu.
Tidak kalah penting peranannya
dalam mendorong lebih jauh perkembangan bahasa Melayu sebagai bahasa utama di
wilayah Melayu Indonesia. Dia bahkan diklaim sebagai pujangga Melayu pertama.
Meskipun bahasa ibu Nuruddin bukanlah Melayu. Penguasaannya atas bahasa ini
tidak diragukan lagi.
Yang juga tidak kalah penting
adalah keikhlasan Nuruddin dalam menyikapi kehidupan. Setelah sultan berganti
dan roda kehidupan berputar, ia keluar dari lingkaran kekuasaan. Paham
Wujudiyah kembali berkibar setelah Sultan yang baru mengangkat Syamsurizal
al-Minangkabau menjadi mufti.
Nuruddin memutuskan pulang ke Ranir
dan mengasuh pesantren di sana. Tapi produktivitasnya dalam menulis buku tidak
pernah surut. http://www.sufiz.com/jejak-sufi/nuruddin-ar-raniri-sufi-produktif.html
Nuruddin
ar-Raniri, Tokoh Pembaru Islam di Aceh
Hujjatul Islam Ar-Raniri berupaya menghubungkan
satu mata rantai tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam
nusantara.Nuruddin Ar-Raniri adalah seorang ulama besar, penulis, ahli fikih,
dan mufti yang sangat berpengaruh pada abad ke-16 Masehi. Ia telah memberikan
kontribusi yang amat berharga dalam pengembangan pemikiran Islam di wilayah
Asia Tenggara, khususnya di kota Serambi Mekah, Aceh.
Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Ali
bin Hasanji bin Muhammad bin Hamid ar-Raniri al-Quraisyi asy-Syafii.Ar-Raniri
dilahirkan di Ranir (sekarang Rander), sebuah kota pelabuhan tua di Pantai
Gujarat, India. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Namun,
beberapa sumber menyebutkan, ia lahir sekitar pertengahan kedua abad ke-16 M.
Ibunya seorang keturunan Melayu, sedangkan ayahnya berasal dari keluarga
imigran Hadramaut.
Pendidikan awal dalam bidang keagamaan diperoleh
di tempat kelahirannya. Saat di Ranir, ia telah menguasai berbagai ilmu agama.
Guru yang paling berpengaruh dalam diri ar-Raniri adalah Abu Nafs Sayyid Imam
bin Abdullah bin Syaiban, seorang guru Tarekat Rifaiyah. Kemudian, ia
melanjutkan pendidikan ke Tarim, Hadramaut, wilayah Arab bagian selatan, yang
merupakan pusat studi agama Islam pada masa itu.
Setelah menamatkan pendidikan di Tarim, ar-Raniri
memutuskan kembali ke Ranir. Di tanah kelahirannya, ar-Raniri mengajarkan
ilmu-ilmu yang telah diperolehnya selama di Tarim, termasuk juga ajaran Tarekat
Rifaiyah yang dibawa oleh Syekh Ahmad Rifai. Sebelum kembali ke India,
pada tahun 1621 M.
Ar-Raniri sempat mengunjungi Makkah dan Madinah
untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Di Tanah
Suci inilah, beliau menjalin hubungan dengan para jamaah haji dan orang-orang
yang sudah menetap dan belajar di Arab, yang kebetulan berasal dari wilayah
nusantara. Jalinan hubungan inilah yang menjadi awal mula bagi perjalanan
intelektual Islam ar-Raniri di kemudian hari.Paham wujudiyah Meski hanya
bermukim dalam waktu relatif singkat, peranan ar-Raniri dalam perkembangan
Islam di nusantara tidak dapat diabaikan.
Dia berperan membawa tradisi besar Islam sembari
mengeliminasi masuknya tradisi lokal ke dalam tradisi yang dibawanya tersebut.
Tanpa mengabaikan peran ulama lain yang lebih dulu menyebarkan Islam di wilayah
ini, ar-Raniri berupaya menghubungkan satu mata rantai tradisi Islam di Timur
Tengah dengan tradisi Islam nusantara. http://republika.co.id:8080/koran/0/109522/Nuruddin_ar_Raniri_Tokoh_Pembaru_Islam_di_Aceh
Nuruddin al-Raniri
Nuruddin
Al-Raniri (lengkap: Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji
ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi) adalah ulama penasehat Kesultanan Aceh pada masa
kepemimpinanSultan Iskandar Tsani (Iskandar II).
Syaikh
Nuruddin diperkirakan lahir sekitar akhir abad ke-16 di kota Ranir, India, dan wafat pada 21 September 1658.
Pada tahun 1637,
ia datang ke Aceh,
dan kemudian menjadi penasehat kesultanan di sana hingga tahun 1644.
Pengetahuan
yang dikuasai
Ar Raniri
memiliki pengetahuan luas yang meliputi tasawuf, kalam, fikih, hadis, sejarah,
dan perbandingan agama. Selama masa hidupnya, ia menulis kurang-lebih 29 kitab,
yang paling terkenal adalah "Bustanus al-Salatin". Namanya kini
diabadikan sebagai nama perguruan tinggi agama (IAIN) di Banda Aceh.
Guru
Beliau
di katakan telah berguru dengan Sayyid Umar Abu Hafs b Abdullah
Basyeiban yang yang di India lebih dikenal dengan Sayyid Umar Al-Idrus kerna
adalah khalifah Tariqah Al-Idrus BaAlawi di India.
Ar-Raniri
juga telah menerima Tariqah Rifaiyyah dan Qodariyyah dari guru beliau.
Putera
Abu Hafs iaitu Sayyid Abdul Rahman Tajudin yang datang dari Balqeum, Karnataka,
India pula telah bernikah setelah berhijrah ke Jawa dengan Syarifah Khadijah,
puteri Sultan Cirebon dari keturunan Sunan Gunung Jati.
Peranan di Aceh
Ar-Raniri
berperan penting saat berhasil memimpin ulama Aceh menghancurkan ajaran tasawuf
falsafinya Hamzah al-Fansuri yang
dikhawatirkan dapat merusak akidah umat Islam awam terutama yang baru
memeluknya. Tasawuf falsafi berasal dari ajaran Al-Hallaj, Ibn 'Arabi,
dan Suhrawardi,
yang khas dengan doktrin Wihdatul Wujud (Menyatunya Kewujudan) di mana sewaktu
dalam keadaansukr ('mabuk' dalam
kecintaan kepada Allah Ta'ala) dan fana' fillah ('hilang'
bersama Allah), seseorang wali itu mungkin mengeluarkan kata-kata yang
lahiriahnya sesat atau menyimpang dari syariat Islam.
Maka
oleh mereka yang tidak mengerti hakikat ucapan-ucapan tersebut, dapat
membahayakan akidah dan menimbulkan fitnah pada masyarakat Islam. Karena
individu-individu tersebut syuhud('menyaksikan')
hanya Allah sedang semua ciptaan termasuk dirinya sendiri tidak wujud dan
kelihatan. Maka dikatakan wahdatul wujud karena yang wajib wujudnya itu
hanyalah Allah Ta'ala sedang para makhluk tidak berkewajiban untuk wujud tanpa
kehendak Allah. Sama seperti bayang-bayang pada pewayangan kulit.
Konstruksi
wahdatul wujud ini jauh berbeda malah dapat dikatakan berlawanan dengan faham
'manunggaling kawula lan Gusti'. Karena pada konsep 'manunggaling kawula lan
Gusti', dapat diibaratkan umpama bercampurnya kopi dengan susu-- maka substansi
dua-duanya sesudah menyatu adalah berbeda dari sebelumnya. Sedangkan pada faham
wahdatul wujud, dapat di umpamakan seperti satu tetesan air murni pada ujung
jari yang dicelupkan ke dalam lautan air murni. Sewaktu itu, tidak dapat
dibedakan air pada ujung jari dari air lautan. Karena semuanya 'kembali' kepada
Allah.
Maka
pluralisme (menyamakan semua agama) menjadi lanjutan terhadap gagasan begini
dimana yang penting dan utama adalah Pencipta, dan semua ciptaan adalah sama--
hadir di alam mayapada hanya karena kehendak Allah Ta'ala.
Maka
faham ini, tanpa dibarengi dengan pemahaman dan kepercayaan syariat, dapat
membelokkan akidah. Pada zaman dahulu, para waliullah di negara-negara Islam
Timur Tengah sering, apabila di dalam keadaan begini, dianjurkan untuk tidak
tampil di khalayak ramai.
Tasawuf
falsafi diperkenalkan di Nusantara oleh Fansuri dan Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar kemudian dieksekusi mati oleh
dewan wali (Wali Songo). Ini adalah hukuman yang disepakati bagi
pelanggaran syariat, manakala hakikatnya hanya Allah yang dapat maha
mengetahui.
Al-Hallaj
setelah dipancung lehernya, badannya masih dapat bergerak, dan lidahnya masih
dapat berzikir. Darahnya pula mengalir mengeja asma Allah-- ini semua karamah
untuk mempertahankan namanya.
Di
Jawa, tasawuf falsafi bersinkretisme dengan aliran kebatinan dalam ajaran Hindu
dan Budha sehingga menghasilkan ajaran kejawen.
Ronggowarsito (Bapak
Kebatinan Indonesia) dianggap sebagai penerus Siti Jenar. Karya-karyanya,
seperti Suluk Jiwa, Serat Pamoring Kawula Gusti, Suluk Lukma Lelana, dan Serat
Hidayat Jati, sering diaku-aku Ronggowarsito berdasarkan kitab dan sunnah.
Namun banyak terdapat kesalahan tafsir dan transformasi pemikiran dalam
karya-karyanya itu. Ronggowarsito hanya mengandalkan terjemahan buku-buku
tasawuf dari bahasa Jawa dan tidak melakukan perbandingan dengan naskah asli
bahasa Arab. Tanpa referensi kepada kitab-kitab Arab yang ditulis oleh ulama
ahli syariat dan hakikat yang mu'tabar seperti Syeikh Abdul Qadir Jailani dan
Ibn 'Arabi, maka ini adalah sangat berbahaya.
Ar-Raniri
dikatakan pulang kembali ke India setelah beliau dikalahkan oleh dua orang
murid Hamzah Fansuri pada suatu perdebatan umum. Ada riwayat mengatakan beliau
meninggal di India.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar