Dr Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi dalam bukunya “As-Salafiyah Marhalatun Zamaniyyatun Mubarokah Laa Mazhabun Islaamiyun” menulis di halaman 236 dengan judul : “Bermadzhab salafi adalah bid’ah”.
Jawaban : Perkataan ini mengherankan dan mengagetkan
sekali, bagaimana mungkin bermadzhab salafi itu bid’ah dan sesat? Bagaimana
mungkin dinyatakan bid’ah padahal ia mengikuti madzhab salaf, sementara
mengikuti madzhab mereka adalah wajib sebagaimana dijelaskan Al-Kitab dan
As-Sunnah dan ia juga haq dan huda ?
Allah berfirman.
“Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi
yang pertama-tama (masuk Islam) di antara Muhajirin dan Anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik Allah ridha kepada mereka dan mereka pun
ridha kepada Allah” [At-Taubah : 100]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Hendaklah kalian berpegang dengan
sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin”
Dengan demikian bermadzhab salaf itu tidak
bid’ah tapi sunnah, dan justru bermadzhab dengan selain salaf adalah bid’ah.
Jika yang dimaksud penulis adalah penamaan
dengan nama ini adalah baru sebagaimana terlihat dari perkataannya dan
sebelumnya istilah ini tidak popular maka ia adalah bid’ah (atas dasar ini),
maka permasalahan nama itu tidak sulit dan kesalahan dalam hal penamaan itu
tidaklah sampai pada derajat bid’ah, sekalipun yang dimaksud adalah ada pada
sebagian orang-orang yang menamakan dengan nama ini, telah melahirkan
kesalahan-kesalahan yang menentang madzhab salaf. Seharusnya penulis
menjelaskan hal ini (kesalahannya), tanpa membawa (madzhab) salafiyah, dan penamaan
salafiyah. Jika yang dimaksud penulis adalah berpegang teguh dengan madzhab
salaf, menolak bid’ah dan khurafat maka ini terpuji dan sangat baik.
Sebagaimana penulis menyatakan di halaman 233 ketika ia berkata tentang gerakan
Jamalauddin Al-Afghani dan Muhamamd Abduh dan dinamakan dengan gerakan
Salafiyah ; dan syiar yang diusung pemimpin gerakan reformasi ini adalah
As-Salafiyah. Ia adalah dakwah (ajakan) menolak semua kesalahan-kesalahan ini
yang telah mengotori kesucian Islam.
Inilah yang dikatakan penulis tentang gerakan
itu dan penamannya dengan salafiyah, namun ia tidak mempermasalahkan nama
karena tujuannya bagus. Sekarang kita bertanya pada penulis : “Apakah salafiyah
hari ini tidak demikian ?
MEMBOLEHKAN MENYALAHI SALAF DALAM SIFAT-SIFAT
ATAS HAKIKATNYA
Di halaman 138, Dr Muhammad Said Ramadhan
Al-Buthi membolehkan untuk menyalahi salaf dalam menetapkan sifat-sifat atas
hakikatNya, kemudian ia berkata : “Bahkan sekiranya ada seseorang dari salaf
tidak membolehkan bagi dirinya, kecuali menetapkan hal itu sebagaimana Allah
telah tetapkan dan menyerahkan ilmu dan perincian mengenai maksud dibelakang
makna itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka pendapat seperti itu bukanlah
hujjah atas haramnya menyalahi mereka dalam mensikapi sifat-sifat dan hakikatNya
dengan pengharaman secara mutlak”.
Jawaban.
Subhanallah mudah-mudahan kita tidak lancang
terhadap orang-orang salaf. Bukankah menyalahi mereka yang terdiri dari
Muhajirin dan Anshar serta Khulafaur Rasyidin dan para sahabat yang lainnya
Radhiyallahu ‘anhum sebagai fase yang paling utama ? Dan bukankah menyalahi
mereka dalam masalah akidah itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah
kesesatan sebagaimana sabdanya.
“Artinya : Hendaklah kalian berpegang dengan
sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk, berpeganglah
dengan itu dan gigitlah dengan taringmu, hati-hatilah dengan masalah-masalah
yang baru karena setiap yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah
sesat”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi
yang pertama-tama (masuk Islam) di antara Muhajarin dan Anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun
ridha kepada Allah” [At-Taubah : 100]
Allah Subhanahu wa Ta’ala rida bagi orang yang
datang setelah mereka dalam mengikuti Muhajirin dan Anshar dengan kata “ihsan”
(baik), dan penulis (Dr Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi) berkata “Tidaklah
haram untuk menyalahi mereka (salaf) dalam hal sifat-sifat Allah Azza wa Jalla”
Hanya saja bukankah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghabarkan, bahwa fase
mereka sebagai sebaik-baik fase ? Ini artinya bahwa Rasul Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menganjurkan untuk selalu mengikuti mereka dan melarang menyalahinya
terutama dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama). Oleh karena itu
pantaskah kita menyelisihi mereka dalam usrusan akidah ? Bukankah masalah
akidah itu taufiqiyyah yang tidak ada tempat untuk berijtihad dan berikhtilaf?
TENTANG SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB
Di halaman 236 dan 237, Dr Muhammad Said
Ramadhan Al-Buthi menyatakan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
–yarhamuhullah- sebagai madzhab wahabi dan berkata : “Sesungguhnya kelompok
Wahabiyah menolak untuk dinyatakan dengan sebutan ini, karena sebutan ini
mengisyaratkan, bahwa sumber madzhab ini dengan segala kelebihan dan
kekhususannya bermuara pada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, maka hal ini
memaksa mereka untuk mengganti sebutan Wahabiyah dengan sebutan Salafiyah …”
dan seterusnya.
Jawaban
Kita jawab ; “Sesungguhnya Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab tidak memiliki madzhab tertentu sehingga disebut Wahhabiyah,
karena dalam manhaj aqidahnya adalah merujuk kepada Salaf. Sedangkan dalam
masalah furu merujuk kepada madzhab Imam Ahmad bin Hambal yang dijadikan
pegangan oleh ulama Nejed sebelumnya dan pada masa hidupnya serta setelah
wafatnya Syaikh. Sementara pengikutnya menyeru kepada madzhab Salaf dan
berjalan di atas manhajnya, dan saya meminta keterangan, bahwa Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab hadir membawa madzhab baru yang dinisbatkan kepadanya, dan
jika penulis tidak membawakannya –dan tidak akan mendapatkannya- maka ia telah
berdusta atas nama Syaikh dan pengikutnya dan Allah akan membalas kepada semua
pendusta.
[Disalin dari buku Salafi Digugat Salafi
Menjawab, DR Shalih bin Fauzan Al-Fauzan dan Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani, Penerjemah M. Tasdiq, Lc, Rudy Hartono Lc, Penerbit Pustaka
As-Sunnah] http://almanhaj.or.id/content/1940/slash/0
2 komentar:
Dalam diskusi yang sehat, fokus haruslah pada "isi" atau "kandungan". Tidak terjebak kepada retorika,kulit, ataupun istilah yang menggiring kepada konotasi tertentu. Hanya karena seseorang menamakan dirinya salafi tidak berarti dia seperti itu. Ini adalah klaim dan harus diuji "isi"nya. Judul memang mampu mengelabui. Nampaknya banyak dari pengikut salafi terjebak dalam klaim bahasa sehingga membuat mereka tidak mampu berfikir jernih untuk merenungkan hakikat dari ajaran aliran tersebut. Kata "salafi", "manhaj", "tidak bermazhab", "mazhab salaf", Semua istilah ini sering tidak terverifikasi.
“Kembali kepada Qur'an” adalah prinsip yang indah nan ideal. Kembali kepada Qur’an secara sederhana dapat dimaknai sebagai kembali kepada “hukum Tuhan”. Dan, umat manakah yang tidak ingin berpegang pada Kitab Sucinya, kepada hukum Tuhannya?
Sayangnya, banyak kaum muslim yang tidak mengerti batas-batas prinsip ideal ini. Lebih tragis lagi, sebagian kalangan justru menyelewengkan slogan “Kembali kepada Qur’an” untuk mengeroposkan legitimasi umat terhadap para ulama. Dengan “Kembali kepada Qur’an” mereka mengajak orang-orang awam melepaskan diri dari madzhab, untuk dengan “nekat” menggali hukum-hukum sendiri. Dengan slogan menggiurkan itu, mereka mencaci orang yang taklid sebagai “tidak mengikuti salafu shalih”, sebagai “ahli bid’ah”, bahkan sebagai “tidak berada di jalan orang-orang beriman”.
Buku ini berhasil membongkar kerancuan argumen para penganjur anti-madzhab yang dipelopori kalangan Wahabi itu. Bahwa fenomena taklid yang mereka caci adalah sesuatu yang natural, yang sudah muncul sejak generasi pertama umat ini. Bahwa bermadzhab adalah dibolehkan, bahkan merupakan sebuah keniscayaan. Dan bahwa “kembali kepada Qur'an” yang mereka gemborkan tidak lain hanyalah propaganda yang di baliknya tersembunyi maksud dan tujuan tertentu.
silahkan baca buku:
Menampar Propaganda“Kembali kepada Qur’an” Keruntuhan Argumentasi Paham Anti Madzhab dan Anti Taqlid [Plus! Transkrip Perdebatan dengan Nashiruddin al Albani, Tokoh Wahabi Anti-Madzhab]
Penulis : Dr. M. Sa’id Ramadhan al-Buthi
ISBN : 979-98452-1-1
ISBN 13 : 978-979-98452-1-4
Jmlh. Halaman : 220 hlm.
Kertas/Ukuran : HVS/ 14,5 x 21 cm
Cetakan : I, 2013
Kategori : Islam Kontemporer/Kontroversi
Penerbit : Pustaka Pesantren
Posting Komentar