Ada
beberapa nama yang bisa disebut sebagai tokoh Kitab Kuning Indonesia. Sebut
misalnya, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Abdul Shamad Al-Palimbani, Syekh
Yusuf Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri,
Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Syekh Muhammad Mahfudz Al-Tirmasi. Mereka ini
termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di
Indonesia, tapi juga di beberapa universitas di luar negeri. Dari beberapa
tokoh tadi, nama Syekh Nawawi Al-Bantani boleh disebut sebagai tokoh utamanya.
Ulama kelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, Jawa Barat,
1813 ini layak menempati posisi itu karena hasil karyanya menjadi rujukan utama
berbagai pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri.
Bernama
lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani
al-Jawi, Syekh Nawawi sejak kecil telah diarahkan ayahnya, KH. Umar bin Arabi
menjadi seorang ulama. Setelah mendidik langsung putranya, KH. Umar yang
sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi kepada KH.
Sahal, ulama terkenal di Banten. Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan
pendidikannya kepada ulama besar Purwakarta Kyai Yusuf.
Ketika
berusia 15 tahun bersama dua orang saudaranya, Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk
menunaikan ibadah haji. Tapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung
kembali ke tanah air. Dorongan menuntut ilmu menyebabkan ia bertahan di Kota
Suci Mekkah untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan
negeri lainnya, seperti Imam Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul
Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini
Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani.
Tiga
tahun lamanya ia menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah merasa bekal
ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke tanah air. Ia lalu mengajar dipesantren
ayahnya. Namun, kondisi tanah air agaknya tidak menguntungkan pengembangan
ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah
Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati Nawawi. Lagi pula, keinginannya
menuntut ilmu di negeri yang telah menarik hatinya, begitu berkobar. Akhirnya,
kembalilah Syekh Nawawi ke Tanah Suci.
Kecerdasan
dan ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di
Masjidil Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil
Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam
Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selain menjadi Imam Masjid,
ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi
murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia.
Laporan
Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Mekkah ditahun 1884-1885
menyebut, Syekh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan
tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya. Di antara muridnya
yang berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus,
K.H. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Mereka
inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama terkenal di tanah air. Sejak 15
tahun sebelum kewafatannya, Syekh Nawawi sangat giat dalam menulis buku.
Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia termasuk penulis
yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama.
Paling tidak 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed
Books karya Yusuf Alias Sarkis.
Beberapa
kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul,
meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah,
tafsir, dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara
luas–Red) seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah
al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih
Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah
Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu
Tsamin. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan
kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai Sayyid Ulama
Hijaz hingga sekarang.
Dikenal
sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang khas,
Syekh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam.
Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ia
memiliki caranya tersendiri. Syekh Nawawi misalnya, tidak agresif dan
reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia kooperatif
dengan mereka. Syekh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial
dalam bentuk apapun. Ia lebih suka memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan
para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama
Allah SWT.
Dalam
bidang syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan pandangannya pada dua
sumber inti Islam, Alquran dan Al-Hadis, selain juga ijma’ dan qiyas.
Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam
Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid (mengikuti salah satu
ajaran), Syekh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad)
mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat
ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid
kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut. Pandangannya ini mungkin
agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka
lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih, memang keempat
ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini.
Apapun,
umat Islam patut bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan
seperti Syekh Nawawi Al-Bantani. Kini, tahun haul (ulang tahun wafatnya)
diperingati puluhan ribu orang di Tanara, Banten, setiap tahunnya.
Syekh
Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib A’li, sebuah kawasan di
pinggiran kota Mekkah, pada 25 Syawal 1314H/1879 M.
Syekh
Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, adalah ulama Indonesia bertaraf
internasional, lahir di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan Tanara, Serang,
Banten, 1815. Sejak umur 15 tahun pergi ke Makkah dan tinggal di sana tepatnya
daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya 1897, dan dimakamkan di Ma’la. Ketenaran
beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz
(Pemimpin Ulama Hijaz). Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 dinamai
Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh Keluarga Saud).
Diantara
ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau adalah Syaikhona Khalil Bangkalan
dan Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy’ari.
Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir, seringkali beliau
hanya mengirimkan manuscriptnya dan setelah itu tidak mempedulikan lagi
bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan
royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum
pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina,
Thailand, dan juga negara-negara di Timur Tengah. Begitu produktifnya beliau
dalam menyusun kitab (semuanya dalam bahasa Arab) hingga orang menjulukinya
sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah
Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Riyadlush Shalihin, dll. Namun
demikian panggilan beliau adalah Syekh Nawawi bukan Imam Nawawi.
Jumlah
kitab beliau yang terkenal dan banyak dipelajari ada sekitar 22 kitab. Beliau
pernah membuat tafsir Al-Qur’an berjudul Mirah Labid yang berhasil membahas
dengan rinci setiap ayat suci Al-Qur’an. Buku beliau tentang etika berumah
tangga, berjudul Uqudul Lijain (diterjemahkan ke Bahasa
Indonesia) telah menjadi bacaan wajib para mempelai yang akan segera menikah.
Kitab Nihayatuz Zain sangat tuntas membahas berbagai masalah
fiqih (syariat Islam). Sebuah kitab kecil tentang syariat Islam yang berjudul
Sullam (Habib Abdullah bin Husein bin Tahir Ba’alawi), diberinya Syarah (penjelasan
rinci) dengan judul baru Mirqatus Su’udit Tashdiq. Salah satu
karya beliau dalam hal kitab hadits adalah Tanqihul Qoul, syarah Kitab
Lubabul Hadith (Imam Suyuthi). Kitab Hadits lain yang sangat terkenal
adalah Nashaihul Ibad, yang beberapa tahun yang lalu dibahas
secara bergantian oleh Alm. KH Mudzakkir Ma’ruf dan KH Masrikhan (dari Masjid
Jami Mojokerto) dan disiarkan berbagai radio swasta di Jawa Timur. Kitab itu
adalah syarah dari kitabnya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Di antara karomah beliau adalah, saat menulis syarah kitab Bidayatul Hidayah
(karya Imam Ghozali), lampu minyak beliau padam, padahal saat itu sedang dalam
perjalanan dengan sekedup onta (di jalan pun tetep menulis, tidak seperti kita,
melamun atau tidur). Beliau berdoa, bila kitab ini dianggap penting dan
bermanfaat buat kaum muslimin, mohon kepada Allah SWT memberikan sinar agar
bisa melanjutkan menulis. Tiba-tiba jempol kaki beliau mengeluarkan api,
bersinar terang, dan beliau meneruskan menulis syarah itu hingga selesai. Dan bekas
api di jempol tadi membekas, hingga saat Pemerintah Hijaz memanggil beliau
untuk dijadikan tentara (karena badan beliau tegap), ternyata beliau ditolak,
karena adanya bekas api di jempol tadi.
Karomah yang lain, nampak saat
beberapa tahun setelah beliau wafat, makamnya akan dibongkar oleh pemerintah
untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahadnya akan ditumpuki jenazah
lain (sebagaimana lazim di Ma’la). Saat itulah para petugas mengurungkan
niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun
sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, Insya Allah
kita akan bisa menemukan makam beliau di Pemakaman Umum Ma’la. Banyak juga kaum
Muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Serang, Banten.
Dari : http://iba-surosowan.blogspot.com/2010/11/syeikh-nawawi-al-bantani.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar