apa sih yang dinamakan keadilan ? bagaimana
hukumnya seorang anak yg dilahirkan dari keluarga non islam? kalo memang ada
keadilan ? kenapa tidak di lahirkan islam ? soalnya hampir 80% anak yg
dilahirkan mengikuti orang tua? nah bagaimana hal ini untuk menanggapinya? saya
minta jawaban yang detail beserta dalil2nya. 13 Januari 2012
19:29
(DALAM Kitab-Kitab Karya KH. Hasyim Asy'ari) dari : denie_8118@yahoo.co.id
APA SIH YANG DINAMAKAN KEADILAN ?
Saya mencoba menjawab pertanyaan di atas sesuai dengan apa
yang saya ketahui, Ada yang memberi pengertian bahwa adil adalah “menempatkan
sesuatu sesuai dengan tempatnya”, namun memahami pengertian “sesuai
dengan tempatnya” juga membutuhkan beberapa pemahaman
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing. Menjelaskan pengertian
adil apabila mengikuti berbagai pemikiran bisa memiliki beberapa makna dan
pemahaman dan setiap manusia pasti memiliki pemahaman dan pengertian masing-masing
sesuai dengan latar belakang kepentingan dan keilmuannya, oleh karena itu saya hanya
akan mencoba untuk membahas pengertian adil, namun dalam perspektif Al Qur’an
dan Al Hadis dengan mengutip beberapa pendapat ulama dan ahli tafsir.
Mengingat pembahasan ini berkaitan dengan keadilan . maka
saya akan mengutip ayat Al Qur’an yang berbicara masalah keadilan. Di sini keadilan yang
dikaitkan dengan perilaku manusia Allah SWT
berfirman :
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ
Artinya :”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku
adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. AN Nahl :90)
Dalam menjelaskan kata adil secara bahasa Prof. DR.
Syaikh Wahbah Zuhaili mengatakan :
الْعَدْلِ قال ابن عطية: العدل:
فعل كل مفروض من عقائد وشرائع وسير مع الناس في أداء الأمانات، وترك الظلم،
والإنصاف وإعطاء الحق. والإحسان: فعل كل مندوب إليه «1» .
وذكر
البيضاوي أن العدل: التوسط في الأمور اعتقادا، كالتوحيد المتوسط بين التعطيل
والتشريك، والقول بالكسب المتوسط بين محض الجبر والقدر، وعملا كالتعبد بأداء
الواجبات المتوسط بين البطالة والترهب، وخلقا كالجود المتوسط بين البخل والتبذير.
والخلاصة: إن العدل: الإنصاف،
“Ibnu ‘Athiyah berkata tentang
pengertian adil: adil adalah mengerjakan segala sesuatu yang di fardhukan baik
berupa akidah, syariat dan berjalan bersama manusia dalam menunaikan
amanah-amanah, meninggalkan kedzaliman, berlaku adil, memberikan hak…… Dan Al
Baidlowi mengatakan : bahwa adil adalah mengambl jalan tengah dalam beberapa
perkara akidah seperti tauhid yang pertengahan antara Ta’thil (kafir/
atheisme ) dan Menyekutukan Allah, dan pendapat tentang kasab (Usaha
manusia) yang merupakan pertengahan antara murni jabariyah(tidak ada ikhtiyar
bagi manusia) dan faham qadariyah (manusia memiliki kemampuan untuk menentukan
kehendaknya). Dan perbuatan (yang pertengahan) seperti beribadah dengan
melaksanakan yang wajib yang pertengahan antara karena pengangguran dan karena
ancaman. Dan dalam akhlak seperti sifat dermawan yang merupakan pertengahan
antara kikir dan boros. Kesimpulannya bahwa adil adalah berbuat pertengahan.”
Berkenaan pengertian adil berkaitan ayat di atas Imam Al
Qurtubi menjelaskan :
اختلف العلماء في تأويل
العدل والإحسان، فقال ابن عباس: العدل لا إله إلا الله، والإحسان أداء
الفرائض. وقيل: العدل الفرض، والإحسان النافلة. وقال سفيان بن عيينة: العدل
ها هنا استواء السريرة، والإحسان أن تكون السريرة أفضل من العلانية. على بن
أبى طالب: العدل الانصاف، والإحسان التفضل. قال ابن عطية: العدل هو كل
مفروض، من عقائد وشرائع في أداء الأمانات، وترك الظلم والانصاف، وإعطاء الحق.
والإحسان هو فعل كل مندوب إليه، فمن الأشياء ما هو كله مندوب إليه، ومنها ما هو
فرض، إلا أن حد الاجزاء منه داخل في العدل، والتكميل الزائد على الاجزاء داخل في
الإحسان. وأما قول ابن عباس ففيه نظر، لان أداء الفرائض هي الإسلام حسبما فسره
رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في حديث سؤال جبريل، وذلك هو العدل
“………….Para Ulama berbeda pendapat
dalam menakwilkan makna adil dan ihsan : Ibu Abbas Ra. Berkata : adil adalah
kalimat “tidak ada tuhan selain Allah”………. Dan dikatakan dalam salah satu
pendapat bahwa adil adalah kewajiban. ..Ibnu ‘Uyainah berkata : adil disini
adalah persamaan sikap dalam keadaan sembunyi-sembunyi……Ali Bin Abi Thalib
berkata : adil adalah berbuat pertengahan…….”
Berkenaan dengan keadilan Allah ada ayat Al Qur’an yang berbunyi :
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ
وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ
الْحَكِيمُ
Artinya : “Allah menyatakan
bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang
menegakkan keadilan.
Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).
Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”(Ali ‘Imran : 18)
Syaikh Rasyid Ridha menjelaskan pengertian adil
menurut ayat di atas :
أَمَّا قَوْلُهُ -
تَعَالَى - : قَائِمًا بِالْقِسْطِ فَمَعْنَاهُ : أَنَّهُ - تَعَالَى - شَهِدَ
هَذِهِ الشَّهَادَةَ قَائِمًا بِالْقِسْطِ وَهُوَ الْعَدْلُ فِي الدِّينِ
وَالشَّرِيعَةِ ، وَفِي الْكَوْنِ وَالطَّبِيعَةِ . فَمِنَ الْأَوَّلِ : تَقْرِيرُ
الْعَدْلِ فِي الِاعْتِقَادِ ، كَالتَّوْحِيدِ الَّذِي هُوَ وَسَطٌ بَيْنَ
التَّعْطِيلِ وَالشِّرْكِ ، وَمِنَ الثَّانِي : جَعْلُ سُنَنِ الْخَلِيقَةِ فِي
الْأَكْوَانِ وَالْإِنْسَانِ الدَّالَّةِ عَلَى حَقِّيَةِ الِاعْتِقَادِ قَائِمَةً
عَلَى أَسَاسِ الْعَدْلِ ، فَمَنْ نَظَرَ فِي هَذِهِ السُّنَنِ وَنِظَامِهَا
الدَّقِيقِ يَتَجَلَّى لَهُ عَدْلُ اللهِ الْعَامِّ ، فَالْقِيَامُ بِالْقِسْطِ
عَلَى هَذَا مِنْ قَبِيلِ التَّنْبِيهِ إِلَى الْبُرْهَانِ عَلَى صِدْقِ شَهَادَتِهِ
- تَعَالَى - فِي الْأَنْفُسِ وَالْآفَاقِ ; لِأَنَّ وَحْدَةَ النِّظَامِ فِي
هَذَا الْعَدْلِ تَدُلُّ عَلَى وَحْدَةِ وَاضِعِهِ ، وَهَذَا مِمَّا يُفَنِّدُ
تَفْسِيرَ بَعْضِهِمْ لِلشَّهَادَةِ بِأَنَّهَا عِبَارَةٌ عَنْ خَلْقِ مَا يَدُلُّ
عَلَى الْوَحْدَانِيَّةِ مِنَ الْآيَاتِ الْكَوْنِيَّةِ وَالنَّفْسِيَّةِ ،
كَذَلِكَ كَانَتْ أَحْكَامُهُ - تَعَالَى - فِي الْعِبَادَاتِ وَالْآدَابِ
وَالْأَعْمَالِ مَبْيِنَّةً عَلَى أَسَاسِ الْعَدْلِ بَيْنَ الْقُوَى
الرُّوحِيَّةِ وَالْبَدَنِيَّةِ وَبَيْنَ النَّاسِ بَعْضِهِمْ مَعَ بَعْضٍ ،
فَقَدْ أَمَرَ بِذِكْرِهِ وَشُكْرِهِ فِي الصَّلَاةِ وَغَيْرِ الصَّلَاةِ
لِتَرْقِيَةِ الرُّوحِ وَتَزْكِيَتِهِ ، وَأَبَاحَ الطَّيِّبَاتِ وَالزِّينَةَ
لِحِفْظِ الْبَدَنِ وَتَرْبِيَتِهِ ، وَنَهَى عَنِ الْغُلُوِّ فِي الدِّينِ
وَالْإِسْرَافِ فِي الدُّنْيَا وَذَلِكَ عَيْنُ الْعَدْلِ ، فَهَذَا هُوَ
الْقِسْطُ فِي الْعِبَادَاتِ وَالْأَعْمَالِ الدُّنْيَوِيَّةِ . وَأَمَّا
الْقِسْطُ فِي الْآدَابِ وَالْأَخْلَاقِ فَهُوَ صَرِيحٌ فِي الْقُرْآنِ
كَصَرَاحَةِ الْأَمْرِ بِالْعَدْلِ فِي الْأَحْكَامِ . قَالَ - تَعَالَى - : إِنَّ
اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ [16 : 90] وَقَالَ : وَإِذَا
حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ [4 : 58] .
“Adapun firman Allah Ta’ala : (قَائِمًا بِالْقِسْطِ ) maka pengertiannya adalah : bahwa Allah Ta’ala bersaksi dengan
kesaksian ini Dia adalah dzat yang menegakan keadilan. Yaitu keadilan dalam
agama, syari’at, wujud dan di dalam alam. Sebagian dari makna adil dalam
pengertian pertama (agama) adalah menetapkan keadilan dalam I’tiqad. Seperti
tauhid dimana merupakan pertengahan antara kafir (atheis) dan syirik
(menyekutukan Allah). Makna adil dari pengertian kedua menjadikan hukum-hukum
penciptaan di dalam alam dan manusia yang menunjukan benarnya I’tiqad,
ditegakkan di atas landasan keadilan. Barangsiapa yang melihat hukum-hukum alam
ini dan keteraturannya yang mendetail maka akan tampak baginya keadilan Allah
yang menyeluruh. Maka menegakkan keadilan atas semua ini dari sisi mengingatkan
tanda-tanda atas kebenaran kesaksian Allah Ta’ala di dalam diri dan di alam
semesta. Karena kesatuan sistem aturan dalam keadilan ini menunjukan kesatuan
dzat yang membuatnya. Pengertian ini termasuk sesuatu yang menyalahkan
penafsiran sebagian ulama terhadap makna Syahadah, bahwa itu merupakan bentuk kalimat
yang memberi pengertian penciptaan sesuatu yang menunjukan sifat
kemahaesaan-Nya berupa ayat-ayat yang ada pada alam semesta dan diri manusia.
Begitu pula hukum-hukum Allah (maha tinggi) di dalam ibadah, adab-adab dan
perbuatan-perbuatan yang dibangun di aas landasan keadilan, antara kekuatan ruh
dan badan dan antara sebagian manusia dari sebagian yang lain. Sesungguhnya
Allah telah memerintahkan untuk berzikir, syukur kepada-Nya di dalam shalat dan
ibadah yang lain untuk meningkatkan dan membersihkan ruhani. Allah
memperbolehkan makanan-makanan yang baik dan perhiasan untuk memeliara dan
merawat badan, dan Allah melarang berlebihan di dalam agama dan melampaui batas
dalam masalah dunia, hal itu merupkan bentuk keadilan dan ini merupakan
keadilan dalam masalah ibadah, dan perbuatan-perbuatan dunyawiyah. Adapun adil
dalam adab dan akhlak maka hal itu lebih jelas di dalam Al Qur’an sebagaimana
jelasnya perintah adil dalam hukum Allah ta’ala berfirman : “sesungguhnya Allah
memerintahkan berbuat adil dan berbuat baik”.(surat 16 : 90) dan Juga berfirman
: “apabila kalian menerapkan hukum di antara manusia maka terapkanlah hukum
dengan adil.”( surat 4 : 58)
Prof. DR
Syaikh Wahbah Zuhaili menjelaskan pengertian kata Qoimam bi al Qisthi :
واللفظ قائِماً بتدبير مصنوعاته، أي تفرد بِالْقِسْطِ بالعدل في
الدين والشريعة وفي الكون والطبيعة
“kalimat “Qaaiman” adil dalam
mengatur ciptaan-ciptaan-Nya, pengertiannya adalah Hanya Dia sendiri dengan
keadilan dalam agama dan syari’at serta di dalam alam semesta dan hukum-hukum
alam.”
Pak Qurasih menjelaskan lebih
panjang :
Allah menyakskan diri-Nya maha Esa,
Tiada Tuhan selain Dia. Keesaan itupun disaksikan oleh para malaikat, dan
orang-orang yang berpengetahuan, dan masing-masing ; yakni Allah, Malaikat dan
orang-orang yang berpengetahuan, secara berdiri sendiri menegaskan bahwa kesaksian yang mereka lakukan itu adalah
berdasarkan keadilan. Makna ini yang dipahami oleh sementara ulama sebagai arti
(قَائِمًا بِالْقِسْطِ ) yang redaksinya berbentuk tunggal. Tentu saja,
kata mereka bentuk tunggal itu tidak menunjuk kepada Allah, Malaikat dan
orang-orang yang berilmu; ketiganya sekaligus.
Ada juga yang menjadikan kata قَائِمًا بِالْقِسْطِ
yang berbentuk tunggal itu sebagai penjelasan
tentang keadaan Allah SWT dalam arti tidak ada yang dapat menyakskan Allah
dengan penyaksian yang adil, yang sesuai dengan keagungan dan keesaan-Nya
kecuali Allah sendiri. Karena hanya Allah sendiri yang mengetahui Allah secara
sempurna siapa Allah. Ketuhanan adalah sesuatu yang hanya dimiliki oleh Allah,
maka tidak akan ada satu pun yang mengenal-NYa kecuali dirinya sendiri.
Demikian Imam al Ghazali, dan karena itu pula jika anda bertanya, apakah puncak
pengetahuan makhluk tentang Allah? Maka saya menjawab (tulis Imam al Ghazali)
puncak pengetahuan mereka adalah ketidakmampuan mengetahuinya.
Pendapat yang lebih baik adalah,
bahwa قَائِمًا بِالْقِسْطِ merupakan kesaksian tentang keadilan
perbuatan-Nya setelah sebelumnya merupakan kesaksian tentang keesaan Dzat-Nya.
Dengan demikian ada dua macam kesaksian. Kesaksian kedua ini perlu dikemukakan,
karena bisa jadi ada yang menduga bahwa keesaan-Nya mengantar Dia
melakukan ketidakadilan. Bukanah
kesewenang-wenangan sering kali lahir saat terjadi pemusatan kekuasaan ? dengan demikian ayat ini berarti bahwa Allah,
Malaikat dan orang-orang berilmu, menyakskan bahwa Allah maha Esa, dan
menyaksikan pula bahwa Dia melakukan segala sesuatu atas dasar al qisth.
Kata قَائِمً bermakna melaksanakan sesuatu
secara sempurna dan berkesinambungan. Allah melaksanakan الْقِسْطِ secara
sempurna dan berkesinambungan. Apakah al Qisth ? banyak yang mempersamakannya dengan keadilan.
Tetapi pendapat itu tidak sepenuhnya benar.
Ketika menjelaskan sifat Allah al Muqsith, yang terambil
dari akar kata yang sama dengan al qisth, Imam Al Ghazali, dalam bukunya
“Asma’ Al Husna”, menjelaskan bahwa, al Muqsith,adalah Yang
memenangkan/membela yang teraniaya dari yang menganiaya dengan menjadikan yang
teraniaya dan menganiaya sama-sama rela, sama puas dan senang dengan hasil yang
diperoleh.
Jika demikian, al qisth bukan sekedar adil, karena ada
keadilan yang tidak menyenangkan salah satu pihak, seperti bila menjatuhkan
sanksi adil terhadap yang menganiaya. Qisth adalah adil tetapi sekaligus
menjadikan kedua belah pihak, atau semua pihak, mendapatkan Sesutu yang
menyenagkan.
Allah menetapkan neraca dan
memrintahkan untuk menegakkannya bil qisth, bukan bil ‘adli. Allah berfirman :
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ * أَلا تَطْغَوْا فِي
الْمِيزَانِ * وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ
بِالْقِسْطِ وَلا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
Artinya : “Allah telah meninggikan
langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas
tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurangi neraca itu.(QS. Ar Rahman : 7-9)
Timbangan dan takaran harus
menyenangkan kedua pihak, karena itu Allah memperingatkan :
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ * الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ * وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ
وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ
Artinya ; “Kecelakaan besarlah bagi
orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain, mereka mengurangi.(QS. Al Muthaffifin :1-3)
Itu sebabnya kata qisth ditekankan-Nya pula dalam penulisan
utang piutang :
…وَلا تَسْأَمُوا أَنْ
تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ
اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا ……
Artinya : …….dan janganlah kamu jemu
menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian
dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu…(QS. Al Baqarah : 282).
Anda lihat ayat ini menggunkan kata أَقْسَطُ , karena
keadilan yang dihalkannya adalah keadilan yang memuaskan kedua belah pihak yang
bertransaksi.
Allah Qa’im bi al Qisth, menegakkan keadilan yang memuaskan semua pihak. Dia yang menciptakan mereka dan
menganugrahkan aneka anugrah. Jika ini diberi kelebihan rizki materi, maka ada
rizki yang lain yang tidak diberikannya. Walau yang itu miskin materi, tetapi
dia mendpat ketenangan batin. Jika ‘Ali diberi profesi A, maka Ahmad diberi
profesi B. Dalam menetapkan kewajiban demikian juga, bahkan dalam segala hal, Dia menetapkan dan melaksanakan al qisth. Makhluk yang enggan menerima apa
yang telah diatur dengan qisth, tentu saja dinilai durhaka, dan ketika itu
berlakulah keadilan Ilahi atasnya.
Bagaimana hukumnya seorang anak yg dilahirkan dari keluarga non islam?
Berbicara masalah hukum dalam Islam artinya kita harus
mengkaji Fiqih dalam pengertian ilmu-ilmu yang membahas tentang hukum Syari’at
yang berhubungan perbuatan manusia yang di dasarkan dalil-dalil Tafsili yaitu
Al Qur’an dan As Sunnah.
Imam An Nawawi sebagai pakar fiqih dan sekaligu juga pakar Hadis
menjelaskan panjang lebar tentang hukum berkenan dengan bayi yang dilahirkan
ketika menjelaskan “pengertian setiap bayi dilahirkan dalam fitrah” dalam hadis- hadis yang banyak diriwayatkan
dari Abu Hurairah RA di antaranya :
حَدَّثَنَا حَاجِبُ بْنُ الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
حَرْبٍ عَنْ الزُّبَيْدِيِّ عَنْ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ
الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا
مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ
وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً
جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ
ثُمَّ يَقُولُا أَبُو هُرَيْرَةَ وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { فِطْرَةَ اللَّهِ
الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ } الْآيَةَ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ
أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى ح و حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ
أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ كِلَاهُمَا عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ
بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً وَلَمْ
يَذْكُرْ جَمْعَاءَ
Artinya
:”Telah menceritakan kepada kami Hajib bin Al Walid telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Harb dari Az Zubaidi dari Az Zuhri telah mengabarkan kepadaku
Sa'id bin Al Musayyab dari Abu Hurairah, dia berkata; \"Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: 'Seorang bayi tidak
dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian
kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun
Majusi -sebagaimana hewan yang dilahirkan
dalam keadaan selamat tanpa cacat. Maka, apakah kalian merasakan adanya cacat?
' Lalu Abu Hurairah berkata; 'Apabila kalian mau, maka bacalah firman Allah
yang berbunyi: '…tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah.' (QS. Ar Ruum
(30): 30). Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah; telah
menceritakan kepada kami 'Abdul 'Alaa Demikian juga diriwayatkan dari jalur
lainnya, dan telah menceritakan kepada kami 'Abd bin Humaid; telah mengabarkan
kepada kami 'Abdurrazzaq keduanya dari Ma'mar dari Az Zuhri dengan sanad ini
dan dia berkata; 'Sebagaimana hewan ternak melahirkan anaknya. -tanpa
menyebutkan cacat.-“(HR. Muslim)
Imam
An Nawai lebih lanjut menjelaskan tentang berbagai pendapat para ulama dalam memaknai Al Fitrah
وَأَمَّا الْفِطْرَة الْمَذْكُورَة فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث فَقَالَ
الْمَازِرِيُّ : قِيلَ : هِيَ مَا أُخِذَ عَلَيْهِ . فِي أَصْلَاب آبَائِهِمْ ،
وَأَنَّ الْوِلَادَة تَقَع عَلَيْهَا حَتَّى يَحْصُل التَّغَيُّر بِالْأَبَوَيْنِ
. وَقِيلَ : هِيَ مَا قُضِيَ عَلَيْهِ مِنْ سَعَادَة أَوْ شَقَاوَة يَصِير
إِلَيْهَا . وَقِيلَ : هِيَ مَا هُيِّئَ لَهُ هَذَا كَلَام الْمَازِرِيُّ .
وَقَالَ أَبُو عُبَيْد : سَأَلْت مُحَمَّد بْن الْحَسَن عَنْ هَذَا الْحَدِيث ،
فَقَالَ : كَانَ هَذَا فِي أَوَّل الْإِسْلَام قَبْل أَنْ تَنْزِل الْفَرَائِض ،
وَقِيلَ الْأَمْر بِالْجِهَادِ . وَقَالَ أَبُو عُبَيْد كَأَنَّهُ يَعْنِي أَنَّهُ
لَوْ كَانَ يُولَد عَلَى الْفِطْرَة ، ثُمَّ مَاتَ قَبْل أَنْ يُهَوِّدهُ
أَبَوَاهُ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ لَمْ يَرِثهُمَا ، وَلَمْ يَرِثَاهُ ، لِأَنَّهُ
مُسْلِم ، وَهُمَا كَافِرَانِ ، وَلَمَا جَازَ أَنْ يُسِيء فَلَمَّا فُرِضَتْ
الْفَرَائِض ، وَتَقَرَّرَتْ السُّنَن عَلَى خِلَاف ذَلِكَ عُلِمَ أَنَّهُ يُولَد
عَلَى دِينهمَا . وَقَالَ اِبْن الْمُبَارَك : يُولَد عَلَى مَا يَصِير إِلَيْهِ
مِنْ سَعَادَة أَوْ شَقَاوَة فَمَنْ عَلِمَ اللَّه تَعَالَى أَنَّهُ يَصِير
مُسْلِمًا وُلِدَ عَلَى فِطْرَة الْإِسْلَام ، وَمَنْ عَلِمَ أَنَّهُ يَصِير
كَافِرًا وُلِدَ عَلَى الْكُفْر . وَقِيلَ : مَعْنَاهُ كُلّ مَوْلُود يُولَد عَلَى
مَعْرِفَة اللَّه تَعَالَى وَالْإِقْرَار بِهِ ، فَلَيْسَ أَحَد يُولَد إِلَّا
وَهُوَ يُقِرّ بِأَنَّ لَهُ صَانِعًا ، وَإِنْ سَمَّاهُ بِغَيْرِ اِسْمه ، أَوْ
عَبْد مَعَهُ غَيْره
“Adapun pengertian fitrah yang disebutkan dalam hadis-hadis tersebut, menurut al Maaziri : dikatakan bahwa fitrah merupakan sesuatu yang diambil dari tulang rusuk orang tua mereka, dan bahwa melahirkan terjadi atasnya sehingga ketika ada perubahan disebabkan oleh kedua orangtuanya. Dan dikatakan bahwa fitrah adalah sesuatu yang ditetapkan berupa kebahagiaan atau kesengsaraan yang akan dialami olehnya. Dan dikatakan bahwa fitrah adalah sesuatu yang dipersiapkan untuknya, ini semua adalah perkataan Al Mazarii. Abu ‘Ubaid berkata : aku bertanya kepada Muhammad bin Hasan tentang hadis ini, beliau berkata : hal ini terjadi pada permulaan Islam sebelum diturunkan ayat tentang waris. Menurut satu pendapat itu merupakan perintah berjihad. Abu ‘Ubaid berkata sepertinya beliau menghendaki bahwa jika seorang bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, kemudian meninggal sebelum kedua orang tuanya menjadikan Yahudi atau Nasrani maka dia tidak mewarisi kedua orang tuanya. Dan kedua orang tunya juga tidak mewarisi dia karena dia adalah muslim, dan kedua orang tuanya adalah kafir. Dan juga dikarenakan sesuatu yang dibolehkan untuk berbuat buruk. Ketika hukum waris sudah diwajibkan dan sunnah-sunnah sudah ditetapkan berbeda dari sebelumnya maka dapat diketahui dia dilahirkan di atas agamanya. Ibnu al Mubarak berkata : dia dilahirkan sesuai dengan apa yang menjadi ketentuan akhirnya yaitu kebahagiaan atau kesengsraan. Barangsiapa yang diketahui Allah dia akan menjadi muslim maka dia dilahirkan dalam fitrah Islam, barangsiapa yang diketahui Allah bahwa dia akan menjadi kafir maka dia dilahirkan dalam keadaan kafir. Menurut sebagian pendapat bahwa pengertiannya adalah bahwa setiap bayi dilahirkan atas adanya pengetahuan kepada Allah Ta’ala dan pengakuan kepada-NYa. Tidaklah seseorang dilahirkan kecuali dia mengakui bahwa Allah adalah sang pencipta walaupun menyebutnya dengan nama selain Allah, atau menyembah Allah dengan selain Allah.”
Imam Al Hafidz
Ibnu Hajar Al Atsqalani salah satu Ahli Fiqih dan Ahli Hadis madzhab As
Syafi’I juga ikut menjelaskan :
قوله كل مولود أي من بني آدم وصرح به جعفر بن ربيعة عن الأعرج عن أبي هريرة بلفظ كل بني آدم
يولد على الفطرة وكذا رواه خالد الواسطي عن عبد الرحمن بن إسحاق عن أبي الزناد
عن الأعرج ذكرها بن عبد البر واستشكل هذا التركيب بأنه يقتضي أن كل مولود يقع له
التهويد وغيره مما ذكر والفرض أن بعضهم يستمر مسلما ولا يقع له شيء والجواب أن
المراد من التركيب أن الكفر ليس من ذات المولود ومقتضى طبعه بل إنما حصل بسبب
خارجي فإن سلم من ذلك السبب استمر على الحق وهذا يقوي المذهب الصحيح في تأويل
الفطرة كما سيأتي
“
(Perkataan Nabi : setiap anak yang dilahirkan) pengertiannya adalah Bayi dari
semua anak Adam. Pengertian ini juga dijelaskan oleh ja’far bin Rabi’ah dari Al
A’raj dari Abi Hurairah RA dengan redaksi : setiap bani Adam dilahirkan dalam
keadaan fitrah”. Seperti redaksi tadi, diriwayatkan juga oleh Khalid al Wasithi
dari Abdurrahman bin Ishaq dari Abi Zanad dari al A’raj, riwayat ini disebutkan
oleh Ibnu Abdil Barr. Namun susunan redaksi tadi di anggap musykil karena
menghendaki pengertian semua anak yang dilahirkan akan mengalami pengaruh
Yahudi dan lainnya dari apa yang sudah disebutkan. Dan yang menjadi kepastian
bahwa sebagian mereka tetap dalam keislamannya dan tidak mengalami perubahan
sesuatu. Jawaban (dari kemusykilan) adalah bahwa yang dimaksud dari redaksi
tadi adalah bahwa kekufuran bukan ada pada diri bayi yang dilahirkan dan bukan
yang karakternya, akan tetapi kekufuran terjadi disebabkan sebab diluar diri
bayi, jika si bayi selamat dari sebab itu maka di berada dalam kebenaran.
Pengertian ini menguatkan Mazdhab yang Sahih dalam menakwilkan pengertian
Fitrah, sebagaimana yang akan dijelaskan ;”
Kemudian
Al hafidz menjelaskan panjang lebar tentang pengertian Fitrah dan perbedaan
ulama, dimana ulama salaf berbeda pendapat dalam pengertian Fitrah dalam hadis
di atas, perbedaan itu ada banyak sekali pendapat, namun pendapat yang paling masyhur
adalah bahwa yang dimaksud dengan pengertian
Fitrah adalah Islam, Ibnu Abdil Barr berkata bahwa pengertian Fitrah adalah
Islam merupakan pengertian yang dikenal menurut ulama Salaf, dan Ahli Ilmu
telah berijma, dengan berdasarkan penakwilan maksud dari firman Allah :
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ
اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ
الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
Artinya : “Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama
(Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS: ar-Rum [30]:30).
Penjelasan Al Hafidz di atas berkaitan dengan pengertian
hadis Di dalam Sahih Bukhari :
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ
الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ
مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ
وَيُنَصِّرَانِهِ كَمَا تُنْتِجُونَ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَجِدُونَ فِيهَا مِنْ
جَدْعَاءَ حَتَّى تَكُونُوا أَنْتُمْ تَجْدَعُونَهَا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَفَرَأَيْتَ مَنْ يَمُوتُ وَهُوَ صَغِيرٌ قَالَ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا
عَامِلِينَ
Artinya
: “Telah menceritakan kepadaku Ishaq bin Ibrahim Telah memberitakan kepada kami
Abdurrazaq telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Hammam dari Abu Hurairah
mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tak ada bayi yang dilahirkan selain dilahirkan dalam keadaan
fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nashrani,
sebagaimana kalian memperanakkan hewan, adakah kalian dapatkan diantaranya ada
yang terpotong hidungnya hingga kalian yang memotongnya sendiri?" Mereka
bertanya;"Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu perihal mereka yang mati
saat masih kecil?" Nabi menjawab; "Allah lebih tahu yang mereka
kerjakan.” (HR. Bukhari dalam kitab al
Qadar) juga disebutkan dalam Sahih
Bukhari dalam kitab al Janaiz :
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُودٍ
يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ
يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا
جَدْعَاءَ
Artinya
: “Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu
Dza'bi dari Az Zuhriy dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman dari Abu Hurairah
radliallahu 'anhu berkata; Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah. Kemudian kedua
orang tunyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau
Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan
sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat padanya?" (HR. Bukhari)
Al Hafidz juga mengutip pendapat Ibnul Qoyyim :
وإنما المراد أن كل مولود يولد على إقراره بالربوبية فلو خلي وعدم
المعارض لم يعدل عن ذلك إلى غيره كما انه يولد على محبة ما يلائم بدنه من إرتضاع
اللبن حتى يصرفه عنه الصارف ومن ثم شبهت الفطرة باللبن بل كانت إياه في تأويل
الرؤيا والله أعلم
“Yang dimaksud (dari pengertian setiap bayi dilahirkan dalam
keadaan fitrah) adalah bahwa setiap bayi itu dilahirkan dalam keadaan mengakui
sifat ketuhanan-Nya, jika tidak ada yang memalingkan maka ia tidak akan
berpaling dari keyakinan itu kepada keyakinan lain. Sebagaimana dia dilahirkan
cenderung menyukai apa yang membuat enak badannya, yaitu berupa susu sampai ada
yang memalingkan dia jadi tidak menyusu lagi, dari sisni fitrah diumpamakan
seperti air susu, …Wallohu’alam.”
والحق أن الحديث سيق لبيان ما هو في نفس الأمر لا لبيان الأحكام في
الدنيا
“Yang benar bahwa hadis tersebut disebutkan
untuk menjelaskan apa yang menjadi hakekatnya bukan menjelaskan hukum-hukum di
dunia.”
Begitu
Pula dengan Al Imam al Hafidz Al Mubarakfuri dalam menjelaskan hadis di dalam
Sunan At Turmudzi :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى الْقُطَعِيُّ الْبَصْرِيُّ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ رَبِيعَةَ الْبُنَانِيُّ حَدَّثَنَا
الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ
مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْمِلَّةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُشَرِّكَانِهِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَنْ هَلَكَ
قَبْلَ ذَلِكَ قَالَ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا عَامِلِينَ بِهِ
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ وَالْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ
الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ بِمَعْنَاهُ وَقَالَ يُولَدُ عَلَى
الْفِطْرَةِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رَوَاهُ
شُعْبَةُ وَغَيْرُهُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يُولَدُ عَلَى
الْفِطْرَةِ وَفِي الْبَاب عَنْ الْأَسْوَدِ بْنِ سَرِيعٍ
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Yahya Al Qutha'i Al Bashri; telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz bin
Rabi'ah Al Bunani; telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari Abu Shalih
dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Setiap anak dilahirkan di atas al millah (agama fithrahnya,
Islam), namun, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani,
atau menjadikannya seorang yang Musyrik." Kemudian ditanyakanlah pada
beliau, "Wahai Rasulullah, lalu bagaimanakah dengan yang binasa sebelum
itu?" beliau menjawab: "Allahlah yang lebih tahu terhadap apa yang
mereka kerjakan." Telah menceritakan kepada kami Abu
Kuraib dan Al Husain bin Huraits keduanya berdua berkata; telah menceritakan kepada
kami Waki' dari Al A'masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam sepertinya dan dengan makna yang sama pula dan
beliau bersabda: "Dilahirkan dalam keadaan fithrah." Abu Isa berkata;
Ini adlah hadits Hasan Shahih. Dan hadits ini telah diriwayatkan pula oleh
Syu'bah dan selainnya dari Al A'masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dari
Nabi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ia pun menyebutkan; "Dilahirkan
dalam keadaan fithrah." Hadits semakna juga diriwayatkan dari Al Aswad bin
Sari'. (HR. Turmudzi, kitab qadar, Bab : setiap bayi di atas Fitrah )
Pendapat
al Mubarakfuri di dalam Tuhfah Al Ahwadzi ketika menjelaskan pengertian hadis
di atas tidak jauh berbeda dengan An Nawawi dan Ibnu Hajar karena beliau banyak
mengutip dari keduanya.
Dalam menyimpulkan kandungan hukum dari makna hadis-hadis di atas Imam An Nawawi mengatakan :
وَالْأَصَحّ أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ كُلّ مَوْلُود يُولَد
مُتَهَيِّئًا لِلْإِسْلَامِ ، فَمَنْ كَانَ أَبَوَاهُ أَوْ أَحَدهمَا مُسْلِمًا اِسْتَمَرَّ
عَلَى الْإِسْلَام فِي أَحْكَام الْآخِرَة وَالدُّنْيَا ، وَإِنْ كَانَ أَبَوَاهُ
كَافِرَيْنِ جَرَى عَلَيْهِ حُكْمهمَا فِي أَحْكَام الدُّنْيَا ، وَهَذَا مَعْنَى
( يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ ) ، أَيْ يَحْكُم لَهُ
بِحُكْمِهِمَا فِي الدُّنْيَا . فَإِنْ بَلَغَ اِسْتَمَرَّ عَلَيْهِ حُكْم
الْكُفْر وَدِينهمَا ، فَإِنْ كَانَتْ سَبَقَتْ لَهُ سَعَادَة أَسْلَمَ ، وَإِلَّا
مَاتَ عَلَى كُفْره . وَإِنْ مَاتَ قَبْل بُلُوغه فَهَلْ هُوَ مِنْ أَهْل
الْجَنَّة أَمْ النَّار أَمْ يَتَوَقَّف فِيهِ ؟ فَفِيهِ الْمَذَاهِب الثَّلَاثَة
السَّابِقَة قَرِيبًا . الْأَصَحّ أَنَّهُ مِنْ أَهْل الْجَنَّة . وَالْجَوَاب
عَنْ حَدِيث " اللَّه أَعْلَم بِمَا كَانُوا عَامِلِينَ " أَنَّهُ
لَيْسَ فِيهِ تَصْرِيح بِأَنَّهُمْ فِي النَّار ، وَحَقِيقَة لَفْظه : اللَّه
أَعْلَم بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ لَوْ بَلَغُوا وَلَمْ يَبْلُغُوا إِذْ
التَّكْلِيف لَا يَكُون إِلَّا بِالْبُلُوغِ
“Pendapat yang paling sahih dari pengertian hadis di atas
adalah bahwa setiap bayi dilahirkan dalam keadaan dipersiapkan untuk menerima
Islam. Barangsiapa yang kedua orang tuanya atau salahsatunya muslim maka dia
akan tetap dalam keadaan Islam dalam hukum di akhirat ata di dunia. Namun jika
kedua orang tuanya adalah afir maka hukum yang berlaku adalah hukum kedua
orangtuanya di dalam hukum-hukum dunia. Jika dia telah baligh dan tetap dalam
kekafiran maka hukunya juga tetap dalam kekufuran dan sesuai dengan agamanya.
Jika ketetapan takdir kebahagiaan mendahuluinya maka dia masuk Islam, Jika
tidak maka dia meninggal dalam keadaan kafir. Jika dia meninggal sebelum
balighnya apakah dia termasuk penghuni Sorga atau Neraka? Atau dia di
tangguhkan tidak keneraka atau kesorga? Dalam masalah itu ada tiga (3) madzhab
yang baru lalu. Pendapat yang paling sahih adalah bahwa dia adalah termasuk
penghuni sorga. Adapun jawaban dari hadis “ Allah lebih mengetahui dari apa
yang mereka kerjakan “ hadis itu tidak menjelaskan bahwa mereka di dalam
neraka. Hakikat kalimatnya adalah : “ Allah lebih mengetahui dengan apa-apa
yang mereka kerjakan jika dia baligh dan tidak sampai baligh, karena taklif
(tuntutan hukum) tidak ada kecuali disebabkan baligh.”
Kemudian
Al Hafidz juga Menjelaskan di dalam Fath Al Bari berkenaan dengan hukum Bayi
yang dilahirkan :
قوله فأبواه أي المولود قال الطيبي
الفاء إما للتعقيب أو السببية أو جزاء شرط مقدر أي إذا تقرر ذلك فمن تغير كان بسبب
أبويه إما بتعليمهما إياه أو بترغيبهما فيه وكونه تبعا لهما في الدين يقتضي أن
يكون حكمه حكمهما وخص الأبوان بالذكر للغالب فلا حجة فيه لمن حكم بإسلام الطفل
الذي يموت أبواه كافرين كما هو قول أحمد فقد استمر عمل الصحابة ومن بعدهم على عدم
التعرض لأطفال أهل الذمة
“(Sabda Nabi SAW : Maka kedua orangtuanya) orang tua bayi. AT Tiibi berkata : huruf fa disini adakalnya untuk Ta’qib atau Sababiyah atau Jaza’ Syarat yang dikira-kirakan, yaitu ketika hal itu sudah tetap maka barngsiapa yang beruah maka itu disebaban oleh kedua orang tuanya, adakalanya dengan pendidikan kedua orang tuanya atau ajakan keduanya pa bayi itu, dengan adanya bayi mengikuti kedua orang tuanya di dalam agama menghendaki bahwa hukum bayi tersebut adalah hukum kedua orang tuanya. Secara khusus kedua orang tuanya disebut karena suatu keumuman, maka tidak ada hujjah di dalmnya bagi orang yang menghukumi Islamnya seorang anak yang meningeal kedua orang tuanya, pendpat itu seperti pendapatnya Ahmad. Dan benar-benar sudah terjadi Perlakuan para sahabat dan orang-orang sesudahnya tentang tidak bolehnya mengangu anak-anak kafir Dzimmi.”
Kalau memang ada keadilan kenapa tidak dilahirkan saja semua bayi dalam keadaan Islam ?
Pertayaan ini sebenarnya berkaitan
dengan sifat Iradah, Qudrah dan ‘adalah Allah SWT.
Berkenaan dengan kehendak
Allah, Dia berfirman :
إِنَّمَا قَوْلُنَا
لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Artinya : “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap
sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun
(jadilah)", maka jadilah ia.(QS. An Nahl :40)
Allah berfirman :
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ
شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu
hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia. (QS. Yasin
: 82)
Allah juga berfirman :
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ
أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ
يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ
كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ
Artinya :“Barang siapa yang Allah menghendaki
akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk
(memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya,
niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang
mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang
tidak beriman.(QS. An An’am : 125)
Allah berfirman :
لا
يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan
merekalah yang akan ditanyai.”(Al Ambiya : 23)
Untuk lebih jelas memahami ayat-ayat di atas
yang berbicara tentang kehendak Allah silahkan baca kitab-kitab tafsir. Namun
yang menjadi sorotan dalam pembahasan ini adalah bahwa Allah adalah Maha kuasa
dan maha berkehendak, serta maha adil namun apakah kuasa Allah dan kehendak
Allah di batasi oleh keadilannya.
Kalau kita ingin membahas lebih jauh tentang
masalah ini dalam perspektif ilmu kalam maka kita akan menemukan berbagai
aliran dalam masalah ini, di antaranya adalah Mukatzilah yang berpendapat bahwa
kekuasaan dan kehendak Allah dibatasi oleh keadilan, artinya Allah wajib
berbuat adil kepada makhluknya. (A. Hanafi, Teologi Islam, dan Ensiklopedi
Islam)
Adapun Ahlussunnah maka mereka berpendapat
bahwa Allah mempunyai kehendak mutlak untuk melakukan apa saja terhadap
makhluknya. Allah SWT tidak mempunyai keterbatasan kuasa atas apapun, termasuk
dalam soal keadilan. Dengan kekuasaan-Nya, Allah SWT bisa saja memasukkan semua
orang kedalam neraka, atau memasukan mereka semua ke dalam surga. Artinya Allah
pun maha kuasa untuk menjadikan manusia menjadi kafir atau muslim.
Berkaitan dengan pengertian ayat di atas didalam
hadis Riwayat Muslim disebutkan :
.......فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا لَقِيَا } غِلْمَانًا
يَلْعَبُونَ قَالَ فَانْطَلَقَ إِلَى أَحَدِهِمْ بَادِيَ الرَّأْيِ فَقَتَلَهُ فَذُعِرَ
عِنْدَهَا مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام ذَعْرَةً مُنْكَرَةً { قَالَ
أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَاكِيَةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا } فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ هَذَا الْمَكَانِ رَحْمَةُ
اللَّهِ عَلَيْنَا وَعَلَى مُوسَى لَوْلَا أَنَّهُ عَجَّلَ لَرَأَى الْعَجَبَ وَلَكِنَّهُ
أَخَذَتْهُ مِنْ صَاحِبِهِ ذَمَامَةٌ { قَالَ إِنْ سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا
فَلَا تُصَاحِبْنِي قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّي عُذْرًا } وَلَوْ صَبَرَ لَرَأَى
الْعَجَبَ قَالَ وَكَانَ إِذَا ذَكَرَ أَحَدًا مِنْ الْأَنْبِيَاءِ بَدَأَ بِنَفْسِهِ
رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْنَا وَعَلَى أَخِي كَذَا رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْنَا { فَانْطَلَقَا
حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ } لِئَامًا فَطَافَا فِي
الْمَجَالِسِ فَ { اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا
فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ
عَلَيْهِ أَجْرًا قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ }وَأَخَذَ بِثَوْبِهِ قَالَ { سَأُنَبِّئُكَ
بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ
يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ } إِلَى آخِرِ الْآيَةِ فَإِذَا جَاءَ الَّذِي يُسَخِّرُهَا
وَجَدَهَا مُنْخَرِقَةً فَتَجَاوَزَهَا فَأَصْلَحُوهَا بِخَشَبَةٍ { وَأَمَّا الْغُلَامُ } فَطُبِعَ
يَوْمَ طُبِعَ كَافِرًا وَكَانَ أَبَوَاهُ قَدْ عَطَفَا عَلَيْهِ فَلَوْ أَنَّهُ أَدْرَكَ
أَرْهَقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا
{ فَأَرَدْنَا أَنْ يُبَدِّلَهُمَا رَبُّهُمَا
خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ
وَكَانَ تَحْتَهُ }إِلَى آخِرِ الْآيَةِ
“Keduanya berjalan hingga mendatangi beberapa
anak kecil yang sedang bermain di tepi pantai, lalu dia mendekati salah satu
dari mereka dengan cepat dan langsung membunuhnya. Musa pun kaget dan berkata:
\"Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, yang tidak pernah membunuh orang
lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.\" Khidhr
berkata: \"Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu
tidak akan dapat sabar bersamaku?.\" Musa pun malu dan berkata:
\"Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah
kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan
uzur padaku.\" Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai
kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu
tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya
mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidr
menegakkan dinding itu. Musa berkata: \"Jikalau kamu mau, niscaya kamu
mengambil upah untuk itu.\" Khidhr berkata seraya sambil memegang pakaian
Musa: \"Inilah perpisahan antara aku dengan kamu, Aku akan memberitahukan
kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut,
dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang
raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Maka bila raja itu lewat dia akan
mendapati bahtera itu dalam keadaan rusak, hingga tidak jadi merampasnya dan
semuanya selamat, setelah itu mereka bisa kembali memperbaikinya dengan kayu. Dan adapun anak itu, telah ditakdirkan padanya kekafiran sedang
orang tuanya adalah orang-orang shaleh, apabila dia sudah besar dia akan
mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami
menghendaki, supaya Allah mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih
baik kesuciannya dari anak itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu
bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah
kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda
simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka
Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan
mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. “
Dalam menjelaskan makna hadis di atas Imam Nawawi
menjelaskan :
قَوْله : ( وَأَمَّا
الْغُلَام فَطُبِعَ يَوْم طُبِعَ كَافِرًا )
قَالَ الْقَاضِي : فِي هَذَا حُجَّة بَيِّنَة لِأَهْلِ السُّنَّة
لِصِحَّةِ أَصْل مَذْهَبهمْ فِي الطَّبْع َالرَّيْن وَالْأَكِنَّة
وَالْأَغْشِيَة وَالْحُجُب وَالسَّدّ ، وَأَشْبَاه هَذِهِ الْأَلْفَاظ الْوَارِدَة فِي الشَّرْع
فِي أَفْعَال اللَّه تَعَالَى بِقُلُوبِ أَهْل الْكُفْر وَالضَّلَال ، وَمَعْنَى
ذَلِكَ عِنْدهمْ خَلَقَ اللَّه تَعَالَى فِيهَا ضِدّ الْإِيمَان ، وَضِدّ الْهُدَى
، وَهَذَا عَلَى أَصْل أَهْل السُّنَّة أَنَّ الْعَبْد لَا قُدْرَةَ لَهُ إِلَّا
مَا أَرَادَهُ اللَّه تَعَالَى ، وَيَسَّرَهُ لَهُ ، وَخَلَقَهُ لَهُ ، خِلَافًا
لِلْمُعْتَزِلَةِ وَالْقَدَرِيَّة الْقَائِلِينَ بِأَنَّ لِلْعَبْدِ فِعْلًا مِنْ
قِبَلِ نَفْسه ، وَقُدْرَة عَلَى الْهُدَى وَالضَّلَال ، وَالْخَيْر وَالشَّرّ ،
وَالْإِيمَان وَالْكُفْر ، وَأَنَّ مَعْنَى هَذِهِ الْأَلْفَاظ نِسْبَة اللَّه
تَعَالَى لِأَصْحَابِهَا وَحُكْمه عَلَيْهِمْ بِذَلِكَ ، وَقَالَتْ طَائِفَة
مِنْهُمْ : مَعْنَاهَا خَلَقَهُ عَلَامَة لِذَلِكَ فِي قُلُوبهمْ . وَالْحَقّ
الَّذِي لَا شَكّ فِيهِ أَنَّ اللَّه تَعَالَى يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ مِنْ الْخَيْر
وَالشَّرّ ، لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ ، وَهُمْ يُسْأَلُونَ وَكَمَا قَالَ
تَعَالَى فِي الذَّرّ : " هَؤُلَاءِ لِلْجَنَّةِ وَلَا أُبَالِي ،
وَهَؤُلَاءِ لِلنَّارِ ، وَلَا أُبَالِي " فَاَلَّذِينَ قَضَى لَهُمْ
بِالنَّارِ طَبَعَ عَلَى قُلُوبهمْ ، وَخَتَمَ عَلَيْهَا ، وَغَشَّاهَا ،
وَأَكَنَّهَا ، وَجَعَلَ مِنْ بَيْن أَيْدِيهَا سَدًّا ، وَمِنْ خَلْفهَا سَدًّا
وَحِجَابًا مَسْتُورًا ، وَجَعَلَ فِي آذَانهمْ وَقْرًا ، وَفِي قُلُوبهمْ مَرَضًا
لِتَتِمّ سَابِقَته فِيهِمْ ، وَتَمْضِي كَلِمَته ، لَا رَادّ لِحُكْمِهِ ، وَلَا
مُعَقِّب لِأَمْرِهِ وَقَضَائِهِ . وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيق . وَقَدْ يَحْتَجُّ
بِهَذَا الْحَدِيث مَنْ يَقُول : أَطْفَال الْكُفَّار فِي النَّار ، وَقَدْ سَبَقَ
بَيَان هَذِهِ الْمَسْأَلَة ، وَأَنَّ فِيهِمْ ثَلَاثَة مَذَاهِب : الصَّحِيح
أَنَّهُمْ فِي الْجَنَّة ، وَالثَّانِي فِي النَّار ، وَالثَّالِث يَتَوَقَّف عَنْ
الْكَلَام فِيهِمْ ، فَلَا يَحْكُم لَهُمْ بِشَيْءٍ ، وَتَقَدَّمَتْ دَلَائِل
الْجَمِيع . وَلِلْقَائِلَيْنِ بِالْجَنَّةِ أَنْ يَقُولُوا فِي جَوَاب هَذَا
الْحَدِيث مَعْنَاهُ عَلِمَ اللَّه لَوْ بَلَغَ لَكَانَ كَافِرًا .
“Sabda
Nabi :(Dan adapun anak itu, telah ditakdirkan padanya kekafiran ). Dalam hadis
ini ada hujjah yang jelas bagi Ahlussunnah terhadap sahihnya dasar madzhab
mereka. Dalam masalah Tab’I (dicap),
Raini (tertutup), Akinnah (tutup), agsiyyah, Hijab, sad dan lafadz yang serupa dengannya
yang ditunjukan syari’at dalam masalah perbuatan Allah Ta’ala dengan hati-hati
orang kafir dan ahli kesesatan. Makna hal
itu menurut mereka (Ahlussunnah) adalah : Allah menciptakan lawan dari Iman dan
Petunjuk di dalam hati mereka. Pengertian ini sebagai dasar bagi Ahlussunah bahwa
seorang hamba tidak memiliki kekuasaan apapun kecuali
apa yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala dan Allah memudahkan baginya dan
menciptakannya, berbeda dengan Mu’tazilah dan
Qadariyah yang mengatakan : bahwa seorang hamba memiliki perbuatan dari sisi
dirinya sendiri, dan memiliki kemampuan atas petunjuk dan kesesatan, kebaikan
dan keburukan, iman dan kufur, dan bahwa makna lafadz-lafadz ini adalah penisbatan Allah
kepada pemilik( pelaku)-pelakunya dan Allah menetapkan hal itu atas mereka. Sebagian golongan dari mereka berpendapat
bahwa pengertiannya adalah Allah menciptakan tanda-tanda akan hal itu di dalam
hati mereka. Yang benar yaitu sesuatu yang tidak ada keraguan di
dalamnya bahwa Allah Ta’ala berbuat apa yang dikehendakinya berupa kebaikan dan
keburukan, dan Dia tidak ditanya dari apa yang diperbuatnya tetapi merekalah
yang akan ditanya. Dan sebagaimana Allah Ta’ala berfirman di
dalam Al Dzurri : “ mereka akan masuk Sorga dan aku tidak perduli, dan mereka
akan keneraka dan akau tidak perduli”. Maka orang-orang yang ditetapkan Allah
Neraka maka Allah mencap hati mereka, menutup, menyelimuti hati mereka dan memeri
penghalang, Allah membuat penutup di depan hati mereka dan dibelakang mereka,
penghalang yang tertutup, dan membuat penutup di dalam telinga mereka, di dalam
hati mereka ada pernyakit, untuk menempurnakan ketentuan-Nya pada mereka, dan
menetapkan kalimat-Nya tidak ada yang mampu menolak ketetapan hukumnya, dan tidak
ada yang mendahului perintahdan ketentuan-Nya.” Segala petunjuk hanya milik
Allah.
Terkadang
hadis di atas dijadikan hujjah oleh orang yang berpendapat bahwa : anak-anak
orang kafir di dalam Neraka, permasalahn ini sebenarnya sudah di jelaskan, dan ada
3 madzhab. Pendapat yang sahih adalah bahwa bahwa anak-anak orang kafir di dalam
Sorga, pendapat kedua : mereka di neraka, pendapat ketiga mentawaqufkan (berhenti)
dalam membicarakan hal itu, mereka tidak dikenai hukuman dengan sesuatupun. Dali-dalil
semua pendapat sudah dikemukakan.”
Membahas
masalah keadilan Allah ini berkaitan dengan perbuatan hamba. Untuk lebih
memperdalam masalah ini dalam pemikiran akidah, bisa dirujuk buku-buku yang
membahas hal itu (Tarikh Al Madzahibil Islamiyah)
kalau
melihat pendapat Ahlususunah apapun yang ditetapkan oleh Allah apakah akan menjadikan
seorang bayi itu menjadi muslim atau kafir itu merupakan kehendak Allah dan
kehendaknya tidak harus dibatasi dan dipaksa oleh sifat keadilan-Nya. Namun menurut
pendapat saya, Allah pasti lebih tahu
bagaimana Dia berbuat adil dalam menjadikan seseorang menjadi muslim atau menjadi
kafir. Wallahu ‘allam.
Rujukan :
-Tafsir
Munir, Wahbah Zuhaili
-Tafsir
Al Manar, Rasyid Ridla
-Tafsir
Jami’ul Ahkam Al Qur’an, Qurtubi
-
Tafsir Al Misbah
-Fatul
Bari, Ibnu Hajar
-Sarah
Muslim, Imam Nawawi
-Tuhfatul
Ahwadzi, Al Mubarakfuri
-
Buku-buku Ilmu kalam
15 /02/2012
Oleh : محمد مؤلف
Tidak ada komentar:
Posting Komentar