Sarjana Muslim semisal Nasiruddin Al-Albani dan Hasan b. Ali al-Saqqaf secara apologetik ingin membuktikan kesahihan hadis lewat tradisi kritis kesarjanaan Islam. Al-Albani bertumpu pada analisis isnâd untuk menguji autentisistas hadis. Dia bersandar sepenuhnya pada informasi kamus-kamus biografi tentang kualitas para perawi hadis. Naifnya, dia tidak mengkaji secara komprehensif biografi tersebut, tetapi begitu saja mengikuti penilaian dari para penulis biografi. Dia mengemukakan bahwa isnâd hadis yang tidak tsiqah (tepercaya) berarti tidak tsiqah pula hadisnya dan karenanya harus ditolak.
Penafsiran apa pun terhadap matan hadis dan periwayatannya tidak relevan bagi Al-Albani. Mengapa? Karena penafsiran, jika diterapkan, juga bagian dari autentifikasi hadis, sedang Al-Albani hanya bertumpu pada ketsiqahan isnâd, bukan matannya. Caranya, di antaranya, adalah dengan mengecek terminologi isnâd yang digunakan perawi semisal ‘an (diriwayatkan dari …), sami‘a (dia mendengar …), haddatsanâ, akhbaranâ, dan seterusnya.
Terminologi-terminologi inilah yang digunakan Al-Albani dan al-Saqqaf untuk mengukur ketsiqahan hadis. Padahal, terminologi semacam ini tidak harus diartikan sebagai model periwayatan yang menetukan ketsiqahan hadis. Menurut Kamaruddin Amin, terminologi-terminologi tersebut tidak berlaku sebagai kriteria kesahihan hadis bagi para ulama abad pertama hijriah. Artinya, para perawi di abad tersebut tidak secara sengaja dan sadar menggunakan beragam terminologi tersebut sebagai cara menentukan tingkat kesahihan dan tidaknya sebuah hadis.
Isnad cum matn analysis
Problematika Ulumul hadis
Metode yang digunakan oleh para sarjana Muslim klasik untuk menyandarkan sebuah hadis kepada nabi tidak
mendapat tantangan signifikan dari sarjana Muslim moderen. Memang terdapat sejumlah sarjana moderen yang mencoba menunjukkan resistensinya terhadap ulumul hadith, tetapi mereka gagal mendapatkan simpati mayoritas sarjana Muslim.
mendapat tantangan signifikan dari sarjana Muslim moderen. Memang terdapat sejumlah sarjana moderen yang mencoba menunjukkan resistensinya terhadap ulumul hadith, tetapi mereka gagal mendapatkan simpati mayoritas sarjana Muslim.
Informasi tentang nabi yang terekam dalam buku-buku hadis laksana pecahan-pecahan kaca yang harus direkonstruksi supaya dapat memantulkan berita-berita akurat tentang nabi. Meskipun hadis-hadis tersebut telah diseleksi oleh para kolektornya (misalnya al-Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ibn Majah, Abu Daud, Nasai dll). Namun, kenyataan bahwa para kolektor ini hidup pada abad ke tiga hijriah (dua ratus tahun lebih setelah nabi wafat), pertanyaan epistimologis muncul: sejauh mana tingkat akurasi metodologi para kolektor ini dalam menyeleksi hadis-hadisnya? Apakah metodologi mereka sama dengan metodologi yang populer kita kenal dengan ulum al-hadis?
Al-Bukhari yang dikenal sebagai the man of hadis, misalnya, tidak pernah menjelaskan metodologinya secara detail. Ulum al-hadis yang menurut mayoritas sarjana Islam sangat akurat menyimpan sejumlah pertanyaan-pertanyaan epistimilogis yang tidak terjawab secara empiris. Ulum al-hadis diterima dan dianggap sesuatu yang taken for granted.
Kecendrungan sebagian diantara kita adalah menolak atau menerima sebuah hadis tanpa meneliti historisitasnya. Apabila sebuah hadis disebutkan dalam Sahih al-Bukahi atau Muslim, apalagi kalau keduanya menyebutkannya, lebih-lebih lagi kalau disebutkan dalam kutub al-sitta, al-tis’a, maka tidak diragukan lagi hadis tersebut menurut mayoritas sarjana Islam, sahih, sehingga analisis historis terhadapnya tak lagi penting. Benarkah sikap seperti itu? Terdapatnya sebuah hadis dalam sejumlah kitab-kitab hadis bukanlah jaminan akan historisitasnya, karena boleh jadi hadis tersebut diriwayatkan secara massive pada generasi tertentu (paroh kedua abad kedua dan seterusnya sampai ke masamukharrij), tapi pada generasi sebelumnya (paroh pertama abad kedua dan sebelumnya sampai masa nabi) diriwayatkan secara ahad (single strand). Singkatnya, semua hadis yang terekam dalam kitab hadis harus tunduk pada kritik sejarah. Secara umum literatur hadis kita memiliki karakter sebagai berikut: Nabi-----Satu Sahabat------satu Tabiin----satu fulan- satu fulan------sejumlah perawi sampai ke mukharrij (collector)
Terdapat sejumlah inkonsistensi metode kritik hadis. Ada gapyang cukup menganga antara teori dan fakta, antara teori ulumul hadis dengan keadaan objektif literatur hadis. Kalau teori ulumul hadis di aplikasikan secara ketat, bisa jadi kualitas literatur hadis menurun secara sangat signifikan. Contoh sederhana, teori ulumul hadis mengajarkan kepada kita bahwa riwayat seorang mudallis tidak bisa dijadikan hujja apabila ia tidak berterus terang atau ia tidak menyatakan secara tegas sumber informantnya, misalnya dengan mengatakan ’an atau sejenisnya, kecuali kalau riwayat tersebut dikuatkan oleh riwayat perawi lain yang thiqa. Mari kita menguji teori ini secara praktis dalam literatur hadis dengan mengambil contoh kasus Abu Zubayr. Abu Zubayr, seorang Tabiin yang di klaim oleh mayoritas kritikus hadis sebagai mudallis. Dengan berpedoman pada teori tersebut di atas maka semua hadis yang diriwayatkannya secara tidak langsung (misalnya dengan menggunakan kata-kata ’andan sejenisnya) tidak bisa dijadikan hujja (dalil yang kuat), kecuali kalau ada hadis lain yang menguatkannya. Dalam kitab-kitab hadis,kutub al-sitta, misalnya, ditemukan ratusan hadis yang diriwatkan oleh Abu Zubayr, dimana dia tidak menjelaskan cara penerimaannya apakah lansung dari informannya atau tidak. Dalam kutub al-sitta, Abu al-Zubayr meriwayatkan 360 hadis dari Sahabat Jabir b. Abdullah saja, belum termasuk hadis yang diriwayatkan Abu al-Zubayr dari Sahabat lain. Jumlah tersebut akan bertambah lagi apabila diteliti riwayat Abu al-Zubayr dalam kitab kitab hadis yang lain. Dari 360 hadis tersebut, Muslim merekam 194, Abu Dawud 83, Tirmizi 52, Nasai 141 dan Ibn Maja 78 hadis. Sebenarnya, jalur Abu Zubayr – Jabir dalam kutub al-sitta sebanyak 548, tapi beberapa diantaranya hadis hadis yang berulang. Dari 194 hadis riwayat Abu al-Zubayr yang terdapat dalam Sahih Muslim, 125 diantaranya Abu Zubayr menggunakan kata-kata ‘an dan sejenisnya, hanya 69 hadis dimana ia menggunakan kata kata haddathana dan sejenisnya. Menurut teori ulumul hadis, riwayat seperti ini tidak bisa di jadikan hujja. Kalau demikian halnya maka menurut ulumul hadis, kita harus menolak ratusan hadis yang terdapat dalam kitab hadis termasuk dalam sahih Buhari dan Muslim.
Kasus yang sama juga terjadi pada perawi Hasan al-Basri. Oleh mayoritas kritikus hadis, Hasan al-Basri dianggap sebagaimudallis.Meskipun ada juga yang memujinya sebagai faqih dan murua, tapi ia tetap diklaim telah melakukan tadlis. Terlepas dari apa yang disampaikan oleh para kritikus hadis tentang tokoh ini, kemunculannya sebagai perawi hadis yang begitu sering dalam kitab hadis menjadikannya sebagai tokoh yang terlalu penting untuk diabaikan. Dalam kutub al-sitta saja Hasan al-Basri meriwayatkan tidak kurang dari 281 hadis. 43 hadis diantaranya terdapat dalam Sahih Bukari dan Muslim (the most highly appreciated hadith collections). 31 hadis terdapat dalam Sahih al-Bukhari dan 12 terdapat dalam Sahih Muslim.Dari 31 hadis yang terdapat dalam Sahih al-Bukhari, hanya delapan kali Hasan al-Basari mengatakan haddathanadan sejenisnya, yang oleh para kritikus hadis dianggap mendengarnya secara langsung dari informantnya. Dalam 17 hadis, Hasan al-Basri ber ’an’ana, yang oleh para kritikus hadis dianggap tidak menerimanya secara langsung. Selebihnya, hadis Hasan al-Basri dalam Sahih al-Bukhari adalah mursal. Dalam Sahih Muslim hanya dua kali Hasan al-Basri mengatakan haddathana dari 12 hadis yang diriwayatkannya. Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari data data ini? Dengan menerapkan teori ulumul hadis pada kasus Hasan al-Basri, maka 17 hadis dalam al-Bukhari dan delapan hadis dalam Sahih Muslim harus ditolak, atau paling tidak kehujjahannya harus di ”gantung” sampai ada hadis lain yang thiqa yang dapat menguatkannya.
Ulumul hadis juga mengajarkan bahwa dalam transmisi (periwayatan) hadis seorang perawi harus thiqa (reliable). Cara menentukan kethiqahan perawi adalah dengan merujuk kepada buku-buku biografi perawi dan dengan membandingkan riwayatnya dengan riwayat yang lain. Pertanyaannya, sejauhmana keakuratan penilaian penulis buku biografi terhadap seorang perawi, sementara masa hidup mereka sangat berjauhan? Penulusuran terhadap buku biografi mengindikasikan bahwa penilain tersebut sering kurang akurat, sehingga penentuan kualitas perawi yang hanya didasarkan atas buku biografi terkadang kurang meyakinkan. Namun demikian, buku biografi bukan tidak penting untuk dikonsultasi. Penelitian empirispun membuktikan bahwa informasi yang ada dalam buku biografi perawi sangat berharga, meskipun tetap harus didekati secara kritis.
Selanjutnya, metode membandingkan riwayat menurut versi ulumul hadis tidak selamanya diterapkan oleh para kolektor hadis. Hal ini diketahui apabila riwayat para perawi dibandingkan dengan riwayat lain. Kenyataan ini menunjukkan betapa pentingnya mencari metodologi alternatif disamping ulumul hadis dalam menentukan kualitas hadis, karena hemat penulis menyandarkan hadis kepada nabi yang sesungguhnya tidak pernah diucapkan olehnya sama dosanya dengan mendustakan hadis nabi. Sehinga penelitian terhadap historisitas dan otentisitasnya harus selalu dilakukan. Sekali lagi, untuk tujuan tersebut maka pengembangan metodologi menjadi tuntutan yang sangat mendesak.
Isnad cum matn analysis
Benarkah ribuan hadis yang disandarkan kepada Abu Hurayra,Aisya, Abd Allah b. Umar, Anas b. Malik, Abdullah b. Abbas, Jabir b. Abdullah dan sahabat yang lain diriwayatkan oleh para Sahabat tersebut atau hanya disandarkan kepada mereka oleh generasi belakangan yang sesungguhnya hadis itu tidak ada kaitannya dengan Sahabat tersebut. Pertanyaan yang sangat menantang ini diajukan oleh sejumlah sarjana Barat, dimana sarjana Islam seakan alergi menjawabnya, dan pertanyaan ini tidak pernah kita temukan dalam ulumul hadis. Pertanyaan ini perlu dijawab, karena sangat mungkin Sahabat yang dikutip memang tidak bertanggung jawab terhadap hadis yang disandarkan kepadanya. Untuk menjawab pertanyaan ini pendekatan isnad cum matn analysis menemukan urgensinya.
Diantara karakteristik pendekatan isnad cum matn analysis adalah kualitas seorang perawi tidak hanya didasarkan pada komentar ulama tentang perawi tersebut. Komentar ulama tentangnya menjadi sekunder.Kualitas perawi primarily ditentukan terutama oleh matn atau teks dari perawi tersebut.
Kalau kita meneliti sebuah hadis, maka yang pertama kita lakukan adalah. Mencari hadis tersebut keseluruh kitab hadis yang ada. Bukan hanya dalam Sahih Buhari atau Muslim saja, tapi disamping kutub al-sitta(canonical collections), juga Muwatta Malik, Musnad al.Tayalisi, Musnad Ibn Rahawayh, Musannaf Abd Razzaq, Sunan al-Darimi, Ibn al-Jad dan lain lain (pre-canonical collections), al-Bayhaqi, Ibn Hibban, al-Tabarani, Ibn Khuzayma dan lain lain (post canonical collections), bahkan kalau perlu dalam kitab hadis koleksi Shiah, misalnya Musnad al-Allama al-mujlisi, al-Shamiyyin dll. Apakah hadis yang kita cari itu terdapat dalam buku tersebut. Setelah terkumpul semua data yang dibutuhkan, kemudian dibuat diagram untuk melihat siapa perawi yang menerima hadis dari mana. Dengan demikian akan kelihatan siapa yang menjadi madar atau common link dari setiap generasi. Siapa yang menjadi sumber hadis tersebut dari generasi kegenerasi. Diagram isnad yang dibuat harus diuji kebenarannya melalui analisis matn. Karena klaim perawi telah menerima dari informan yang ia sebutkan boleh jadi hanya pengakuan belaka. Dalam hal ini membandingkanmatn antara para perawi segenarasi dan seperguruan menjadi mutlak. Apakah hadis tersebut hanya beredar pada abad kedua ketiga atau sudah beredar pada abad pertama hanya dengan cara ini kita dapat mengetahui apakah hadis tersebut berasal dari nabi, Sahabat, Tabiin atau setelahnya. Disamping itu, independensi dan interdependensi setiap riwayat harus kita buktikan, juga dengan menguji matannya. Benarkah si A menerima hadis dari B seperti yang ia klaim, benarkah B menerima hadis dari C seperti yang ia kutip, Benarkah C menerima dari D seperti yang ia katakan, dstnya. Analisa sanad dan matn menjadi sangat menentukan. Bagaimana proses metode isnad cum matn analysis ini bekerja, tentu halaman ini sangat terbatas untuk mengurainya secara detail.
Kondisi kesarjanaan di abad 21 dewasa ini, dimana para sarjana pendahulu kita telah mewariskan karya-karya masterpiece yang sangat berharga, telah mengedit karya-karya masa lalu, memunkinkan kita untuk merekonstruksi sejarah nabi, sahabat, tabiin dan generasi setelahnya, mengetahui sumber berita yang sesungguhnya. Kondisi kita dewasa ini jauh lebih bagus daripada kondisi al-Bukhari yang harus mencari dan mengumpulkan kepingan kepingan informasi tentang nabi dari suatu tempat ketempat yang lain. Al-Bukhari telah meninggalkan mutiara koleksi informasi tentang nabi. Sejumlah sarjana sebelum dan setelah al-Bukhari telah melakukan hal yang sama. Sarjana abad ini dapat membandingkan riwayat al-Bukhari dengan riwayat lain untuk melihat tingkat akurasi setiap periwayatan. Dengan memiliki sumber berita yang tersedia, kondisi manusia diabad 21 secara fisik lebih bagus daripada kondisi abad ke dua dan ketiga hijriah. Bahkan, dengan segala kerendahan hati dan tanpa ada maksud membuat sensasi dapat dikatakan bahwa dengan menggunakan metodologiisnad cum matn analysis, sarjana abad ini lebih otoritatif untuk menentukan kualitas hadis daripada al-Bukhari dan para mukharrij lainnya. Sebagai contoh, ketika al-Bukhari menemukan sebuah hadis dari empat sumber mislanya, katakanlah dari Abu Nuaym, Adam, Ibrahim b. Musa dan Maslama. Keempat orang ini menerima dari orang yang berbeda-beda sampai kepada nabi. Pada masa al-Bukhari, sejumlah buku hadis belum ada seperti sekarang ini, sehingga al-Bukhari menerima hadis tersebut hanya dari empat orang diatas. Pada saat ini, kitab-kitab hadis yang tersedia memungkinkan kita untuk menemukan jalur lain selain dari keempat sumber al-Bukhari. Kitapun dapat membandingkan anatara riwayat al-Bukhari dengan riwayat dari jalur yang lain untuk melihat tingkat akurasi setiap riwayat. Dengan perbandingan ini, kita dapat melihat tingkat kedabitan setiap perawi dari generasi kegenerasi. Bahkan dalam kasus tertentu perawi al-Bukhari bisa berbeda dengan perawi lain yang dikuatkan oleh riwayat yang lain, sehingga riwayat dari al-Bukhari yang tanpa pendukung dapat dianggap lebih lemah dengan riwayat lain yang didukung oleh riwayat yang lain. Sekali lagi dengan isnad cum matn analysis, kita mengetahui dengan jelas siapa di antara perawi yang telah melenceng, menanmbah dan mengurangi setiap periwayatan yang asli. Dengan demikian kitapun dapat melihat tingkat keadabitan perawi dari teksnya.
Secara teoritis, metode isnad cum matn analysis bukan sesuatu yang baru, tapi secara praktis, metode ini nyaris tidak diterapkan dalam kajian hadis. Hal ini terefleksi dari literatur hadis kita. Inilah yang saya maksudkan dengan adanya gap antara teori dan praktek.
Kesimpulan
Dalam sejarah umat Islam, reliabilitas ulumul hadis tidak pernah mendapat tantangan berarti dari sarjana Islam. Ada beberapa sarjana yang meragukan reliabilitasnya, tapi tidak mendapat simpati berarti dari umat Islam. Tulisan inipun tidak bermaksud menggugat ulumul hadis secara umum, tapi ada beberapa element substantif dalam ulumul hadis yang harus dipikirkan kembali. Meskipun dalam kritik hadis terdapat perbedaan-perbedaan pendapat, Secara umum tidak terdapat perbedaan perbedaan substantif; Kualitas hadis ditentukan terutama berdasarkan kualitas sanad, meskipun tidak mengabaikan pertimbangan matannya. Metode isnad cum matnanalysis menaksir kualitas hadis berdasarkan matnnya, bahkan kwalitas sanadpun dapat ditaksir melalui matnnya. Analysa matn yang dimaksud bukan apakah matn itu bertentangan dengan al-Quran atau riwayat yang dianggap lebih kuat, melainkan sejauh mana riwayat teks seorang perawi melenceng, berbeda secara tekstual dengan riwayat yang lain. Namun sebelum analisa tekstual dilakukan terlebih dahulu dilakukan pemetaan siapa yang menerima riwayat darimana, mulai dari mukharrij sampai ke perawi terahir (sahabat) atau pemilik berita (nabi). Untuk lebih lengkapnya sanggahan terhadap metode kritik hadis Al Bani dan As Saqaf silahkan baca bukunya : http://books.google.co.id/books?id=MECr3Gxzr3wC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false
Menggugat Kesarjanaan Kritik Hadis Barat dan Islam
Ada kecenderungan yang kontras antara kesarjanaan hadis Barat dan
Muslim. Sementara Barat mengkaji hadis karena dorongan kepentingan sejarah (historical
interest), para sarjana Muslim mengkajinya sebagai sumber pokok ajaran
Islam yang kedua. Akibatnya, sebagaian sarjana Barat ngotot mengajukan
skeptisisme terhadap autentisitas hadis sepenuhnya, sedang sebagian sarjana
Muslim menerima hadis tanpa sikap kritis yang memadai. Kecenderungan semacam
itu tampak pada sikap kedua kubu terhadap autentisitas periwayatan hadis.
Pertanyaan sentral di kalangan sarjana Barat adalah: apakah hadis bisa
dijadikan sebagai sumber sejarah awal Islam?
Ignaz Goldziher, sarjana Barat abad ke-19, secara skeptis
berpendapat bahwa hampir semua riwayat tentang kehidupan Nabi adalah apoccryphal (meragukan).
Sikap ini diamini begitu saja oleh para penerusnya semisal Leone Caetani dan
Henri Lammens. Bahkan, John Wansbrough, Patricia Crone dan Michael Cook menolak
hadis sebagai sumber autentik bagi rekonstruksi sejarah Nabi dan abad pertama
hijriah. Senada dengan itu, Joseph Schacht mengajukan tesis bahwa isnâd (jalur
periwayatan) hadis cenderung membengkak ke belakang (to grow backwards)
dan bahwa sangat sedikit hadis yang berasal dari Nabi. Tesis ini belakangan
dikembangkan oleh Josep van Ess dan G.H.A. Juynboll.
Di ujung lain, sarjana Muslim semisal Nasiruddin Al-Albani dan
Hasan b. Ali al-Saqqaf secara apologetik ingin membuktikan kesahihan hadis
lewat tradisi kritis kesarjanaan Islam. Al-Albani bertumpu pada analisis isnâd
untuk menguji autentisistas hadis. Dia bersandar sepenuhnya pada informasi
kamus-kamus biografi tentang kualitas para perawi hadis. Naifnya, dia tidak
mengkaji secara komprehensif biografi tersebut, tetapi begitu saja mengikuti
penilaian dari para penulis biografi. Dia mengemukakan bahwa isnâd hadis
yang tidak tsiqah (tepercaya) berarti tidak tsiqah pula
hadisnya dan karenanya harus ditolak.
Penafsiran apa pun terhadap matan hadis dan periwayatannya tidak
relevan bagi Al-Albani. Mengapa? Karena penafsiran, jika diterapkan, juga
bagian dari autentifikasi hadis, sedang Al-Albani hanya bertumpu pada
ketsiqahan isnâd, bukan matannya. Caranya, di antaranya, adalah
dengan mengecek terminologi isnâd yang digunakan perawi
semisal ‘an (diriwayatkan dari …), sami‘a (dia
mendengar …), haddatsanâ, akhbaranâ, dan
seterusnya.
Terminologi-terminologi inilah yang digunakan Al-Albani dan
al-Saqqaf untuk mengukur ketsiqahan hadis. Padahal, terminologi semacam ini
tidak harus diartikan sebagai model periwayatan yang menetukan ketsiqahan
hadis. Menurut Kamaruddin Amin, penulis buku ini, terminologi-terminologi
tersebut tidak berlaku sebagai kriteria kesahihan hadis bagi para ulama abad
pertama hijriah. Artinya, para perawi di abad tersebut tidak secara sengaja dan
sadar menggunakan beragam terminologi tersebut sebagai cara menentukan tingkat
kesahihan dan tidaknya sebuah hadis.
Buku Metode Kritik Hadis ini diangkat dari
disertasi Kamaruddin Amin yang diajukan kepada Rheinischen Friedrich Wilhelms,
Universitas Bonn Jerman. Dalam buku ini, penulisnya menunjukkan sikap kritisnya
terhadap metode-metode kritik hadis baik dalam kesarjanaan Barat maupun Islam.
Kritiknya tidak hanya pada tataran teoretis tetapi juga pada tataran praktis
penggunaan metode-metode kritik hadis. Pada lima bab yang pertama, penulis
mengajukan landasan teoretis dengan menelaah sebuah hadis tentang ganjaran
berpuasa. Untuk ini, dia mendekatinya dari metode kesarjanaan klasik Islam,
metode analisis ala G.H.A Juynboll, dan analisis isnâd-cum-matan yang
dikembangkan dalam kesarjanaan Barat abad ke-20.
Di bab 8 buku ini, Kamaruddin membuat studi yang spektakuler
tentang “Penanggalan Hadis-Hadis dengan metode Isnâd-cum-Matan”.
Betapa tidak?! Dia mengkaji 163 versi hadis tentang puasa dalam 39 sumber. Dia
menyisir secara cermat seluruh aspek isnâd dan matan-nya.
Hasilnya, penulis menemukan dua jalur utama periwayatan hadis-hadis tersebut
yang bermuara pada sahabat Abu Hurairah. Kesimpulan Kamaruddin berbeda dari
sarjana Muslim umumnya dan juga sarjana Barat. Juynboll memandang bahwa
hadis-hadis tentang puasa telah dipalsukan pada masa Al-A’masy (w. 148 H) atau
abad kedua hijriah.
Analisis Kamaruddin justru menunjukkan bahwa hadis-hadis
tersebut berasal dari masa Abu Hurairah yang meninggal pada 58 H atau di abad
pertama hijrah. Ini berarti bahwa hadis—meski tidak seluruhnya—dapat menjadi
sumber autentik sejarah Islam awal! Dari sini, Kamaruddin berhasil mempertegas
perlunya mengkaji hadis dari aspek sanad dan matan sekaligus! Tak pelak, buku
ini sangat penting bagi para pengkaji hadis yang serius dan khalayak pembaca
yang ingin mengetahui lika-liku pencarian kesahihan hadis. http://sunarwoto.wordpress.com/2011/03/28/menggugat-kesarjanaan-kritik-hadis-barat-dan-islam/
Resensi dari Judul Buku: Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis
Penulis: Kamaruddin Amin
Penerbit: Hikmah, Jakarta
Tahun Terbit: Juni 2009
Tebal: xviii + 513 halaman
Menguji
kembali keakuratan Metode Kritik hadits
Hadits yang di yakini sebagian ummat islam di
dunia yang merupakan tuntunan dalam memahami wahyu Allah yang menjadi otoritas
islam kedua setelah Al-Qur’an dan memiliki pengaruh yang sangat menentukan dan
menjadi sumber hukum dan aspirasi agama.
Sarjana Muslim belajar hadis lebih di dorong
oleh peran sentral yang di mainkan oleh hadis sebagai sumber hukum dan doktrin
teologis sedangkan kepentingan sarjana barat dalam memgkaji hadits lebih di mainkan
dalam kepentingan sejarah atau dalam kata lain, ketika mereka mempelajari hukum
islam cenderung mendekati sebagai sebuah model pemikiran ketimbang sebuah
kumpulan hak-hak dan kewajiban dan peraturan-peraturan (bukan ahli hukum
melainkan pelajar-pelajar budaya).
Sejak abad 19, keilmuan hadits menuai banyak
pertanyaan dari kalangan pengkaji islam kuhususnya tentang hadits baik itu di
kalangan sarjana muslim ataupun barat, pertanyaan itu tentang auntensitas,
originalitas serta kebenaran hadis dan menjadi isu pokok dalam studi hukum
islam. Seperti halnya Gustav Weil, abu Rayyah, dan oleh Alois Sprenger yang
semua mengkritik keotentikan hadis nabi. dan Goldziher adalah sarjana pertama
yang membawa hadits ke dalam kajian historis dan kritk sistematis yang ini
tertuang dalam karya masterpiece-nya yakni Muhammadanische Studien.
Begitupula dengan Schacth dan Juynboll yang juga
ikut andil dalam pemikirannya mengenai hadits, yang kemudian mencetuskan teori
common link, ia berpendapat bahwa comenlink adalah pemalsu hadis. Premis dan
metode penelitian Schacht dan metode penanggalan hadis juynboll dengan
menganalisa isnad saja, dan itu menuai banyak konflik. Namun ternyata
orientalis yang bernama Motzki berbeda pendapat mengenai hadis dengan Schacth
dan Juynboll yang menurutnya, common link yang terdapat pada jalur periwayatan
hadis bukan sebagai pemalsu hadis tetapi sebagai penghimpun hadis pertama
secara sistematis yang meriwayatkan pada kelas-kelas murid yang kemudian
berkembang menjadi sebuah sistem belajar yang terlembaga dan sejumlah hadis
dapat di telusuri sampai abad pertama yang kenyataanya pada abad pertama ini
terdapat sejumlah hadis palsu dan hadis shohih. Oleh karena itu ilmu kritik
hadis terdiri dari tiga cabang. pertama, mengkaji riwayat, ke-dua, mengkaji
tentang asma’ ar-rijal, ke-tiga, mengkaji kandungan hadis apakah sesuai dengan
Al-Qur’an ataukah Hadis.
Namun salah satu persoalan penting dalam
literatur hadis adalah pengkodifikasian teks-teks hadis jauh lebih belakangan
dari pada peristiwa yang di riwayatkan. Kenyataan ini menimbulkan kesenjangan
antara literatur hadis dan peristiwa yang di sampaikan.
Pendekatan Sarjana Non-Muslim terhadap Literatur
Hadis.
1. Teori Common Link dan single strand
Penelitian hadis antara kesarjanaan barat dengan
sarjana muslim tentunya terdapat perbedaan yang signifikan, sarjana muslim
dalam meneliti lebih menekankan bagaimana memverifikasi sebuah hadis dengan
membedakan antara yang autentik dan yang yang tidak autentik, sedangkan sarjana
barat, adalah bagaimana memposisikan sebuah penanggalan (dating) atas sebuah
hadis untuk menilai asal-usul atau sumbernya.
Pada sarjana barat dalam penelitian hadis di
kenal dengan methode common link yang telah di kenalkan oleh Josep Schacht yang
telah menyebabkan lahirnya konsep-konsep lain, seperti “partial common link”,
“spider”, “single strand”, dan “diving”
Kesimpulan umum Schacht dalam penelitian hadis
adalah, tidak ada hadis yang dapat di telusuri secara historis sampai kepada
Nabi, yang ini didasarkan pada hipotesis bahwa bahwa isnad cenderung tumbuh ke
belakang (tend to grow backwards). Teori ini ternyata banyak di adopsi oleh
beberapa kesarjanaan barat, seperti halnya; Josef van Ess dan Michael Cook.
Penelitian tentang Common Link di kririk oleh
Michael Cook dengan mengkaji perkembangan (prolfieration) penyebaran isnad,
yakni pembuatan otoritas (perowi) tambahan untuk matan yang sama.
Proliferasi isnad mungkin terjadi dalam
beberapa cara.
1. Dengan mengabaikan atau menghilangkan perawi
sezaman.
2. Seorang Common Link muncul dengan cara
penyandaran riwayat kepada seorang guru yang berbeda.
3. Dengan cara mengabaikan hadis yang
terisolasi.
Methode penciptaan jalur isnad ini menurut Cook
membawa kepada munculnya seorang Common Link. Dengan kata lain, Common Link
adalah hasil dari sebuah proses pemalsuan jalur isnad.
Sarjana lain yang megkritik teori Common Link
dan informasi yang di sampaikannya Norman Calder dengan mengingkari relevansi
fenomena Common Link dalam penanggalan hadis, ia mengatakan, bahwa fenomena
Common Link adalah hasil kompetisi di antara kelompok-kelompok pada masa dan
setelah paruh kedua abad ketiga hijriah.
Berbeda dengan Cook dan Calder yang mengkritik
Common Link Schacth , juynboll seperti hal nya sarjana barat yang lain, yakni
dalam memberikan penanggalan sebuah hadis, ia selalu mengajukan tiga
pertanyaan, yakni, dimana, kapan, oleh siapa hadis itu di sebarkan. Dalam
penelitiannya Juynboll menunujukkan bahwa karakter isnad yang mengawal hadis
nabi adalah sebagai berikut:
1. Isnad berjalur tunggal pada tiga (atau empat
atau lima) perawai setelah nabi sebelum jalur periwayatan menyebar ke berbagai
arah sepanjang jalur yang berbeda-beda.
2. Perowi ke empat atau kelima, yang darinya
matan hadis di riwayatkan melalui sejumlah perowi, dan akhirnya mencapai
sejumlah kitab-kitab hadis resmi (kutub as-sittah) di sebut (sejak masa
Schacth) Commen link
3. Murid Common Link yang memiliki banyak murid
oleh Juynboll disebut patrial common link, sementara jalur periwayatan tunggal
antara Common Link dan nabi oleh Juynboll di sebut single strand.
Namun berbeda dengan Schacth, Juynboll dan
lain-lain, yang menganggap Common Link sebagai pemalsu atau pemula bagi sebuah
hadis, Motzki menafsirkan Common Link sebagai penghimpun hadis yang sistematis
pertama, yang merekam dan meriwayatkannya dalam kelas-kelas reguler, dari
kelas-kelas itulah sebuah sistem belajar yang terlembaga dan berkembang.
Intrepretasi Motzki pada fenomena Common Link membawanya pada penafsiran yang
berbeda tentang jalur tungal antara Common Link dan otoritas yang lebih awal
(lebih tua) dan fenomena diving. Yang pendapat ini kemudian di kuatkan oleh
Gregor Schoeler yang mengatakan bahwa Common Link tidak harus di pahami sebagai
pemalsu hadis. Metode dating yang ia kembangkan untuk menilai asal-muasal
sebuah hadis membawanya ke masa yang lebih awal dari pada masa Common Link.
Meskipun di tafsirkan berbeda, teori Common Link
telah di gunakan secara luas sebagai sebuah alat penelitian yang kuat untuk
analisa isnad dalam kesarjanaan Barat. Karena teori ini adalah teori
Orientalis, tampaknya teori ini dan implikasinya metodologinya belum di sadari,
atau bahkan belum di ketahui apalagi di gunakan dalam kesarjanaan hadis Muslim
modern.
2. Sarjana Non Muslim dan Barat dan
argumentum esilentio.
Josep Schacth adalah Salah seorang pelajar barat
yang yang mencetuskan metode tanggal petma munculnya hadis-hadis, yang diantara
adalah Argumen silio yang ini di gunakan untuk membuktikan tidak eksisnya
sejumlah riwayat dalam literatur hadis. Tapi ternyata teori ini mendapat kritikan
dari sarjana barat lainya, seperti halnya Juyboll, norman, Motzki dll.
Di sini Motzki berpendapat bahwa dengan merujuk
kepada argumen e silentio adalah berbahaya dan dapat membawa kepada asersi yang
tidak berdasar.
Pendapat
Dari pembacaan serta pemahaman dari buku ini, di
sini saya dapat berargumen bahwa beberapa pendapat orientalis mengenai hadis,
seperti halnya Ignaz Goldziher, Schacth dan Juynboll dan lain-lain yang telah
memunculkan banyak teori tentang hadis, mungkin kebanyakan dari sarjana muslim tentunya
banyak menimbulkan kontroversi, apalagai dengan pola wacana sehari-hari yang
dapat mempengaruhi pemikiran subjektif. Namun perlu di ingat bahwa apa yang
telah tertuang dalam pemikirang para orientalis tentunya juga menjadi
kontribusi dalam diskursus pemahaman hadis di kalangan sarjana islam. Yang dari
sinilah muncul beberapa sarjana muslim yang lebih kristis dalam menyingkapi
segala permasalahan yang berkaitan dengan hadis. Terlepas dari kesimpulan
sarjana Barat terhadap kualitas hadis yang sering kurang simpatik dimata orang
Islam, mempelajari metodologi mereka sangatlah fruitfull dari perspektif
akademis. Karena ia tidak hanya mengapresiasi literatur Islam tapi juga
menunjukkan kelemahannya yang dapat membuka mata kita. http://an-nurfa.blogspot.com/2010/11/menguji-kembali-keakuratan-metode.html
6 komentar:
Tulisan di atas lebih sekedar wisata ilmiah dgn menggunakan metode orientalis dalam mengkaji kritik hadits.
Penulis mengidap penyakit minder karena dibesarkan di pesantren.
Senada dg Ulil Abshar.
Model tulisan begini adalah kaset rusak yang diulang-ulang..
SAYA ALHAMDULILLAH SUDAH MEMILIKI DAN MEMBACA BUKUNYA BAGUS, MENGUNGKAPKAN kelemahan-kelemahan metode Al bani dan As Saqaf dan ada sisi-sisi pembahasan yang perlu kajian mendalam yang oleh ulama-ulama dahulu belum dibahas dan itu sangat fundamental..
apa yang menjadi kajian orientalis adalah tantangan buat para ulama dan umat Islam untuk menjawabnya dengan argumen ilmiah yang benar tanpa perlu unsur kebencian
Apakah Argumentasi DR. Kamaruddin harus diterima dgn tanpa sikap kritis? Kelemahan argumennya ttg riwayat Mudallisin itu tampak nyata, bahkan bagi pemula studi hadis sekalipun..
Saya sdh bahas ini dlm Fb saya..
Mungkin tulisan ini bisa melengkapi pembacaan Mas terhadap buku Kamaruddin Amin.
https://syukrillah.wordpress.com/2015/05/28/inkonsistensi-metode-kritik-hadis-bantahan-terhadap-prof-dr-kamaruddin-amin/
SEMUA ARGUMEN BISA DITELAAH DAN DIANALISA... NAMANYA MANUSIA PASTI ADA SISI KEKURANGAN DAN KELEBIHANNYA, SISI KEKURANGANNYA DIJELASKAN DAN SISI KELEBIHANNYA JUGA DIJELASKAN..kalau memiliki kesempatan lakukanlah studi mendalam terhadap semua metodenya..insya Allah kalau ada kesempatan saya baca dan analisa tanggapan pak Syukrillah terima kasih atas infonya...salam silaturahmi semoga menjadi ukhuwwah dan menambah ilmu
Posting Komentar