Dalam mempelajari
Hadits Nabi ada dua hal pokok yang harus diperhatikan, yaitu wurud
dan dalalah. Wurud berkaitan dengan asal usul hadist, yakni
apakah suatu hadits benar-benar berasal dari Nabi saw. atau tidak. Untuk
keperluan ini, ada dua metode kritik, yaitu kritik sanad dan kritik matan. Kritik
sanad adalah penelitian secara cermat asal-usul suatu hadits berdasarkan
para periwayatnya. Sedangkan kritik matan adalah penelitian secara
cermat asal usul suatu hadits berdasarkan teks yang dibawa oleh para periwayat
itu. Tujuan akhir dari kedua penelitian ini adalah menentukan apakah suatu
hadits bisa diterima atau tidak (maqbul atau mardud).
Sedang dalalah berkaitan dengan makna yang ditunjukan oleh
suatu hadits yang telah dinyatakan diterima berdasarkan penelitian terhadap wurud-nya.
Sehingga kajian terhadap dalalah suatu hadits bisa dilakukan bila hadits
yang bersangkutan telah diuji wurud-nya dan telah diketahui hasilnya.
Dalam hal ini muncul dua metode utama dalam memahami hadits, yaitu metode
tekstual dan metode kontekstual. Metode tekstual adalah cara memahami hadits
berdasarkan makna verbal dari teks hadits yang bersangkutan. Sedang metode
kontekstual adalah cara memahami hadits yang juga didasarkan pada konteks yang
melingkupi hadits yang bersangkutan. Tujuan yang hendak dicapai dari studi ini
adalah apakah suatu hadits bisa diamalkan atau tidak ( ma’mul atau ghair
ma’mul) atau bagaimana mengamalkannya. Jika antara studi dalalh ini sepintas
sama dengan studi kritik matan, maka tujuan masing-masinglah yang membedakan
antara keduanya.
Mengenai kritik hadits, sebagian penulis seperti M. Suhudi Ismail,
terkadang menggunakan istilah penelitian hadits. Mungin karena istilah kedua
ini lebih menghidari orang dari kesalahpahaman.karena studi kritik yang
dimaksud tidak lain adalah penelitian secara cermat terhadap validitas dan
otentisitas suatu hadist. Yakni apakah suatu hadits benar-benar bersumber dari
Nabi saw. atau tdak. Jadi bukan kajian untuk menemukan cacat atau aib, yang
dalam kosa kata Bahasa Indonesia menjadi salah satu makna kritik.
Istilah lain yang sering digunakan adalah krtik ekstern ( al
naqd al Khariji) dan kritik intern ( Al naqd al Dakhili), yang
masing-masing digunakan untuk menyebut kritik sanad dan kritik matan. Mulanya
kedua istlah ini merupakan istilah dalam penelitian sejarah. Tetapi karena
antara penelitian hadits dan penelitian sejarah memiliki sejumlah besar
kesamaan, maka penggunaan istilah itupun tidak bisa dihindari. Bahkan Fazlur Rahman
mengindentikan ilmu hadits dengan ilmu sejarah dalam Islam. Ini terbukti dari
sebuah bukunya yang berjudul Islamic Methodology in History yang
ternyata isinya adalah penelitian hadits.
Dikalangan penulis ilmu hadits di Indonesia, barangkali yang pertama
kali mempopulerkan istilah kritik ekstern untuk kritik sanad dan kritik intern
untuk kritik matan adalah M. Suhudi Ismal. Dalam disertasinya yang berjudul Kaedah
Kesahehan Sanad Hadits : Telah Kritis dan tinjauan dengan pendekatan Ilmu
Sejarah, ia membandingkan antara kritik sanad dengan kritik ekstern
dalam Ilmu Sejarah. Ia samapai pada kesimpulan bahwa kadah esaian sanad hadits
sejalan dengan kaidah kritik ekstern dalam ilmu sejarah, karena keduanya
sama-sama bertujuan untuk mencari berita atau fakta yang shahih.
Kritik sanad dan kritik matan ibarat dua sisi mata uang, sehingga
tidak bisa dipisahkan, meskipun bisa dibedakan. Sebab sesuatu disebut hadits
jika terdiri dari sanad dan matan. Namun dalam prakteknya ulama hadits terkesan
lebih menekankan kritik sanad. Salah satu buktinya adalah bahwa istilah-istilah
teknis yang lahir hampir semuanya berkaitan dengan kritik sanad. Bahkan untuk
istilah-istilah yang seharusnya berkaitan dengan kritik matan, dalam prakteknya
lebih diorientasikan pada kritik sanad.
Hal ini sempat menimbulkan pro dan kontra dikalangan pemerhati
studi hadits. Disatu pihak, sejumlah pemerhati hadits menilai bahwa memang
benar ulama hadits lebih banyak hanya menekankan kritik sanad. Penilaian ini
misalnya dikemukakan oleh Ibnu Khaldun dan Ahmad Amin. Dipihak lain ada
pemerhati yang menilai bahwa ulama hadits tidak hanya menekankan kritik sanad,
tetapi juga kritik matan secara seimbang. Penilaian ini, tepatnya pembelaan ini
misalnya dikemukakan oleh Mustafa Al siba’I, Abu Syuhbah dan Nuruddien al
‘itr. Terlepas dari pro dan kontra itu, salah satu kenyataan yang tak bisa
dipungkiri adalah bahwa karya mengenai studi kritik matan memang sangat
sedikitr bila dibandingkan dengan karya mengenai studi kritik sanad. Dan hal
ini tentu saja menjadi factor tambahan bagi sulitnya mempraktikkan studi kritik
matan.
Dalam sejarah ulumu Hadits, metode kritik matan pertama kali
ditulis dalam karya tersendiri oleh Ibn al Qayyim (w. 751 h/ 1350 M) dalam
bukunya Al Mannar al Munif. Jadi setelah sekitar empat ratus tahun penulsan ulumul hadits
berjalan. Karena yang pertama kali menulis ulumul hadits adalah al Ramahurmuzi
(w.360 H) dengan karyanya yang berjudul Al Muhaddis al Fashil Baina Al
Rawi wa Al Wa’i. kitab al illal karya Ibn Al
Madini (salah seorang guru Imam Bukhari) yang sepintas memungkinkan pembahsan
kritik matan secara luas, ternyata fokusnya justru pada kritik sanad. Setelah
itu disusul oleh Al Zarkasyi dengan karyanya Al Ijabah Fi Ma Istadrakathu
al Sayyidah ‘Aisyah Ala Sahabah yang lebih bersikap praktis. Namun
kedua karya itu masih sangat terbatas isinya bila dikaitkan dengan kebutuhan
praktik studi kritik matan. Baru kemudian disusul oleh al Adlabi dengan
karyanya Manhaj Naqd Al Matn Ind Ulama Al Hadits Al Nabawi. (1403
H/1983 M). buku ini disebut sebagai karya penelitian pertama yang relative
lengkap tentang metode kritik matan. Buku Manhaj al Naqd Fi Ulum Al
hadits (Metode Kritik di dalam Ilmu Hadits) karya Nuruddin al ‘Itr yang
lebih dulu muncul ternyata lebih focus pada kritik sanad.
Besarnya penaruh karya al Adlabi ini antara lain bisa dilihat dari
munculnya karya-karya dengan topic yang sama dikemudian hari. Misalnya karya DR.
Musfir Azmullah al Damini yang berjudul Maqayis Naqd Mutun al
Sunnah (Kriteria Kritik Matan Sunnah) (1404 H/1984 M). dan karya DR.
Muhammad Thahir al Jawabi yang berjudul Juhu al Muhaddisun Fi Naqd Matn al
hadits al nabawi al Syarif (Upaya Ulama Hadits dalam mengkritik matan hadits) (
1406 H/1986 M). Bahkan ada kemungkinan disertasi M. Suhudi Ismal juga terinsiprasi
oleh Karya al Adlabi itu. Sebab sebelum M. Suhudi Ismail
membandingkan antara kritik sanad dalam penelitian hadits dan kritik ekstern
dalam penelitian sejarah, al Adlabi sudah lebih dulu menyimpulkan
bahwa kritik matan yang menjadi obyek bahasannya itu sepadan dengan kritik
intern menurut para sejarawan.
Dan setelah itu muncul karya-karya tentang dalalah hadits
yang bertumpu pada kritik matan. Misalnya karya Syeikh Muhammad al Ghazali yang
berjudul al Sunnah Al Nabawiyah Baina ahl al Fiqh wa Ahl al Hadits
yang sempat menghebohkan itu. Karena dengan bertumpu pada kritik matan,
ternyata banyak sekali hadits yang dari segi sanadnya dinilai shahih, tetapi
dilihat dari segi matannya, ternyata tidak sejalan dengan prinsip-prinsip dasar
Islam. Akibatnya banyak sekali pemahaman-pemahaman yang telah mapan harus
runtuh berdasarkan kajian dengan dasar kritik matan itu.
Inilah yag kemudian memunculkan dua kelompok ekstrim. Pertama yang
cenderung sanad oriented dan matan oriented. Namun sikap yang
paling adil adalah bersikap seimbang antara dua kubu ekstrim itu sehingga dalam
melakukan kajian hadits mampu menempatkannya
secara proporsional sesuai dengan posisi hadis sebagai sumber kedua
hukum Islam.( disunting setelah membaca buku Metodologi Kritik Matan Hadis karya
DR. Salahudin Ibn Ahmad al Adlabi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar