Rabu, 29 Februari 2012

Profesor Kitab Kuning Makna Bahasa Jawa

Sempat tahu ada bedah buku dengan Judul " Risalah Shalat Jama'ah" karya KH. Ahmd Yasin , kemudian ketika ketemu dengan teman-teman sempat ngobrol dan cerita tentang kitab-kitab terbitan Petuk, Ketika di Pesantren dulu memang sudah sering memakai kitab-kitab terbitan petuk seperti Tafsir Surat Al Mu'awidztain DLL, dan siapa sebenarnya yang memprakarsai penerbitan di sana, bagaimana kreatifinya beliau?, ternyata Itulah KH Ahmad Yasin Asymuni pengasuh pondok di kaki Gunung Wilis yang sejak didirikan pada 1993, Berkat upayanya memaknai kitab kuning, pada 2004 Yasin didatangi para orientalis dari Chicago, Amerika. Mereka menganugerahinya gelar profesor. Dia mengaku tak tahu apakah gelar itu bisa diterima masyarakat ilmiah. "Gelar itu ndak penting. Yang harus dihargai kedatangan mereka yang jauh-jauh ingin belajar kitab Petuk."

Catatan Pinggir Kiai Petuk


MENGENDAP-ENDAP Nabil Haroen masuk ke bilik santri putra. Malam itu, santri senior di Pesantren Lirboyo, Kediri, ini sedang menjalankan misi khusus: mensterilkan pondok dari "kitab kuning terjemahan".
Di sebuah bilik, ia memeriksa lembaran kertas yang sedang dibaca seorang adik kelasnya. Sebentar kemudian ia menghardik: "Mbah Idris melarang kalian baca kitab ini. Bikin malas." Idris yang disebut Nabil adalah Kiai Haji Idris Marzuki, sesepuh Lirboyo, tempat sekitar 10 ribu santri berguru. Si adik tertunduk, diam, siap dihukum.
Tak ada yang salah pada lembaran "terlarang" tersebut. Itu cuma fotokopi kitab kuning. Tapi Lirboyo melarang peredarannya karena coretan-coretan yang ada di pinggir naskah utamanya. Inilah terjemahan dari naskah utama di kitab kuning itu.
Kitab kuning-dinamakan demikian karena dicetak di kertas berwarna kekuningan-telah beratus-ratus tahun menjadi buku wajib di pondok pesantren seperti Lirboyo. Kebanyakan kitab ini berasal dari masa silam sehingga disebut juga kitab salaf. Artinya: klasik atau kuno.
Berisi soal tauhid, hadis, tafsir, fikih, tasawuf, hingga kedokteran "Syamsul Ma'arif", kitab kuning ditulis dengan huruf Arab gundul-huruf tanpa harakat alias penanda huruf vokal. Naskahnya ada yang bergaya sastrawi, ada yang mengandung kutipan berbahasa Ibrani. Itu membikin santri "meriang", karena kitab ini jadi susah dimaknai. Alhasil, banyak santri mengambil jalan pintas: memfotokopi kitab yang di pinggir naskahnya sudah diberi makna. "Toh, ustad mengajar pakai kitab bermakna juga," seorang santri berkilah.
Nah, bermaksud membantu santri dalam memahami kitab kuning, Pondok Pesantren Hidayatut Thullab di Dusun Petuk, Kediri, Jawa Timur, menerbitkan kitab kuning yang sudah diberi makna. Kitab ini populer dengan sebutan "Kitab Bima'na Petuk". "Pemakainya pondok salaf di seluruh Indonesia," kata KH Ahmad Yasin Asymuni, pengasuh pondok di kaki Gunung Wilis yang sejak didirikan pada 1993 mengkhususkan aktivitasnya pada pemaknaan kitab kuning itu.
Yasin memimpin sendiri pemaknaan kitab kuning itu. Salah seorang santri yang tulisannya bagus bertugas mencatat semua uraiannya di samping naskah utama. Catatan pinggir itu kemudian diselaraskan lagi dengan isi kitab. Maklum, Yasin takut salah memaknai. "Jika salah makna, salah seumur hidup," ujarnya.
Dengan cara itulah makna yang benar dari kitab kuning dipelihara. "Secara ilmiah, kitab Petuk bisa dipertanggungjawabkan," ujar Direktur Pesantren Institut Agama Islam Negeri Surabaya Dr Abdul Kadir. "Tapi diskusi harus diperbanyak agar pemaknaannya terus berkembang," katanya.
Abdul Kadir menilai kehadiran kitab Petuk sangat membantu dalam mempelajari kitab kuning. "Banyak kiai yang pemahaman bahasa Arabnya terbatas," ujarnya. "Kitab ini juga terkenal sulit dipahami santri."
Menurut Yasin, dengan Kitab Bima'na Petuk, kitab kuning lebih gampang dimengerti. Waktu belajar santri juga jadi lebih efektif. Selama ini, target kurikulum pesantren sering tak tercapai gara-gara waktu santri habis untuk belajar membaca kitab kuning. Alhasil, santri lulus tanpa sempat mendalami isi kitabnya. "Dengan kitab bermakna, ustad bisa membahas isinya bersama para santri tanpa direpotkan proses pemaknaannya," ujarnya.
Yasin tahu persis kerepotan belajar membaca kitab-kitab ini. Dulu ia menghabiskan waktu yang panjang mondok di Lirboyo demi mempelajarinya. "Bertahun-tahun hanya untuk satu kitab, sehingga tak sempat mereguk ilmu di tempat lain," ujarnya.
Beruntung, tanpa harus berguru ke pondok lain, Pondok Lirboyo memberikan ilmu yang lengkap kepada Yasin. Di antaranya ilmu tata bahasa Arab. Penguasaan ilmu ini-berupa shorrof (ilmu perubahan kata) dan nahwu (ilmu mengetahui hukum akhir suatu kata)-merupakan modal penting dalam pemaknaan kitab kuning, selain keluasan wawasan dan penalaran. "Sehingga pemaknaan kitab ini sebenarnya lebih bersifat memberikan arti ketimbang menerjemahkan," ujarnya.
Di pondoknya, Yasin kemudian mengembangkan metode khusus untuk mempelajari shorrof-nahwu yang didapatnya dari Lirboyo. Hasilnya, sementara lazimnya perlu lima tahun untuk belajar tata bahasa ini, di Petuk cukup tiga tahun. "Setahun belajar shorrof, dua tahun nahwu. Bahasa Jawa cukup dua bulan," ujarnya. Bahasa Jawa?
Makna isi kitab kuning Petuk memang ditulis dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab. Ini tentu merepotkan pondok di-misalnya-Kalimantan, karena kiai di pondok itu menerjemahkan Kitab Bima'na Petuk ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerahnya. Tapi, kata Yasin, "Saya memakai bahasa Jawa karena kosakatanya lebih banyak menampung pengertian bahasa Arab dibanding bahasa Indonesia."
Inilah contohnya. Bismillah hirrohman nirrohim dalam bahasa Indonesia artinya "Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang." Dalam bahasa Jawa bergaya kitab kuning, artinya menjadi "Bismillahi (kelawan nyebut asmane Allah) arrohmani (kang paring welas asih eng dalem donyo lan akherot) arrohimi (kang pareng welas aseh eng dalem akherot bloko)". "Pemaknaan ke dalam bahasa Jawa jauh lebih terperinci dan gamblang," kata Yasin.
Berkat upayanya memaknai kitab kuning, pada 2004 Yasin didatangi para orientalis dari Chicago, Amerika. Mereka menganugerahinya gelar profesor. Dia mengaku tak tahu apakah gelar itu bisa diterima masyarakat ilmiah. "Gelar itu ndak penting. Yang harus dihargai kedatangan mereka yang jauh-jauh ingin belajar kitab Petuk."
Sejak pemaknaan kitab kuning dimulai pada pertengahan 1990-an, Yasin dan santri Pondok Petuk kini telah memaknai sekitar 200 judul kitab yang ditulis ulama Timur Tengah, Jazirah Arab, dan Indonesia. Tiap tahun rata-rata diproduksi sekitar 10 judul kitab kuning. Tiap judul dicetak rata-rata 25 ribu eksemplar dan dikirim ke pondok pesantren salaf di Jawa, Lampung, Jambi, Riau, Medan, Pontianak, Makassar, Madura, Lombok, hingga Ternate.
Pondok Petuk juga melayani pesanan khusus. "Ada yang datang ke sini membawa kitab untuk diberi catatan di pinggirnya," ujar Yasin.
Harga Kitab Bima'na Petuk bervariasi: dari Rp 2.500 sampai Rp 500 ribu, tergantung jumlah halamannya. Omzet penjualan kitab ini per bulan Rp 15 juta, melonjak jadi Rp 35 juta pada bulan puasa. Di bulan puasa, yang paling laris kitab "Ihya Ulumudin" karya Imam Ghozali. Kitab empat juz (jilid) itu dibanderol Rp 440 ribu. "Hasil penjualan untuk biaya operasional pondok," kata Ruslin Nafiudin, Ketua Koperasi Pondok Petuk.
Sumber dana itu agaknya masih akan terus mengalir ke Pondok Petuk, karena masih banyak kitab kuning yang menunggu diterjemahkan. Maklum, kitab ini tak selalu berasal dari masa ratusan tahun lalu dan tak harus dari Timur Tengah atau Jazirah Arab. "Kitab kuning itu kitab yang kutubul muktabaroh (bisa diterima) pesantren salaf dan tak melanggar ajaran ahli sunnah wal jamaah," kata Yasin.
Kitab baru yang sudah masuk kategori kitab kuning contohnya "Fiqhul Islam" terbitan 1995. Sedangkan kitab klasik tulisan ulama Indonesia di antaranya kitab "Sirojul Tholibbin". Kitab yang memperjelas kitab "Minhajul Abidin" karya Imam Ghozali itu ditulis Syekh Ikhsan dari Pondok Pesantren Jampes, Kediri. "Sirojul Tholibbin" hingga kini menjadi bacaan wajib di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Contoh kitab kuno ulama Indonesia lainnya adalah kitab "Sullamut Taufiq" karya Imam Nawawi dari Banten, yang bertarikh 1358. http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/04/20/AG/mbm.20090420.AG130066.id.html

1 komentar:

M. Abdullah Habib mengatakan...

Saya sebagai warga Nahdliyyin merasa malu melihat banyaknya buku pethuk yang banyak salah dalam susunan bahasanya.

Penulis kitika membuat mukaddimah, dan judul materi bahasan sering menggunakan bahasa yang tidak bisa difahami, masalahnya dia meng arabkan bahasa indonesia.

Sebagai contoh :

Dalam bab salat jamaah tertulis " : الافضل ينطر الخ"
Alangkah baiknya jika kitab pethuk di teliti ulang, biar tidak terkesan kiyahi NU buta bahasa arab.

Syukran