Buku yang baru selesai aku baca, cukup menarik sebagai tanggapan dari munculnya berbagai pemikiran yang mencoba mempertanyakan atau menggugat pemikiran yang sudah mapan dari semenjak dulu. siapa yang mempelajari Ilmu kalam niscaya dia tidak akan heran dengan tokoh Abu hasan al As'ari, jika di Perguruan tinggi Agama Islam maka salah satu mata kuliah yang wajib adalah Teologi Islam atau Ilmu Tauhid atau ilmu kalam.
Kalau kita baca umpamanya buku I'tiqad Ahlussunnah Wal jama'ah karya KH. Sirajudin Abbas, Buku Teologi Islam karya Prof. DR. Harun Nasution, Buku Tarikh al Madzahib al Islamiyah (Aliran politik dan 'Aqidah dalam Islam karya Prof. Dr. Muhammad Abu Zahrah, buku Aliran-Aliran dalam Islam karya Ahmad Sahidin, atau Buku Pemikiran Kalam (teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan perkembangannya karya Prof. Dr. KH. Sahilun A. Nasir, M.Pd, dan semua Orang yang memang sudah mempelajari Ilmu kalam atau Tauhid atau Teologi maka dia pasti akan tahu bahwa aliran yang disebut dengan Ahlussunnah Wal Jama'ah dalam ilmu kalam adalah pemikiran yang dipelopori oleh Abu Hasan Al As'ari dan Al Maturidi. kenapa sekarang banyak yang mempertanyaakan itu ? apakah memang belum pernah belajar ilmu kalam ?atau memang anti ilmu kalam ? bisa di coba dulu dengan membaca buku ini.
========
“Seiring dengan arus globalisasi yang menawarkan banyak wacana, pemikiran dan bahkan ideologi yang tidak jarang bersinggungan dengan ranah ideologi kaum nahdliyyin (ahli Nahdlatul Ulama’), melahirkan berbagai problem yang harus dihadapi dan diberikan jawabannya secara cerdas dan ilmiah.
“Kalau memang Nahdlatul Ulama mengklaim mengikuti madzhab Ahlussunnah Wal-Jama’ah, mengapa mengikuti madzhab al-Asya’ari, kok tidak mengikuti madzhab ulama salaf yang saleh saja yang memang benar-benar Ahlussunnah Wal-Jama’ah?”
“Apakah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa madzhab al-Asya’ari itu Ahlussunnah Wal-Jama’ah atau al-firqah al-najiyah?”
“Mengapa Ahlussunnah Wal-Jama’ah hanya mewajibkan mengetahui sifat dua pulu yang wajib bagi ALlah? Bukankah dalam al-Asma’al sifat Husna sendiri, nama-nama dan sifat-sifat ALlah berjumlah sembilan puluh sembilan?”
Tiga pertanyaan menggelitik itu datang pada penulis di forum Seminar. Pertama, dari peserta yang tampaknya beraliran Salafi. Kedua, walaupun lebih baik dari pertanyaan sebelumnya, namun juga menunjukkan bahwa pasa saat ini, hal-hal yang sebenarnya dianggap sebagai ideologi dan keyakinan di kalangan masyarakat, ternyata seringkali digugat kebenarannya. Ketiga, tampak semacam gugatan yang bernada filosofis.
Kalau pertanyaan-pertanyaan itu tidak segera dijawab akan memunculkan pertanyaan berantai. Sebab, kesimpulan yang bisa ditangkap dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah bahwa madzhab al-Asy’ari tidak mengikuti ajaran ulama salaf yang saleh, dan pada gilirannya Nahdlatul Ulama bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah?
Nah, dari berbagai pertanyaan itulah buku ini disusun. Di sini sarat akan kajian sejarah, metodologi, sistematika, profil tokoh, ulasan kitab, kesaksian dan pengakuan para ulama, serta dalil-dalil madzhab al-Asy’ari.
Judul Buku : Madzhab Al-Asy’ari: Benarkah Ahlussunnah Wal-Jama’ah?
Jawaban Terhadap Aliran Salafi
Karya : Ustaz.Muhammad Idrus Ramli
Penerbit Khalista & LTN NU
RM28.00
Kalau kita baca umpamanya buku I'tiqad Ahlussunnah Wal jama'ah karya KH. Sirajudin Abbas, Buku Teologi Islam karya Prof. DR. Harun Nasution, Buku Tarikh al Madzahib al Islamiyah (Aliran politik dan 'Aqidah dalam Islam karya Prof. Dr. Muhammad Abu Zahrah, buku Aliran-Aliran dalam Islam karya Ahmad Sahidin, atau Buku Pemikiran Kalam (teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan perkembangannya karya Prof. Dr. KH. Sahilun A. Nasir, M.Pd, dan semua Orang yang memang sudah mempelajari Ilmu kalam atau Tauhid atau Teologi maka dia pasti akan tahu bahwa aliran yang disebut dengan Ahlussunnah Wal Jama'ah dalam ilmu kalam adalah pemikiran yang dipelopori oleh Abu Hasan Al As'ari dan Al Maturidi. kenapa sekarang banyak yang mempertanyaakan itu ? apakah memang belum pernah belajar ilmu kalam ?atau memang anti ilmu kalam ? bisa di coba dulu dengan membaca buku ini.
========
“Seiring dengan arus globalisasi yang menawarkan banyak wacana, pemikiran dan bahkan ideologi yang tidak jarang bersinggungan dengan ranah ideologi kaum nahdliyyin (ahli Nahdlatul Ulama’), melahirkan berbagai problem yang harus dihadapi dan diberikan jawabannya secara cerdas dan ilmiah.
Nah, dari berbagai pertanyaan itulah buku ini disusun. Di sini sarat akan kajian sejarah, metodologi, sistematika, profil tokoh, ulasan kitab, kesaksian dan pengakuan para ulama, serta dalil-dalil madzhab al-Asy’ari.
Judul Buku : Madzhab Al-Asy’ari: Benarkah Ahlussunnah Wal-Jama’ah?
Jawaban Terhadap Aliran Salafi
Karya : Ustaz.Muhammad Idrus Ramli
Penerbit Khalista & LTN NU
RM28.00
Jawaban Terhadap Aliran Salafi
Karya : Ustaz.Muhammad Idrus Ramli
=======================================
BEDAH BUKU :
Ustadz Muhammad Idrus Romli : “Madzhab Al-Asy’ari adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah”
InpasOnline, 29 Mei 2009
Ustadz Muhamamd Isrus Romli: “Madzhab Al-Asy’ari adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah”
Hari itu, Kamis, 28 Mei 2009 terjadi kesibukan di gedung GEMA IAIN Sunan Ampel Surabaya. IPNU dan IPPNU IAIN Sunan Ampel rupanya tengah mempersiapkan acara bedah buku “Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal-Jama’ah? Jawaban Terhadap Aliran Salafi” karangan Muhammad Idrus Ramli, salah seorang narasumber InPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam) Surabaya di diskusi dua bulanan InPAS.
Selain Ustadz Muhammad Idrus Ramli, dalam acara bedah buku yang dihadiri oleh mahasiswa IAIN Sunan Ampel maupun dari orang luar, termasuk InPAS Surabaya ini juga menghadirkan Ustadz Choirul Anshori, MA salah satu Dewan Pimpinan Syahamah (Syabab Ahlussunnah Wal-Jama’ah) Jakarta, Pof.Dr.Zainul Arifin (Guru Besar Ilmu Hadits IAIN Sunan Ampel), dan Ahmad Ma’ruf Asrori (Direktur Penerbit Khalista).
Bedah buku yang disponsori oleh Penerbit Khalista ini momennya dirasa sangat tepat, jika dikaitkan dengan fenomena gerakan Wahhabi yang menimbulkan kontroversi, termasuk ketika baru-baru ini muncul buku “Ilusi Negara Islam” yang mencoba menguatkan sentiment anti Wahhabi dalam rangka meraih kepentingan politik. Dalam buku tersebut, isu Wahhabi digunakan sebagai senjata ampuh untuk mendiskreditkan (baca : menggembosi) sebuah partai politik yang meraih dukungan suara cukup signifikan di Pemilu 2009. Namun bukan itu yang menjadi pokok bahasan utama buku setebal 301 halaman ini.
Ustadz Muhammad Idrus Ramli mengkaji Madzab Al-Asy’ari demi meluruskan kesalahpahaman sebagian kelompok Islam yang menyatakan bahwa Madzhab Al-Asy’ari dan Asy’ariyah (pengikut Madzhab Al-Asy’ari) bukan termasuk Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Kelompok yang muncul belakangan, yang menamakan dirinya Salafi dan mengklaim sebagai pengikut ulama salaf yang saleh ini bahkan berani mengatakan bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengkafirkan pengikut Al-Asy’ari. Berawal dari fenomena memprihatinkan inilah, maka Ustadz Muhammad Idrus Romli menulis buku ini. Benarkah tuduhan kelompok Salafi yang mengatakan bahwa Al-Asy’ari bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah? Menjawab pertanyaan tersebut, secara jelas dan tegas Ustadz Muhammad Idrus Romli menyatakan bahwa berdasarkan ijma’ ulama yang mengikuti madzhab fiqih Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali; Madzhab Al-Asy’ari adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah. “Dewasa ini, aliran Wahhabi yang menamakan dirinya kelompok Salafi, juga mengaku sebagai pengikut Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Akan tetapi, para ulama terkemuka dari kalangan ahli tafsir, ahli hadits, dan ahli fiqih yang mengikuti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali tidak mengakui mereka sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah,” jelas Gus Idrus.
Ustadz Choirul Anshori memberikan pandangan terhadap kelompok Salafi dari segi sanad keilmuan. Dari segi ini, Muhammad bin Abdul Wahhab lebih banyak mengambil dari pendapat Taqiyuddin Ahmad ibn Taimiyyah al-Harrani. Jadi jelas tidak ada mata rantai sanad yang bersambung karena Ibn Taimiyyah hidup pada abad ke-8 Hijriyah sedang Muhammad bin Abdul Wahhab hidup pada abad ke-12. Apalagi Muhammad bin Abdul Wahhab pernah mengatakan bahwa guru-gurunya tidak ada yang mengetahui makna La ilaha illallohu. “Kalau guru-guru Muhammad bin Abdul Wahhab tidak ada yang mengetahui makna Laa ilaaha illallohu, bagaimana ia memahami tauhid? Apakah hanya sekedar membaca atau buah dari pergolakan pemikirannya sendiri? Jika benar demikian, bagaimana ia mengklaim bahwa golongannya yang paling benar padahal sanad keilmuannya tidak jelas?”, tegas salah satu Dewan Pimpinan Syahamah ini.
Ustadz Choirul Anshori mengatakan bahwa pada tanggal 24 Mei 2009 seharusnya dia melakukan debat dengan kelompok Salafi di daerah Bogor. Mereka menantang debat kepada Ustadz Choirul dan setelah beliau menyanggupi, mereka malah tidak mau menghadiri debat yang mereka gagas sendiri.
Ditemui secara terpisah, Ustadz Abdurrahman Nafis, Lc. M.HI, Ketua Bidang Fatwa MUI Jatim menyatakan bahwa aliran Salafi berawal dari pemahaman terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Hadits secara tekstual ansich. “Mereka menafsirkan nash-nash Al-Qur’an dan Hadits secara zhahirnya saja dengan menafikan tafsir yang dilakukan oleh ulama-ulama mujtahidin yang ahli di bidangnya baik dari kalangan sahabat, tabi’ tabi’in, salafush shaleh, dan para mufassir kontemporer, sehingga mereka menggunakan tafsir bi ra’yi atau ditafsirkan dengan pendapat mereka sendiri sementara kapasitas mereka belum mencapai tingkatan mufassir”, ungkap pengasuh pondok pesantren Nurul Huda ini.
Ustadz Abdurrahman Nafis lebih lanjut menambahkan, bahwa Salafi yang ada di Arab Saudi tidak sekeras dan seekstrem Salafi yang ada di Indonesia. Ulama Saudi sendiri bahkan jauh lebih toleran terhadap kelompok atau golongan yang tidak satu pemahaman dengan mereka. Namun dalam hal memandang Madzhab Al-Asy’ari, Salafi sepakat bahwa Madzhab Al-Asy’ari bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dengan memberikan dalil-dalil yang bertentangan dengan ijma’ ulama yang ahli dalam berbagai bidang, termasuk ulama yang ahli di bidang hadits.
Adapun Madzhab Al-Asy’ari memang menjadi madzhab yang diikuti oleh mayoritas umat Islam sedunia, dari dulu hingga sekarang, dan didukung oleh ulama-ulama ahli hadits seperti Al-Hafizh Abu Bakar al-Isma’ili (277-371 H), Al-Hafizh Abu al-Hasan al-Daruquthni (306-385 H), Al-Hafizh al-Khaththabi (319-388 H), Al-Imam al-Hakim al-Naisaburi (321-405 H), Al-Hafizh al-Lalikai (w.418 H), Al-Hafizh Abu Nu’aim al-Ashbihani (336-430 H), Al-Hafizh Abu Dzar al-Harawi (355-434 H), Al-Hafizh Abu Amr al-Dani (371-444 H), Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi (384-458 H), Al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi (392-463 H), Al-Hafizh Ibn Abdil Barr (368-463 H), Al-Hafizh Abu al-Walid al-Baji (403-474 H), Al-Hafizh Abdul Ghafir al-Farisi (451-529 H), Al-Imam Abu Adillah al-Farawi (441-530 H), Al-Hafizh Ibn al-‘Arabi (468-543 H), Al-Qadhi Iyadh al-Yahshubi (476-544 H), Al-Hafizh Abu Sa’ad al-Sam’ani (506-562 H), Al-Hafizh Ibn Asakir (499-571 H), Al-Hafizh Abu Thahir al-Silafi (478-576 H), Al-Hafizh Ibn al-Jauzi (508-597 H), Al-Hafizh al-Shalah al-Syahrazuri (577-643 H), Al-Hafidz al-Mundziri (581-656 H), Al-Hafizh an-Nawawi (631-676 H), Al-Hafizh Ibn Daqiq al-‘Id (625-702 H), Al-Hafizh al-Dimyathi (613-705 H), Al-Hafizh Abu al-Hajjaj al-Mizzi (654-742 H), Al-Hafizh Shalahuddin al-‘Ala’I (694-761 H), Al-HAfizh Ibn Katsir (701-774 H), Al-Hafizh al-‘Iraqi (725-806 H), Al-Hafizh Nuruddin al-Haitsami (735-807 H), Syamsuddin Ibn al-Jazari (751-833 H), Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Astqalani (773-852 H), dan lain-lain.
Apa sebenarnya makna Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan apa saja kriteria sebuah kelompok disebut Ahlussunah Wal-Jama’ah? Ustadz Muhammad Idrus Romli menjelaskan dalam bukunya pada Bab Empat yang bertajuk “Metodologi Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam Bidang Akidah”, bahwa secara kebahasaan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah istilah yang tersusun dari tiga kata. Pertama, kata Ahl, yang berarti keluarga, pengikut, atau golongan. Kedua,kata al-sunnah. Secara etimologis (lughawi) kata al-sunnah memiliki arti al-thariqah (jalan dan perilaku), baik jalan dan perilaku tersebut benar maupun keliru. Sedangkan secara terminologis, al-sunnah adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi SAW dan para sahabatnya yang selamat dari keserupaan (syubhat) dan hawa nafsu. Ketiga, al-jama’ah.Secara etimologis kata al-jama’ah ialah orang-orang yang memelihara kebersamaan dan kolektifitas dalam mencapai suatu tujuan, sebagai kebalikan dari kata al-firqah, yaitu orang-orang yang bercerai-berai dan memisahkan diri dari golongannya. Sedangkan secara terminologis, kata al-jama’ah ialah mayoritas kaum Muslimin (al-sawad al-a’zham), dengan artian bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah aliran yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Abdullah al-Harari berikut ini : Hendaklah diketahui bahwa Ahlussunnah adalah mayoritas umat Muhammad SAW. Mereka adalah para sahabat dan golongan yang mengikuti mereka dalam prinsip-prinsip aqidah…Sedangkan al-jama’ah adalah mayoritas terbesar (al-sawad al-a’zham) kaum Muslimin. Pengertian bahwa al-jama’ah adalah al-sawad al-a’zham (mayoritas kaum Muslimin) seiring dengan hadits Nabi SAW :Dari Anas bin Malik ra berkata : “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas.” [HR. Ibnu Majah (3950), Abd bin Humaid dalam Musnad-nya (1220) dan al-Thabarani dalam Musnad al-Syamiyyin (2069). Al-Hafizh al-Suyuthi menilainya shahih dalam al-Jami’ al-Shaghir (I/88)] Hadits diatas memberikan penjelasan, bahwa ketika umat Islam terpecah-belah dalam beragam golongan dan aliran, maka kelompok yang harus diikuti adalah kelompok mayoritas, karena kelompok mayoritas adalah golongan yang selamat (al-firqah al-najiyah)Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga bersabda :Ibnu Mas’ud berkata, Nabi SAW bersabda : “Tiga perkara yang dapat membersihkan hati seorang mukmin dari sifat dendam dan kejelekan, yaitu tulus dalam beramal, berbuat baik kepada penguasa, dan selalu mengikuti kebanyakan kaum Muslimin, karena doa mereka akan selalu mengikutinya.” [HR.Tirmidzi 92582), Ahmad (12871) dan al-Hakim (I/88) yang menilainyashahih sesuai persyaratan al-Bukhari dan Muslim].
Hadits di atas memberikan pengertian bahwa orang yang selalu mengikuti ajaran dan mainstream mayoritas kaum Muslimin dalam hal akidah dan amal saleh, maka baraokah doa mereka akan selalu mengikuti dan melindunginya dari sifat dengki dan kesesatan dalam beragama. Sedangkan orang yang keluar dari mainstream mayoritas kaum Muslimin, maka dia tidak akan memperoleh barokah doa mereka, sehingga tidak akan terjaga dari sifat dengki dan kesesatan dalam beragama. Hadits tersebut secara tidak langsung mendorong kita agar selalu menjaga kebersamaan dengan mayoritas kaum Muslimin.Di sisi lain, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa maksudal-sawad al-a’zham dalam hadits tersebut adalah mayoritas ulama yang memiliki ilmu yang mendalam dan pendapatnya dapat diikuti (mu’tabar).
Pendapat ini diriwayatkan dari Abdullah bi al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaih dan lain-lain. Tentu saja pendapat ini sesuai juga dengan madzhab al-Asy’ari karena berdasarkan kesepakatan para pakar, madzhab al-Asya’ri diikuti oleh mayoritas ulama ahli fiqih, ahli hadits, ahli tafsir, ahli tashawuf dan lain-lain. Realita bahwa mayoritas ulama terkemuka mengikuti madzhab al-Asy’ari juga diakui oleh Abdurrahman bin Shalih al-Mahmud, seorang ulama Saudi Wahhabi kontemporer, yang mengatakan :Di antara sebab tersebarnya madzhab al-Asy’ari ialah, bahwa mayoritas ulama berpegangan dengan madzhab tersebut dan menjadi pembelanya, lebih-lebih para fuqaha madzhab Syafi’I dan Maliki…Tokoh-tokoh yang mengadopsi madzhab al-Asy’ari antara lain adalah al-Baqillani, Ibn Furak, al-Baihaqi, al-Asfarayini, al-Syirazi, al-Juwaini, al-Qusyairi, al-Baghdadi, al-Ghazali, al-Razi, al-Amidi, al’Izz bin Abdissalam, Badruddin bin Jama’ah, al-Subki dan masih banyak ulama-ulama yang lain. Mereka bukan sekedar pengikut madzhab al-Asy’ari, tetapi mereka juga penulis dan pengajak kepada Madzhab ini. Oleh karena itu mereka menyusun banyak karangan dan menggembleng murid-murid yang begitu banyak.
Hadits-hadits yang telah disebutkan di atas tidak tepat diterapkan terhadap aliran-aliran seperti Syiah Imamiyah, Syiah Zaidiyah, Khawarij, Wahhabi (Salafi), dan lain-lain, karena kelompok mereka minoritas, diikuti oleh sebagian kecil kaum Muslimin. Hal tersebut berbeda dengan Madzhab al-Asy’ari yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin, baik dari kalangan awam maupun kalangan ulama.
Dewasa ini, kalangan Wahhabi berupaya mengacaukan maksud hadits di atas dan hadits-hadits lain yang serupa, dengan berpendapat bahwa jumlah mayoritas tidak dapat menjadi bukti terhadap benar dan tidaknya suatu ajaran. Menurut mereka, justru dengan jumlah kelompok mereka (Wahhabi) yang sedikit, menjadi bukti bahwa merkalah kelompok yang benar, karena dalam Al-Qur’an sendiri seringkali disebutkan, bahwa kebenaran selalu bersama kelompok yang jumlahnya minoritas, seperti dalam ayat :“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini” [QS. Shad : 24]“Dan sedikit sekali mereka dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih” [QS. Saba’ : 13]“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)” [QS.Yusuf : 106]Asumsi kalangan Wahhabi tersebut tidak dapat dibenarkan. Para ulama mengatakan, bahwa ketiga ayat di atas tidak tepat dijadikan dalil yang membenarkan kelmpok yang memiliki jumlah minoritas, karena beberapa alas an. Pertama, berkaitan dengan dua ayat yang pertama, kata “sedikit”, dalam dua ayat tersebut, harus diposisikan pada konteks “sedikit” yang relatif dan nisbi, yaitu adakalanya diletakkan dalam pengertian sedikit yang bersifat khusus. Dalam pengertian umum, kaum Muslimin selalu sedikit dibandingkan dengan jumlah kaum non-Muslim. Sedangkan dalam pengertian khusus, kaum Muslim yang tulus, istiqomah dan konsisten secara sempurna dalam menjalankan perintah agama selalu sedikit dibandingkan dengan jumlah mereka yang tidak konsisten secara sempurna. Tetapi semua kaum Muslim yang konsisten dengan sempurna, yang konsisten kurang sempurna, dan yang tidak konsisten menjalankan perintah agama, juga tetap dikatakan Muslim yang beriman. Dan selama mereka mengikuti akidah mayoritas kaum Muslimin, mereka termasuk pengikut Ahluusnnah Wal-Jama’ah.Kedua, penempatan ayat ketiga, yaitu ayat Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan semabahan-sembahan lain), [QS. Yusuf : 106], terhadap mayoritas kaum Muslimin adalah tidak tepat, karena berdasarkan kesepakatan para ulama tafsir, ayat tersebut turun berkenaan dengan kaum penyembah bintang, penyembah berhala, umat Yahudi serta Kristen. Menempatkan ayat di atas terhadap kaum Muslimin, berarti mengikuti tradisi kaum Khawarij, seperti yang dikatakan oleh Ibn Umar dalam riwayat Shahih al-Bukhari.
Sedangkan dalam ranah akidah, ciri khas Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah meyakini bahwa Allah itu ada tanpa arah dan tanpa tempat. Hal ini merupakan salah satu ajaran yang membedakan Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan madzhab lain. Terdapat sekian banyak dalil, baik dari Al-Qur’an, hadits, dan dalil-dalil ‘aqli yang menunjukkan bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat, misalnya : Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia [QS.Al-Syura : 11]
Ayat ini adalah ayat yang paling tegas dalam menjelaskan kesucian Allah secara mutlak dari menyerupai apapun. Allah SWT tidak menyerupai makhluk-Nya dari aspek apapun, sehingga Allah itu tidak butuh pada tempat yang menjadi tempat-Nya dan tidak butuh pada arah yang menentukan-Nya. Keberadaan Allah SWT tanpa tempat dan tanpa arah, seperti yang dikatakan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra : “Allah SWT itu ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang seperti keberadaan-Nya sebelum adanya tempat.” Mungkin di sini ada yang bertanya, apakah akal dapat menerima terhadap keberadaan sesuatu tanpa arah dan tanpa tempat? Jawaban dari pertanyaan ini adalah dalil berikut ini yang juga menunjukkan bahwa Allah itu ada tanpa arah dan tanpa tempat, yaitu hadits shahih : Imran bin Hushain ra berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatu pun selain-Nya [HR. Bukhari : 2953)
Keyakinan bahwa wujud Allah itu tanpa tempat dan tanpa arah, adalah kesepakatan Ahlussunnah Wal-Jama’ah sejak generasi salaf yang saleh, berdasarkan pernyataan al-Imam al-Thahawi dalam kitabnya al-‘Aqidah al-Thahawiyyah yang merupakan rangkuman dari akidah-akidah yang menjadi keyakinan seluruh sahabat dan ulama salaf yang saleh. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi juga mengatakan : Ahlussunnah Wal-Jama’ah juga bersepakat, bahwa Allah itu tidak diliputi oleh tempat dan tidak dilalui oleh zaman. Oleh karena Ahlussunnah Wal-Jama’ah sepakat meyakini bahwa Allah itu ada tanpa tempat dan tanpa arah, maka kelompok yang meyakini bahwa Allah ada di Arsy itu bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, akan tetapi disebut kelompok Mujassimah dan Musyabbihah, seperti yang ditegaskan oleh Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Astqalani dalam Fath al-Bari : Sesungguhnya kaum Musyabbihah dan Mujassimah adalah mereka yang mensifati Allah dengan tempat, padahal Allah Maha Suci dari tempat.
Dengan semua penjelasan yang telah dipaparkan di atas, maka kita bisa melihat bahwa Madzhab al-Asy’ari adalah termasuk Ahlussunnah Wal-Jama’ah sebab memenuhi semua kriteria kelompok yang disebut Ahlussunnah Wal-Jama’ah serta didukung oleh mayoritas ulama salaf maupun khalaf. (kpl)
========================================
TANGGAPAN :
PENILAIAN TERHADAP BUKU
“MADZHAB AL-ASY’ARI, BENARKAH AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH?
Jawaban Terhadap Aliran Salafi”
Tulisan:Muhammad Idrus Ramli
Oleh
الحمد
لله وبعد : لقد
بعث الله نبينا محمدًا صلى الله عليه وسلم- بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله
ولو كره المشركون، وقد تحقق هذا كماوعد- سبحانه وتعالى وقد ترك أمته على المحجة
البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها إلا هالك
Setelah membaca buku yang ditulis Gus Muhammad Idrus
ini ternyata ada banyak informasi, asumsi, argumentasi, persepsi dan kesimpulan
yang kurang atau salah bahkan menyesatkan. Dalam kesempatan yang sangat singkat
ini kita bahas beberapa hal, antara lain:
1. Istilah Asy’ari dan Salafi
Judul buku melawankan antara al-asy’ari dan
as-Salafi- memang demikian adanya, namun penulis mengunggulkan al-asy’ari atas
as-salafi.
Asy’ari adalah nisbat kebada imam abul Hasan
al-Asy’ari (260-324 H). Sedang salafi adalah nisbat kepada as-salaf as-shalih
yaitu generasi terdahulu dari para sahabat dan tabi’in dan atba’ attabi’in.
Jika nisbat kepada seorang imam dari abad ke 3 boleh
dan terpuji tentu nisbat kepada seluruh imam dari 3 generasi awal islam yang pertama adalah lebih
boleh dan lebih terbuji.
Jika mengikuti seorang imam di abad ketiga –yang
tidak ma’shum- diyakini benar tentu mengikut seluruh imam pada 3 kurun waktu
yang utama –yang ijma’ mereka ma’shum- lebih dijamin kebenarannya.
Jika mengikuti seorang imam pada abad ketiga tidak
ada perintahnya maka mengikuti para ulama salaf ada banyak perintahnya, bahkan
sebagai tanda golongan yang selamat.
Imam asy’ari bergantung pada salaf, bukan sebaliknya
dan imam asy’ari diukur dengan salaf bukan sebaliknya.
Ahlussunnah, ahli hadits, dan ahli atsar sudah ada
sebelum imam al-Asy’ari lahir, dan tidak menjadi asy’ariyyah setelah imam
al-Asy’ari menjadi imam.
Kelompok salaf, Ahlussunnah, ahli
hadits dan ahli atsar berpegang teguh dengan sunnah dan membenci kalam dan
ahlinya, sementara kelompok asya’irah adalah termasuk ahli kalam dan membela
kalam.
Para ulama salaf sebelum imam al-Asy’ari dan
sesudahnya berwasiat agar mengikuti manhaj salaf as-shalih, yaitu mengikuti
hadits dan atsar dan tidak berwasiat untuk mengikuti asyairah atau ilmu kalam.
Abu Hamzah al-A’war berkata: Ketika maqalah-maqalah
(pemikiran akidah) marak di Kufah saya mendatangi Ibrahim al-Nakha’I (
mufti dan faqih Irak W. 96 ), saya katakan: “Wahai Abu Imran, Tidakkah
anda melihat makalah-makalah yang beredar di Kufah? Maka dia berkata:
أَوَّهْ، دَقَّقُّوْا قَوْلاً
وَاخْتَرَعُوْا دِيْنًا مِنْ قِبَلِ أَنْفُسِهِمْ لَيْسَ مِنْ كِتَابِ اللهِ وَلاَ
مِنْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَقَالُوْا: هَذَا هُوَ اْلحَقُّ
وَمَا خَالَفَهُ بَاطِلٌ، لَقَدْ تَرَكُوْا دِيْنَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم،
إِيَّاكَ وَإِيَّاهُمْ.
“Oh. Mereka merumitkan ucapan dan merekayasa agama
dari nafsunya sendiri, tidak dari kitab Allah juga tidak dari sunnah
Rasul r, lalu mereka mengatakan: Inilah yang benar, dan yang menyalahi
adalah batil. Sungguh mereka telah meninggalkan agama Nabi
Muhammad r . Jauhilah mereka olehmu.” (Hilyatul Auliya’: 4/223)
Bahkan imam Asyari sendiri menisbatkan dirinya kepada
Imam Ahmad imam Ahli hadits, dan setelah menceritakan akidah ahli hadits ahli
sunnah (para salaf shalih) mengatakan:
فهذه جملة ما يأمرون به ويستسلمون
إليه ويرونه، وبكل ما ذكرنا من قولهم نقول وإليه نذهب؛ وما توفيقنا إلا بالله …(
مقالات الإسلاميين: 229)
Intinya, saya ingin mengatakan bahwa istilah
salafiyah dan salafi adalah istilah syar’i yang harus diterima, lebih baik dan
lebih mulia dari pada istilah asya’irah.
1. Perjalanan hidup Imam Asy’ari terdiri
dari 3 marhalah (periode) sebagaimana pembagian Ibnu
Katsîr j (774 H) yang dinukil oleh Murtadhâ Az-Zabidi (1145 H)
dalam Syarah Ihyâ’, yaitu:
Pertama: Marhalah I’tizâl (Mu’tazilah)
yang jelas-jelas sudah beliau tinggalkan (260-300 H).
Kedua : Marhalah menetapkan
sifat-sifat ‘aqliyah yang tujuh yaitu: hayât, ‘ilmu, qudrah, Irâdah,samâ’, bashar dan kalâm.
Serta menakwilkan sifat-sifat khabariyah, seperti: wajah, dua
tangan, qadam(tumit, kaki), sâq (betis, kaki) dan
lain-lain (300 H – + 320 H).
3. .Adapun pernyataan penulis bahwa tesis perjalanan
pemikiran imam Asy’ari yang 3 fase itu disebarluaskan oleh wahhabi (h. 39, maka
ini mengesankan sentimen penulis terhadap wahhabi cukup tingggi, sebab Ibnu
Katsîr j (774 H) dan Murtadhâ Az-Zabidi (1145 H) bukan wahhabi dan
tidak mengenal wahhabi. Juga tidak setiap orang yang mengingkari adanya 3
fase itu bukan salafi, sebab masalah periodesadsi itu ijtihad, yang penting
sepakat bahwa antara kitab-kitab awal pasca mu’tazilah yang belum berintisab
dengan Imam Ahmad dengan kitab-kitab akhir setelah berintisab dengan imam Ahmad
ada perbedaan, yaitu yang akhir lebih kental kepada salaf ahli hadits, dan
menyatakan diri mengikut ucapan mereka.
4. .Ucapan penulis: seandainya kehidupan asy’ari
seperti dalam tesis diatas tentu akan populer dan tersebar luas sebagaimana
halnya informasi keluarnya dari faham mu’tazilah (40). Saya katakan : Justru
itu sudah terjadi, sangat terkenal kalau imam Asy’ari akhirnya menisbatkan diri
kepada imam Ahmad ibn Hanbal ra. Jadi bukan hanya orang lain, justru imam
Asy’ari sendiri yang menyatakan hal itu dalam kitabnya al-Ibanah seperti yang
ada dalam Tabyin Kadzibil Muftari yang ditahqiq oleh
al-Kautsari (hal. 125). Sedangkan di dalam kitab Maqalat beliau
menyatakan mengikut para ulama ahli hadits dan ahli sunnah (maqalat: 226),
serta menyendirikan penyebutan Abdullah ibn Said ibn Kulab dalam hal-hal yang
pemikirannya menyalahi ahli hadits ahli sunnah. (Maqalat halaman 146, 226, 229,
398, 421, 423)
5.Adapun setelah meninggalkan mu’tazilah maka dia
tidak menyatakan ikut Imam Ahmad tapi langsung mengikuti ibnu Kullab,
al-Muhasibi dan al-Qalanisi seperti yang dikatakan oleh Khaldun, (dikutip oleh
penulis hal 42). Semua orang itu ditahdzir oleh Imam Ahmad dan lainnya karena
kalamnya. Dan kitab yang dihasilkan waktu itu adalah kitab seperti al-Luma’
fi raddi ala ahl az-Zaighi wal bida’. Dan itu adalah kitab yang pertama
kali dikarang pasca mu’tazilah seperti dikutip oleh penulis dari Ibn Asakir
(hal. 20)
Penulis kurang transparan saat menyebut “dalam fase
kedua ini al-Asy’ari menulis kitabnya al-Ibanah (50) padahal ia meyakini bahwa
fase kedua ini memanjang dari tahun 300 H hingga 324 atau 330 H), yang tentu
ada puluhan kitab yang dikarang oleh al-Asy’ari selama masa 24 atau 30 tahun
itu. dan yang sudah jelas kitab al-Luma’ adalah kitab pertama dan al-Ibanah
ditulis terakhir, atau diakhir-akhir hidupnya, minimal 20 tahun setelah itu
sebab sampai tahun 320 H, imam al-Asy’ari tidak menyebutkan kitab al-Ibanah
dalam daftar karangannya. Menurut al-Kautsari al-Ibanah ditulis saat memasuki
Baghdad (hamisy Tabyin Kadzibil muftari hal. 289)
6.Klaim bahwa sebagian ulama ahli hadits sebagai
bermanhaj Asy’ariyyah perlu dikritisi dan diluruskan (124-172). Mereka yang
diklaim itu sangat banyak, antara lain: Alhafizh Abu Bakar al-Ismaili (371H),
al-Hafizh al-Daruquthni (385 H),al-Hafizh al-Baihaqi (458 H), al-Hafizh
an-Nawawi (676 H), Ibn Hajr al-Asqalani (852). Jawaban klaim ini ada pada buku
saya Abul Hasan al-Asy’ari Imam Yang Terzhalimi hal. 75-85).
Lima ulama ini bisa sebagai contoh bahwa klaim yang
sama terhadap ulama ahli hadits yang lain perlu dikritisi.
7.Contoh klaim yang serupa adalah bahwa imam Bukhari
(256 H) dan Thabari mengikuti ibnu Kullab (47, 50)
Ini adalah bathil, tidak bisa diterima. Imam
Bukhari adalah Imam al-dunya pada zamannya dan pembawa bendera hadits.
Ini tidak mengherankan sebab ia adalah murid imam Ahmad ra, ibn Ruhawaih, Abu
Nuaim, Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam dan para ulama salaf.
Siapa yang merenungkan kitab Shahihnya dan yang
lainnya pasti mengetahui kalau akidahnya adalah akidah salaf ahlil atsar bukan
kalam. Dia menetapkan shifat-shifat Allah sesuai dengan kesucian Allah tanpa
tasybih, takyif dan tanpa ta’thil. Dalam kitab al-Tauhidnya ia menyebutkan 58
bab dalam menetapkan shifat-sifat Allah. Ia menetapkan nafs, wajh,
‘aibn, yad, syakhsh, syai`, al-qur`an syai`, uluwwillah ala khalqih, istiwa’
ala arsyih, istawa ma’nanya ‘ala, wartafa’a, kalamullah, menetapkan
huruf dan suara untuk kalamullah, dll.
Juga kitabnya yang lain Khalq ‘af’al al-Ibad, warraddu
ala al-Jahmiyyah wa ashhab al-Ta’thil, ia menetapkan bahwa kalamullah itu
dengan suara. Sifat ini secara sepakat diingkari oleh ibn Kullab dan Asyairah
karena dianggap tasybih menurut kaidah mereka bahwa kalamullah itu al-kalam
an-Nafsi. Metode Bukhari dalam kitab Tauhid dan Khalq ‘af’al al-Ibad nyata membatalkan
klaim kullabiyyahnya. Termasuk yang menguatkan adalah tidak satupun imam
bukhari menyebut nama ibn Kullab dalam kitab-kitabnya, juga tidak ucapan
al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Karabisi dan lainnya, tidak dalam shahihnya,
maupun tawarikhnya dan kitab-kitabnya yang lain.[3]
Bahkan ia dia berkata:
من زعم
أني قلت لفظي بالقرآن مخلوق فهو كذاب فإني لم أقله (الالكائي: رقم: 611)
Imam Thabari imamul mufassirin (310 H)
juga demikian, meskipun dia memiliki kitab Sharih as-Sunnah, dan
at-Tabshir fi ma’alimiddin tetap saja mereka klaim sebagai asyairah.
Itu belum lagi dengan kitab tafsirnya. Padahal jelas at-Thabari menetapkan
al-Quran adalah kalamullah bukan makhluk, dan membatalkan akidah asy’ariyyah
yang mengatakan bahwa ada dua al-qur`an: yang satu kalamullah bukan makhluk, yaitu
yang ada pada diri Allah (kalam nafsi, makna), dan yang satunya lagi makhluk,
yaitu (kalam lafzhi) yang diucapkan, dibaca, dan ditulis.
Oleh
karena kita tidak boleh percaya begitu saja dengan klaim-klaim yang lain.
PENILAIAN TERHADAP BUKU
“MADZHAB AL-ASY’ARI, BENARKAH AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH?
bag. 2
8.Klaim Ibn Abdil Barr Asy’ari (133)
Jawabannya ada dalam Jami’ Bayan Al-Ilmi Wa
Fadhlihi tahqiq Abul Asybal Az-Zuhairi, 2/939-943)
9.Untuk membuktikan ibanah yang asli mengikuti ibn
Kullab, dan tidak sama dengan paradigma Hanabilah dulu dan Wahabi sekarang ini
penulis membawakan riwayat yang tidak benar (51-52) bahwa al-Barbahari tidak
menerima al-Ibanah. Kisah ini (al-Barbahari tidak menerima al-Ibanah, kemudian
al-Asy’ari keluar dari Baghdad) dibatalkan oleh imam ibn Ibnu Asakir ra
dalam Tabyin kadzibil Muftari yang ditahqiq oleh al-Kautsari
alhanafi al-maturidi (288). Juga didustakan oleh Ibn Taimiah, Dzahabi, karena
bertentangan dengan fakta bahwa Asyairah dan Hanabilah waktu itu rukun, dan
Asy’ari tidak pernah keluar dari Baghdad hingga meninggal.
10.Penulis mengatakan: Ibnu Kullab konsisten dengan
metodologi salaf, dan bahwa metodologi salaf dan ibn Kullab sama, dan itu yang
diikuti oleh al-Asy’ari (44, 50). Ucapan ini: -bertentangan dengan ucapan imam
Asy’ari; dalam kitab Maqalat al-Islamiyyin. Al-Asy’ari menyebutkanHadza
Dzikr al-ikhtilaf. Lalu dia menyebut perselisihan firaq-firaq yang ada,
termasuk penyebutan Ibnu Kullab dan Ashhab ibn Kullab secara tersendiri
(146,398, 421, 432) sebagaimana menyebut jahmiyyah, murjiah, mu’tazilah syiah
dll., dan kemudian mengkhususkan bab “Hadzihi hikayah jumlah qawl ashhhab
al-Hadits wa ahl as-sunnah (226).
11.Penulis menjelaskan sebab dituduhnya ibnu Kullab
telah menyimpang dari ahlussunnah, dengan mengatakan: “Hal tersebut sebenarnya
berangkat dari persolalan yang sepele yaitu pendapat apakah
bacaan seseorang terhadap al-Qur`an termasuk makhluk atau bukan.” (47-48)
Saya berhusnuzhan bahwa penulis benar-benar tidak
tahu perbedaan antara salaf dan ibnu Kullab, jika tidak berarti benar-benar
memilih untuk menyalahi salaf shalih- dan itu mustahil menurut saya-. Imam
al-Asy’ari dalam al-Maqalat mengatakan bahwa Ibnu Kullab mengatakan bahwa
kalamullah adalah ‘ma’na wahid ( almaqalat,421). Selanjtnya imam asy’ari
mengatakan: “Abdullah ibn Kullab mengklaim bahwa yang kita dengarkan dari para
pembaca al-Qur`an adalah ibarah ‘an kalamillah (ungkapan
dari kalam Allah, bukan kalam Allah itu sendiri, jadi konsekuensinya al-Qur’an
yang bisa dibaca ini adalah makhluk), …. dan makna firman Allah yang artinya:
“Maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar
firman Allah.” (At-Taubah: 6) artinya hingga ia memahami kalam
Allah[1], dan mengandung kemungkinan menurut madzhabnya, artinya adalah: hingga
ia mendengar para pembaca al-Qur`an membacanya.”
Jadi menurutnya kalam Allah itu tidak bisa didengar
dan tidak bisa dibaca. Yang bisa didengar dan dibaca itu ibarat-ibarat
(ungkapan-ungkapannya), dan ungkapan-ungkapan ini berbeda dan berubah, maka ia
makhluk.
Apakah ini masalah sepele menurut para ahli hadits
dan salaf shalih? Tentu tidak. Ini masalah besar. Menurut imam al-Asy’ari, para
ahli hadits ahli sunnah itu mengatakan: “Barang siapa mengatakan dengan lafazh atau waqf maka
ia ahli bid’ah menurut mereka.” (Maqalat, hal. 227)
Imam Ahmad, yang imam Asy’ari mengaku mengikuti
aqidah beliau mengatakan: “Kaum waqifah adalah mereka yang
mengklaim bahwa al-Qur`an itu kalamullah, dan mereka tidak mau mengatakan:
“Bukan makhluk”. Mereka kelompok yang paling jahat dan buruk. Sedangkan lafdziyyah adalah
mereka yang mengatakan bahwa al-Qur`an itu kalamullah tetapi lafazh kita dengan
al-Qur`an ini dan bacaan kita terhadapnya adalah makhluk. Mereka ini adalah
kaum jahmiyyah fasiq.” (Risalah as-Sunnah, milik Imam Ahmad, dicetak
bersamaal-Radd ala al-Jahmiyyah waz-zanadiqah, hal. 82)
Para ulama ahlus sunnah mengingkari Ibnu kullab
karena bid’ah-bidahnya:
1. kalamullah adalah kalam nafsi, la yata’aallaq
bilmasyiah
2. kalamullah adalah makna wahid (amr, nahy, khabar,
istikhbar, nida`)
3. al-Qur`an al-Arabi bukan kalamullah yang Dia
berbicara dengannya. Dan al-Qur`an yang diturunkan bukan kalamullah melainkan
hikayat atau ibarat dari kalamullah. (jika mu’tazilah mengatakan: al-Quran
kalamullah tapi ia makhluk, maka ibn Kullab dan pengikutnya
mengatakan: al-Qur`an al-Arabi makhluk, dan bukan kalamullah)
4. Taurat, Injil, dan al-Qur`an adalah satu hanya
beda ‘ibaratnya (ungkapannya)
5. Allah tidak mampu untuk berbicara, dan tidak berbicara
sesuai dengan kehendak dan keinginnannya.
6. Pembicaraan Allah kepada makhluk yang ia kehendaki
tidak lain hanyalah khalq idrak(penciptaan pemahaman makna untuk
mereka)
Jadi ini masalah serius. Orang yang mengatakan sepele
pasti tidak keberatan menerima penjelasan salaf shalih ahlussunnah, karena
sepele. Tetapi kalau keberatan dan menolaknya berarti tidak sepele, dan ia
termasuk pengikut ibnu Kullab bukan pengikut safal shalih ahli sunnah.
Keyakinan manusia sebelum ibn kullab tentang
Kalamullah ada dua:
Pertama: ahli sunnah dari salaf shalih
dan ahli hadits mengatakan: “Allah memiliki sifat kalam, Dia berbicara jika
berkehendak dan kapan berkehendak. Dia telah berbicara kepada Musa, dan akan
berbicara kepada hamba-hamba-Nya pada hari kiamat. Al-Qur`an ini kalamullah
bukan makhluk- ini mencakup huruf dan maknanya.”
Kedua: ahli bid’ah dari Mu’tazilah dan
Jahmiyyah mengatakan: kalamullah makhluk, yang Dia ciptakan pada selain-Nya.
Oleh karena itu mereka mengatakan dengan kemakhlukan al-Quran.
Tidak ada pendapat ketiga hingga datang Ibn Kullab
yang mengatakan: Kalamullah qadim, makna wahid, la
yata’allaq bimasyiatillah wairadatih.” Lalu datang asy’ariyyah mengatakan:
kalam Allah yang bersifat makna itu azali qadim binafsihi, la harf wa
la shaut. Adapun lafazh dan huruf yang di al-qur`an maka ia adalah kalam
lafdzi, ia makhluk, diciptakan untuk mengungkap makna. Kalam nafsi qadim bukan
makhluk (ini yang mereka klaim sesuai dengan salaf, ahl sunnah) dan yang
kedua hadits makhluk (ini yang nyata sesuai dengan mu’tazilah
jahmiyyah muaththilah)
Dengan demikian:
- ucapan ibn Kullab dan pengikutnya bid’ah dalam
Islam, menyalahi Ijma’.
- klaim asyairah bahwa ucapan mereka sesuai dengan
salaf adalah tidak benar, karena madzhab salaf sangat terkenal sebelum ibn
Kullab. Oleh karena itu pengingkaran salaf terhadap ibn kullab sangat keras.
- Kemudian pengikut ibn Kullab (dalam menolak sifat
ikhtiyariyyah, dan mengatakan kalamullah qadim, azali qaim binafsihi, makna
wahid) terbagi menjadi dua kelompok:
*Asy’ariyyah; persis seperti ibn Kullab, hanya
saja Asy’ari mengatakan ibarat kalamullah bukan hikayat kalamullah
seperti ibn Kullab, azaliyyatul amr wan nahy, dan makna wahid Cuma satu sifat,
sementara ibn Kullab mengatakan memiliki 5 sifat).
*dan Salimiyyah; menjadikan huruf dan
suara azali. Ini agar sesuai dengan ibn Kullab dalam menolak sifat
ikhtiyariyyah dari Allah, dan agar sesuai dengan jumhur bahwa kalam itu lafazh
dan makna. Masing-masing dari mereka saling mencela. Ini menunjukkan kebatilan
masing-masing.
- batalnya klaim ijma’ mereka atas kebenaran ucapan
mereka.
Yang benar adalah salaf shalih dan pengikutnya yang
mengatakan:
- الكلام
صفة قائمة به تعالى تقتضي أن يتكلم بما شاء إذا شاء ومتى شاء، بها الأمر والنهي
والوعد والوعيد والخبر والإنشاء
- والقرآن
كلام الله تعالى تكلم به حقيقة لم يخلقه في غيره، فهو كلامه حقيقة أنزله على رسوله
محمد صلى الله عليه وسلم
- لم
ينقل عن أحد من السلف أن القرآن قديم بقدمه تعالى كقدرته وإرادته وكذالك لم ينقل
عنهم أنه مخلوق
12.Penulis meyakini bahwa aliran wahhabi
(salafi) itu disepakati sebagai kelangsungan dari aliran
khawarij pada masa awal-awal islam, yang membawa pengkafiran dan penghalalan
darah kaum muslimin selain golongannya. Lalu ia menguatkan ucapannya ini dengan
ucapan syaikh Ahmad al-Shawi yang ada dalam Hasyiayah alal Jalalain (237).
Dia menulis: “Diantara pendapatnya (maksudnya syaikh
abdul wahhab) yang keluar dari ijma’ ulama adalah pengkafiran seluruh kaum
muslimin pada masanya karena tidak mengikuti ajarannya, pengkafiran orang yang
melakukan istighatsah dengan nabi atau wali yang sudah meninggal…(241)
Dia juga menulis: “Paradigma pengkafiran wahhabi
terhadap kaum muislimin dapat dibaca dalam buku-buku resmi wahhabi seperti
Kasyf Syubuhat Al-Musytabihat karya Muhammad Ibn Abdul Wahhab (Riyadh, Dar
Zamzam 1414)…Addurar As-Saniyyah ..(283)
Pertama: Seharusnya penulis mengetahui bahwa
konsekuensi dari ucapannya ini justru syaikh al-Shawi lah (dan banyak dari
Asyairah) yang mengkafirkan kaum muslimin-. Dia mengkafirkan seluruh ulama
salaf shalih dan umumnya kaum muslimin yang diatas fithrah dan tidak mengenal
takwil ahli Asya’irah, yang mengimani al-Qur`an dan as-Sunnah apa adanya tanpa
takwil asy’ari, dengan mengatakan bahwa“mengambil lahiriyyah al-Qur`ân
dan as-Sunnah adalah termasuk ushûlu `l-Kufr (pangkal
kekufuran)”.[2] Sebab sudah kita maklumi bahwa madzhab salaf shalih
adalah mengimani lahiriyyah nushush dengan tetap mensucikan Allah dari
kekurangan dan keserupaan dengan makhluk.
Maka Ibnul Qayyim mengatakan bahwa kaedah: “Apabila
ada pertentangan antara akal dengan naql maka akal harus
didahulukan dan dimenangkan.”Adalah thaghut kedua,
setelah thaghut pertama yaitu “Dalil-dalil lafzhiyyah tidak
memberi makna yang yakin.”[3] Lalu Ibnul Qayyim membantahnya
dengan 126 bantahan.[4] (baca buku Abul
Hasan Al-Asy’ari Imam Yang Terzhalimi, hal. 109-112)
Kedua: menghukumi wahhabiyyah atau
salafiyyah sebagai kelanjutan khawarij adalah gegabah dan zhalim. Klaim pengkafiran
seluruh kaum muslimin pada masanya karena tidak mengikuti ajarannya adalah
propaganda yang dilancarkan oleh musuh-musuhnya untuk menjelekkan citra syaikh
dan dakwah tauhid.
Beliau berkata:
” وأما القول إنا نكفر بالعموم فذلك من بهتان
الأعداء الذين يصدون به عن هذا الدين ونقول سبحانك هذا بهتان عظيم ” الرسائل
الشخصية 15/101
“وقوله : إني أكفر البوصيري لقوله يا أكرم
الخلق، وقوله إني أقول لو أقدر على هدم حجرة الرسول لهدمتها ولو أقدر على الكعبة
لأخذت ميزابها وجعلت لها ميزاباً من خشب، وقوله إني أنكر زيارة قبر النبي صلى الله
عليه وسلم، وقوله إني أنكر زيارة قبر الوالدين وغيرهم وإني أكفر من يحلف بغير الله
فهذه اثنتا عشرة مسألة جوابي فيها أن أقول : ((سبحانك هذا بهتان
عظيم )) ” . الرسائل الشخصية 11/64
Ketiga: masalah isthighatsah kita muat
serial makalah tentang itu di Qiblati, sampai serial ke-5 belum ada yang masuk, kita berharap
dengan adanya acara ini akan ada dialog ilmiah di sana.
Keempat: yang ada di dalam kitab Kasyfu
As-Syubuhat misalnya bukan pengkafiran kaum muslimin tetapi ajakan kepada
tauhid; penyembahan kepada Allah semata dan penjelasan tentang syiriknya
perbuatan menjadikan perantara antara manusia dan Allah, yang mana mereka
bertaqarrub kepada wasithah tersebut apakah ia nabi, malaikat, wali, pohon,
kuburan atau jin. Syaikh mengajak agar do’a, nadzar, sembelihan, itstighatsah
dan seluruh ibadah agar ditujukan kepada Allah semata. Kemudian syaikh
membantah syubhat-syubhat yang dipakai oleh orang-orang untuk membenarkan
syirik mereka.
13.Tuduhan diantara kesesatan ibn Taimiyah adalah
ucapannya wujud alam ini qadim (239)
Tuduhan
ini tidak benar. Baca Minhaj as-sunnah 1/299; 1/212, Muwafaqat
Shahih al-Manqul li sharih al-Ma’qul, 1/275)
14.Ada banyak fakta yang membuktikan kebersihan ibn
taimiyah dari tuduhan itu dia mengkafirkan Ibn Sina dan para Failasuf karena
meyakini alam qadim,
Tuduhan pembantaian wahhabi terhadap kaum muslimin
(282):
pertama: ini masalah sejarah
konflik/perselisihan dan pertikaian yang terjadi diantara umat Islam, dan kita
tidak menyaksikannya maka kita tidak layak menghukumi begitu saja, atau
sepihak.
kedua : jika kita menghukumi
begitu saja maka juga ada informasi yang menunjukkan bahwa madzhab asy’ari
menyebar di Afrika dan Andalus dengan paksaan, ancaman dan kekerasan. Yaitu
setelah lengsernya daulah al-Murabithin dan berkuasanya kaum zindik Tumartiyyin
al-Muwahhidin. Tidaklah tersebar Asy’ariyyah disana kecuali dengan besi dan api
setelah pembantaian yang dilakukan oleh para pengikut ibn Tumart (524 H), yang
dia itu adalah murid abu Hamid Ghazali as-Shufi al-Asyari, terhadap ahlus
Sunnah Waljama’ah (Salafiyyin) di awal abad ke-6 H. Mereka menyebut dirinya
Muwahhidin karena mereka mengkafirkan kebanyakan kaum muslimin yang mereka
anggap mujassimin. Mereka membantai ribuan kaum muslimin yang sunni, dst.
15. Tuduhan, ibn Taimiyah meyakini kefanaan neraka
(240) adalah batil.
Baca
: Mukhtashar al-Fatawa al-Mishriyyah, hal. 177; Majmu’ Fatawa:
18/307; disebut oleh al-Abani dalam mukadimah Raf’ al-Astar Liibthal
Adillah al-Qailin bifana` anNar.
PENILAIAN TERHADAP BUKU
“MADZHAB AL-ASY’ARI, BENARKAH AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH?
bag. 3
1. Asy’ari dan Maturidi sama
Penulis mengatakan: ideologi madzhab al-Maturidi sama
dengan ideologi madzhab al-Asy’ari. perbedaan antara keduanya hanya bersifat
verbalistik (lafdzi), tidak prinsip dan substantif (hakiki dan maknawi)(112)
Ini bertentangan dengan kenyataan, jika kenyataan ini
dibuka (oleh mereka) maka yang namanya firqah najiyah pasti salah satu dari
mereka (menurut mereka), karena firqah najiyah Cuma satu bukan firqatan.
Pertama: al-Maturidiyyah sama dengan
muktazilah mengatakan bahwa ketika Allah berbicara kepada Musa Allah
menciptakan kalam di pohon. Jadi Musa bukan mendengar ucapan Allah tapi ucapan
dari pohon.Ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi. Kata Imam Baihaqi: imam Asyari
sangat mengingkari ucapan ini dan menjelekkan sekali serta membantahnya dengan
keras. (Al-Baihaqi, al-I’tiqad, tahqiq Ahmad isham, 96) Dalam hal
kalam Maturidiyyah berkata: Kalamullah tidak bisa didengar, yang didengar
adalah ibaratnya. Musa mendengar huruf yang diciptakan oleh Allah yang
menunjukkan atas kalamnya. Sementara asy’airah: kalamullah yang an-nafsi itu
bisa didengar yaitu dengan diciptakannya idrak pada diri
pendengar.
Kedua: As-Subki merasa keberatan dan
sewot saat kaum hanafiyyah maturidiyyah mengkafirkan ulama syafiiyyah
(asyairah) dengan fatwa mereka yang tidak membolehkan shalat di belakang
syafi’iyyin karena mereka mengakui ucapan ana mukmin inysaallah,
dan syafi’iyyah menjadi kafir karena itu. Ini diceritakan az-zabidi dalam
al-Ithaf (2/278) juga mereka melarang di belakang asyairah karena mereka
mengatakan kemakhlukan iman.
Ketiga: Muhammad abu zahrah bersaksi:
Banyak orang meyakini bahwa khilaf antara Asyairah dan Maturidiyyah tidak
besar, akan tetappi ketika dikaji secara mendalam pandangan-pandangan
al-Maturidi dan al-Asy’ari yang terakhir kita dapatkkan ada perbedaan dalam
berfikir, yang satu memberikan dominasi untuk akal lebih dari yang lain.
(maksudnya maturidiyyah yang lebih dekat ke mu’tazilah.) ) Tarikh al-Madzahib
al-Islamiyyah, 176)
Keempat: ibn Hajar al-Makki dan Mulla
Ali Qari berkata: Shifat aaf’al haditsah menurut asyairah dan qadimah menurut
maturidiyyah (ithaf sadah, 2/158)
Kelima: Imâm Ahmad al-Faruqi
as-Sarhindi an-Naqsabandi al-Hanafî al-Mâturidîy (w. 1034 H) mengatakan: “Madzhab Asy’arîy
disebut Jabr Mutawassith (Jabariyyah sedang/pertengahan),
tetapi pada hakikatnya adalah Jabariyyah, karena manusia tidak mempunyai
ikhtiar (pilihan) sama sekali menurutnya.”[1]
Keenam:Ada banyak kitab yang
ditulisuntuk menjelaskan khlifaf antara dua firqah ini. yang saya tahu ada 16 judul
kitab.
Sebenarnya pertentangan ini bukan hanya maturidi vs
asy’ari, tapi juga asy-ari vs asy’ari, misalnya Ad-Dasuki berkata:
“Hendaklah murid yang baru belajar waspada agar tidak menggunakan potensinya
untuk mengambil pokok-pokok ajaran agamanya dari kitab-kitab yang dipenuhi
dengan ucapan para filosof dan yang penulisnya senang mengutip hawa (nafsu)
mereka, akidah mereka yang nyata-nyata kufur yang mereka tutupi kenajisannya
dengan istilah-istilah dan ungkapan-ungkapan yang kebanyakannya adalah
istilah-istilah tanpa makna, seperti kitab-kitab Fakhrur Razi dalam
ilmu kalam dan kitab Thawali’ al-Anwar milik al-Baidhawi serta
orang-orang yang mengikuti langkah mereka berdua
dalam hal itu. Dan jarang selamat orang yang suka berkawan dengan ucapan para
filosof, atau jarang yang memiliki cahaya iman di hatinya, atau lisannya.
Bagaimana akan selamat orang yang loyal pada orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya.”[2]
Yang dimaksud dengan orang-orang yang mengikuti
ar-Razi dan al-Baidhawi menurut Dasuki adalah seperti al-Armawi (656),
as-Sa’ad at-Taftazani, Adhud din al-Iiji, dan Ibnu Arfah.
1. Ciri Ahlussunnah:
Gus idrus berkata: Apabila anda ditanya, apakah ciri
khas akidah ahlussunnah waljama;ah” maka jawabannya adalah: ahlussunnah
waljama’ah meyakini bahwa Allah itu ada tanpa arah dan tanpa tempat.
(178)
Pertama: Sunnguh ini ciri yang aneh, tak
terpikir oleh orang yang fitrah dan berakal sehat.
Seandainya gus menjawab misalnya: yaitu orang yang
berpegang teguh dengan al-Quran dan Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf shalih
(sahabat dan para imam ahli hadits) Tentu semua orang menerima dan faham.
Atau seandainya gus menjawab: yaitu orang yang
mencintai sunnah dan membenci bid’ah, tentu orang faham dan menerima.
Atau: yaitu orang yang bertauhid kepada Allah dalam
ibadahnya, tidak berbuat syirik sedikitpun, dan mengikuti ajaran rasul-Nya.
Atau orang yang berpegang teguh dengan al-Quran dan
sunnah dan tidak mendahulukan akal manusia atasnya.
Atau yang berprinsip “kami beriman semua yang datang
dari Allah, baik yang muhkam maupun yang mutasyabih.
Atau yangberprinsip bahwa sumber agama adalah
al-Quran dan as-Sunnah, atau wahyu. atau yang mengatakan bahwa Allah itu di
atas Arsy.
Atau prinsip lain dari prinsip-prinsip ahlussunnah,
tentu benar dan mudah difahami.
Sesungguhnya ciri ahlussunnah adalah mengikuti manhaj
Nabi dan sahabatnya:
ما أنا عليه وأصحابي
Yang intinya adalah at-Taslim al-mutlak kepada
Allah dan Rasul-Nya, bukan taslim al-muqayyadatau yang bersyarat
Abu Bakar ash-shiddiq berkata
tentang isra` mi’raj: “jika ia (muhammad) telah mengatakan hal itu
maka ia benar.”
Az-Zuhri berkata:
من الله الرسالة ومن رسوله البلاغ
وعليناالتسليم
Kedua: ciri ahlussunnah dalam asma dan
sifat, al-itsbat ma’ at-tamnzih, dengan menolak takwil ahli kalam
(tahrif), ta’thil atau tasybih.
Rabi’ah berkata:
الاستواء
غير مجهول ، والكيف غير معقول ، ومن الله الرسالة وعلى الرسولالبلاغ وعلينا
التصديق
Imam Malik berkata:
الاستواء
غير مجهول (معلومٌ) ، والكيف غير معقول(مجهولٌ) ، والإيمان بـــه واجبٌ ، والسؤال
عنه بدعةٌ “.
Imam syafii berkata:
آمنت
بالله وبما جاء عن الله علىمراد الله وآمنت برسول الله وما جاء عن رسول الله على
مراد رسول الله صلىالله عليه وسلم
Abu Ja’far at-Turmudzi saat
ditanya tentang makna hadits nuzul yang mutawatir itu menjawab:
النزول
معقول والكيف مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة.
Abu ja’far ini adalah Muhammad ibn Ahmad ibn Nashr,
termasuk pembesar fuqaha` syafi’iyyah, dipuji oleh Daruquthni dan lainnya. Dia
menjawab dalam hadits nuzul seperti imam Malik menjawab dalam istiwa`.
Begitulah dalam seluruh sifat.[3]
Ketiga: Atsar di halaman (178) itu
ternyata dinisbatkan kepada Ali Ibn Abi Thalib oleh al-Kulaini ar-Rafidhi dalam
kitab al-Kafi, dalam bab Al-Kaun Wal-Makan. Seperti dimaklumi syiah dalam
akidah akhirnya mengikut mu’tazilah. Sedangkan dari Asyairah diriwayatkan tanpa
sanad oleh Abdul Qahir al-Baghdadi al-asy’ari dalam al-Farq bainal
firaq. Seandainya kita tanya: siapa diantara ulama salaf yang mengatakan
riwayat ini? Karena riwayat ini hanya disampaikan oleh Abu Manshur al-Baghdadi
al-Asy’ari, ia bukan ahli hadits. Bagaimana termasuk ahli hadits, karena ia
telah mensyaratkan hadits shahih itu harus sesuai dengan akal, jika tidak maka
ditolak (Ushuluddin: 23), begitu judul bukunya meskipun lebih pas kalau disebut
Ushulul Kalam. Seandainya Imam Syafi’i hidup tentu sudah ditahdzir sebagaimana
Hafsh al-Fard. Ini dari segi sanad adapun dari segi matan maka bertentangan
dengan pujian Allah terhadap diri-Nya dalam 7 ayat dari firman Allah dalam
surat al-A’raf, Yunus, ar-Ra’d, Thaha, al-Furqan, as-Sajdah, dan al-Hadid.
{إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ
السَّمَاوَاتِوَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى
الْعَرْشِيُدَبِّرُ الأَمْرَ مَا مِن شَفِيعٍ إِلاَّ مِن بَعْدِ إِذْنِهِ
ذَلِكُمُاللّهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ} (3) سورة يونس
1. Tuduhan Madzhab Salaf Adalah Tafwidh (208)
Ini salah kaprah, hingga banyak yang mengatakan
demikian. Letak kesalahannya adalah orang-orang ahli bid’ah dari orang-orang
yang terpengaruh oleh filsafat yang mengunggulkan metode khalaf (kalam, takwil)
atas cara beragama kaum salaf shalih (iman, taslim) mengira bahwa manhaj salaf
itu hanya sekedar mengimani lafazh-lafazh al-Qur`an dan hadits tanpa fiqih
(pemahaman) untuk itu, persis seperti ummiyyin yang disebut oleh Allah swt:
“Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak
mengetahui Al kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya
menduga-duga.” (Al-Baqarah: 78)[4]
Metode khalaf adalah memengeluarkan makna-makna nash
yang dipalingkan dari hakikatnya dengan berbagai macam majaz dan bahasa yang
aneh. Ini jelas persangkan yang rusak mengakibatkan ucapan seperti tadi yang
intinya mencampakkan Islam di balik punggungnya. Mereka telah berdusta atas
salaf dan telah salah dalam mentarjih manhaj khalaf, sehingga menghimpun
dua jahl: jahl terhadap salaf dengan berdusta atas mereka dan jahl
serta dhalal dengan membenarkan dan mengunggulkan manhaj khalaf.
Sudah barang tentu hukum atas sesuatu adalah cabang
dari persepsinya. Ketika tidak bisa menangkap hakikat madzhab salaf, dan mereka
telah mempersepsikannya kemudian tidak menarik hatinya maka mereka mencari
alternatif yang lain.
Diantara yang membantu terbentuknya pemahaman yang
salah ini terhadap manhaj salaf adalah adanya sebagian lafazh yang didapat dari
salaf tentang nash-nash sifat. Jika Allah swt mengabarkan dalam al-Qur`an bahwa
orang yang di hatinya ada zhaigh (penyimpangan) pasti akan
mengikuti apa yang mutasyabih dari padanya. Tasyabuh khusus ini adalah bersifat
relatif; kadang tersamarkan atas sebagian orang dan tidak tersamarkan atas yang
lain. Meskipun demikian mereka tetap mengikuti yang mutasyabih dengan ditakwil
dan ditahrif. Apabila ini terjadi dalam kalam Allah, tentu akan lebih terjadi
dalam kalam selain Allah. Inilah sebenarnya yang terjadi pada mereka, yaitu
menjadikan ungkapan-ungkapan salaf yang musytabihat sebagai pendorong bagi
orang-orang yang di hatinya ada zaigh untuk mencari fitnah dan mencari
takwilnya.
Diantaranya adalah apa yang diriwayatkan dari salaf
dari perintah untuk sukut, kaff dan imrar.
Begitu pula yang datang dari salaf berupa penafian makna dan larangan
menafsirinya, serta cukup dengan membacanya. Para salaf itu menginginkan makna
yang hak, tetapi selain mereka menggunakannya untuk makna batil.[5]
Jadi sebenarnya ada kelompok mufawwidhah ahli
bid’ah yang muncul karena faktor-faktor:
1. Pemahaman yang salah terhadap madzhab salaf
2. Prinsip-prinsip yang diambil dari filsafat Yunani
3. “Khawatir terhadap akidah orang awam. Faktor ini
mengandung kerusakan:
pertama: pembagian manusia dalam masalah
akidah menjadi ulama dan awam tidak memiliki sandaran syar’I dari Allah maupun
petunjuk dari Rasulullah saw. Beliau mengajak bicara seluruh manusia, yang arab
dan yang ajam yang terpelajar dan yang ummi tentang satu hakikat (al-A’raf: 58)
kedua: mengandung unsur merendahkan
orang awam dan membodohkannya terhadap tujuan penciptaannya yang paling mulia
yaitu mengenal Allah dan menyembahnya
ketiga: mengandung perendahan terhadap madzhab salaf,
dan menisbatkan pembodohan manusia kepada mereka, dan memalingkan manusia dari
ilmu tentang sesembahan mereka.
ditambah dengan faktor manusiawi secara umum yaitu
1. Kebodohan dan anggapan bahwa tafwidh adalah madzhab
yang benar
2. Keinginan untuk keluar dari perselisihan. Sebagian
orang jika melihat dalil-dalil dua kelompok dan sulit memahami serta tarjih
maka akan bersikap tafwidh (menyerahkan) sebagai solusi.
1. Prinsip-prinsip akliyyah yang diserap dari filsafat
Yunani
Para ahli kalam itu telah menimba sebagian teori dari
filsafat dan manthiq lalu menjadikannya sebagai ushul (prinsip) untuk bertahkim
kepadanya dan mendahulukannya atas al-Qur`an dan as-Sunnah. Sebabnya mereka
meyakini bahwa tidak ada sifat yang ditunjukkan oleh nash-nash itu berdasarkan
syubhat-syubhat yang rusak yang mereka telah bersekutu dengan dengan para
failasuf kafir. Tatkala mereka meyakini ketiadaan sifat pada dirinya, sementara
nash-nash itu harus memiliki makna maka mereka terus bimbang antara iman dengan
lafazh dan menyerahkan maknanya kepada Allah- dan ini yang mereka sebut sebagai
manhaj salaf- dan antara mengarahkan lafazh tersebut kepada makna-makna dengan
semacam takalluf-pemaksaan- inilah yang mereka sebut sebagai manhaj khalaf.
Akhirnya kebatilan ini tersusun dari rusaknya akal dan kufur dengan as-sam’
(al-Naql). Karena penafian makna itu mereka dasarkan pada perkara-perkara
akliyyah yang mereka sangka sebagai bayyinat (bukti nyata) ,
padahal ia adalah syubhat. Kemudian as-sam’ mereka selewengkan
dari tempatnya.
Ketika perkara mereka ini telah
terbangun di atas dua mukaddimah yang kufur dan dusta ini maka hasilnya adalah:
menganggap bodoh para as-sabiqunal awwalun, dan meyakini mereka adalah kaum
yang ummiyyun, seperti orang-orang shalih yang awam, tidak menyelami
hakikat ilmu tentang Allah, dan tidak mengerti atau menyadari rincian ilmu
ilahi, dan bahwasanya kaum khalaf yang mulia mendapatkan bagian yang terdepan
dalam masalah ini.
Diantara prinsip yang dipakai ahli kalam asyairah dan
diwariskan di kitab-kitab mereka adalah dan digunakan untuk membangun akidah
mereka dalam menafikan sebagian sifat-sifat Allah, kemudian mentakwilnya atau
mentafwidhkannya adalah:
Pertama:ucapan penafian hulul al-hawadits (adanya
kejadian baru pada diri Allah), agar mereka dapat menolak sifat-sifat fi’liyyah
seperti istiwa` dan nuzul
Kedua: ucapan penafian jismiyyah,
agar mereka dapat menolak sifat-sifat khabariyyah seperti wajah,
dan yadain
Ketiga: Ucapan penafian tahayyuz (tempat)
dan jihah (Arah) agar mereka dapat sampai kepada penafian
sifat al-uluw dan al-fawqiyyah.
Karena mengikuti filsafat Yunani itulah akhirnya Gus
Muhammad Idrus Ramli menganggap Hanabilah (pengikut imam Ahmad), Ahli hadits,
Hasyawiyyah dan Musyabbihah, yang mendahulukan teks dan mengabaikan rasio akan
membawa pada kejumudan (8-9) dan tidak layak jadi ahlussunnah atau mewakili
ahli sunnah, hatta menjadi pengikutnya saja tidak layak. Mari
kita baca halaman (239):
“Sikap mengikuti ijma’ ulama tersebut, merupakan
realita dalam madzhab asy’ari dan al-Maturidi, karena dalam menetapkan
hukum-hukum agama, para ulama yang mengikuti madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi
selalu menggunakan dalil al-Qur`an, sunnah, ijma’, dan qiyas secara sempurna.
Sedanghkan aliran aliran yang lain, pasti menolak sebagian dari dalil-dalil
tersebut. Oleh sebab itu madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi layak disebut ahlus
sunnah waljama’ah atau al-firqah an-najiyah.
Berkait dengan ijma’ ulama, aliran-aliran yang
mengikuti paradigma pemikiran ibn Taimiah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad
Abduh, Muhammad Rasyid Rida, Ibn Baz, al-Albani, Abu Bakar al-Jazairi,
al-Utsaimin, al-Fauzan, Muqbil al-Wadi’I, Rabi’ al-Madkhali, dan tokoh-tokoh
wahhabi lainnya agaknya kurang layak dikatakan sebagai pengikut Ahlussunnah
waljama’ah atau al-Firqah an-Najiyah, karena pendapat-pendapat mereka banyak
keluar dari mainstream al-Qur`an, sunnah, Ijma’.”
Kita katakan: Para pengikut ijma’ sahabat dan manhaj
salaf dikatakan bukan Ahlussunnah sementara pengikut ilmu kalam dan filsafat
yang keluar dari ijma’ salaf disebut ahlussunah? Ini tentu hukum yang tidak
benar. Kita jadi ingat ucapan Abu Hatim al-Razi ():
علامة أهل البدع: الوقيعة في أهل الأثر. وعلامة الزنادقة: تسميتهم أهل الأثر حشوية،يريدون
بذلك إبطال الآثار. وعلامة
القدرية: تسميتهم
أهل السنة مجبرة. وعلامة
الجهمية: تسميتهم
أهل السنة مشبهة.وعلامة
الرافضة: تسميتهم
أهل الأثر ناصبة.
[1] Ibid, hal. 100
[2] As-Sanusi, Ummul
Barahin, bersama Hasyiyah Dasuki, Dar Ihya` al-Kutub
al-Arabiyyah, Indonesia, tt., hal. 70-71.
[3] Muhammad
ibn Ahmad ibn Abdul Hadi, al-Sharim al-Munki firraddi alaas-Subki, 221.
[4] Kebanyakan
bangsa Yahudi itu buta huruf, dan tidak mengetahui isi Taurat selain dari
dongeng-dongeng yang diceritakan pendeta-pendeta mereka.
========================================================
TANGGAPAN :
Pertama-tama perlu kami sampaikan bahwa para Ulama
terdahulu – sejak abad ketiga hingga sebelum datangnya Ibnu Taimiyah – pada
umumnya apabila disebut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, maka yang mereka tuju
adalah para pengikut Al Imam Abul Hasan Al Asy’ari (Wafat tahun 324 H) dan Imam
Abu Manshur Al Maturidi (Wafat tahun 333 H). Demikian pula hingga saat ini
mayoritas Ulama menganggap bahwa para penganut Theologi Asy’ari inilah yang
disebut Ahlsu Sunnah Wal Jama’ah. Sebut
saja tokoh tokoh Ahli Tafsir seperti Al Imam Al Qurtubi dan Al Imam Jalaluddin
As Suyuthi atau seperti para penyusun kitab Hadis seperti Al Imam Al Baihaqi
atau para Hafizh semisal Al Imam Ibnu Hajar Al Asqallani atau Ulama Fiqh
seperti Al Imam An Nawawi atau ahli
Tasawwuf seperti Al Ghazali dan Mujahid seperti Shalahuddin Al Ayyubi,
mereka semua adalah penganut Madzhab Asy’ari. Namun semenjak kedatangan Ibnu
Taimiyah (Wafat tahun 728 H) gelar Ahlus
Sunnah dicoba “direbut” dan dinisbatkan kepadanya. Ini fakta sejarah yang tidak
seorang pun mengingkarinya. Karena “pengambil alihan” inilah maka dipandang
wajar apabila mayoritas Ulama menganggap bahwa Ibnu Taimiyah itu bukan Ahlus
Sunnah karena ia menyimpang dari konsep Akidah Asy’ariyah yang merupakan anutan
pada umumnya Ummat Islam. Pada masa berikutnya konsep Ibnu Taimiyah ini diikuti
oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (Wafat tahun 1206 H) yang telah kita bicarakan
sekilas pada tulisan yang lalu. Sekali lagi kami tidak akan pernah melibatkan
diri lebih jauh mana yang lebih berhak menggunakan label tersebut. Memang karena kepandaiannya, negara lain mengklaim
sebagai pemilik hak paten tempe, padahal Bangsa Indonesia-lah yang pertama
memproduksinya karena jauh sebelum bangsa mana pun membuat, bangsa Indonesia
telah terlebih dahulu mengkonsumsinya.
Tentang masalah kitab “Al Ibanah”. Al Imam Al Asy’ari memang menulis banyak kitab
seperti Maqalat Islamiyyin, Al Luma’
Fi Ar Radd ‘Ala Ahl Az Zaigh Wa Al Bida’, Ar Radd ‘Ala Al Mujassimah, Risalah
Fi Al Iman, Imamat Ash Shiddiq, Maqalat Al Mulhidin, Al Asma Wa Al Ahkam
dan lainnya – menurut Az Zarkali mencapai lebih kurang 300 judul kitab – salah satunya adalah kitab Al Ibanah,
nama lengkapnya Al Ibanah ‘An Ushul Ad Diyanah. Namun mengenai kitab ini terdapat sekurang-kurangnya
dua versi yang sedikit agak berbeda.
Adapun para penganut aliran Wahhabi ketika berbicara tentang Al
Imam Al Asy’ari – sepengetahuan kami – memiliki target tersendiri berbeda
dengan yang biasa dilakukan Ummat Islam pada umumnya. Berpijak kepada pemikiran
Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab, mereka mengecap Al Imam dan para pengikutnya sebagai penganut
aliran sesat. Dan berkaitan dengan kitab Al Ibanah itu mereka pun
mempergunakan naskah yang tidak sama dengan yang diakui outentisitasnya oleh
kalangan Ummat Islam yang mengaku sebagai Asy’ariyah, tentu saja untuk menopang
madzhabnya. Setelah itu mereka berkata: “Madzhab
kamilah yang benar dan Asy’ariyah itu sesat menyesatkan”. Atau pada
kesempatan lain “Imam Asy’ari telah telah melalui tiga tahap pemikiran dan
pada akhirnya rujuk kepada Madzhab Salaf” (dan yang dimaksud Salaf dalam
versi ini adalah memberikan pemaknaan terhadap segala ayat mutasyabihat dengan
padanan katanya seperti yang dilakukan teman teman Wahhabi, bukan Salaf Ulama
generasi terdahulu yang cenderung membiarkan ayat tersebut apa adanya). Kami
berharap mudah-mudahan anda tidak termasuk dalam kategori seperti ini. Terlepas
mana di antara kedua naskah tersebut yang akurat, namun menurut kami, sikap
paling adil bila ingin mengetahui suatu
ajaran, adalah dengan merujuk kepada
para murid atau pengikutnya. Hal ini agar tidak ada manipulasi atau kesalahan
memahami. Adalah tidak bijaksana kita mengkaji kitab kitab Asy’ari melalui
teman teman Wahhabi sebab sejak semula mereka adalah penentangnya.
Sebagaimana juga bukan pada tempatnya kita mengaji kitab kitab Wahhabi
kepada orang-orang Asy’ariyah yang sejak semula
tak pernah mengenalnya.
Jadi, jika
anda ingin mengetahui seperti apa kira kira konsep Teologi Asy’ari atau
Asya’irah, bertanyalah kepada Ulama kaum Muslimin yang memiliki hubungan
perguruan kepada Asy’ari, dan jika ingin terhindar dari kesalahan memahami kitab kitab Imam Ahmad, bertanyalah kepada orang-orang yang kredibel dan memiliki jalur perguruan kepada
Imam Ahmad. Memang sangat disesalkan sekarang banyak orang yang menggunakan
nama Ulama tapi justru untuk menghinakan dan menyalah-nyalahkan para pengikut
Ulama tersebut, seolah olah para penghina itu lebih tahu tentang madzhab Ulama
tadi. Seperti sebuah Yayasan di Bogor, menggunakan nama Ulama Fiqh anutan
bangsa Indonesia tetapi isi kegiatan dan tulisan-tulisannya justru untuk
menghakimi para Ulama di lingkungan Madzhab Ulama tadi. Anda – Insya Allah –
mengetahui karena Yayasan tersebut pun didukung oleh sebuah Kerajaan di Timur
Tengah.
Kisah tahrif kitab kitab Ulama telah
berlangsung cukup lama dilakukan orang-orang yang membenci atau iri kepada
mereka. Para “pemalsu” itu seolah-olah “mewakili” para penulis kitab, padahal
sejatinya ingin menghancurkan kredibilitasnya. Akibat dari kejahatan ilmiyah
tersebut, tidak sedikit Ulama yang menjadi bahan gunjingan kaum Muslimin bahkan
di antara mereka ada yang digelari sebagai Kafir Zindik, Na’udzu Billah.
Hingga hari ini pun “kegiatan” seperti itu masih berlangsung baik di kalangan orang
asing maupun orang Indonesia. Semoga anda tidak menuntut kami membuktikan
pernyataan ini lebih jauh agar niat baik ini tidak berubah menjadi petaka di
kemudian hari. Kami hanya menganjurkan: Bila membaca satu judul kitab,
usahakanlah anda membacanya dari beberapa naskah atau penerbit. Setelah itu
bertanyalah kepada para pengikutnya, niscaya anda akan menemukan informasi
kebenaran.
Jadi kesimpulan kami, Al Imam Al Asy’ari yang
merupakan Imam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah itu memang menulis kitab Al
Ibanah, tetapi bagaimana isi kitab tersebut, tanyakanlah kepada para
pengikutnya. Bila setelah ini kita masih saja menilai Imam Asy’ari melalui
orang-orang yang “anti” terhadap beliau Rahimahullah. Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar