Dalam
disiplin ilmu kalam Kalau di pondok-pondok pesantren biasanya diajarkan
kitab-kitab yang menjadi pegangan seperti Tijan Ad darari, Aqidatul Awam,
Ummul barahin, Sanusiyah, Kifayatul Awam, jauhar Tauhid, Samarqandiyah
dan kitab-kitab lain. Dimana kitab-kitab tersebut membahas mengenai
kajian-kajian dalam ilmu kalam khususnya yang berafiliasi dengan aliran Al As’ariyah
dan Al Maturidiyah yang lebih dikenal dengan aliran Ahlussunah.
Berkenaan
dengan diskursus tentang Ahlussunnah maka saya akan mengutip beberapa
literatur yang menjelaskan tentang apa dan siapa sebenarnya yang menyandang Aliran
Ahlussunah dalam perspektif sejarah pemikiran Ilmu kalam atau Teologi
Islam.
Arti
Ahlussunnah ialah penganut Sunnah Nabi. Arti wal jama’ah
ialah penganut I’tiqad sebagai I’tiqad Jama’ah sahabat-sahabat Nabi. Kaum ahlussunah
wal Jam’ah ialah kaum yang menganut I’tiqad sebagai I’tiqad yang dianut
oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabat beliau. I’tiqad nabi SAW dan
sahabat-sahabat itu telah termaktub dalam Al Qur’an dan dalam Sunnah Rasul
secara terpencar-pencar, belum tersusun secara rapid an teratur, tetapi
kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin
yang besar, yaitu Syaikh Abu Hasan Ali al Asy’ari (lahir di Basrah tahun
260 H.- wafat di Basrah juga tahun 324 H. dalam Usia 64 tahun)
Karena
itu ada orang yang memberi nama kepada kaum Ahlussunnah wal jama’ah
dengan kaum ‘asy’ari, dikaitkan kepada Imam Abu Hasan ‘Ali Al Asy’ari tersebut.
Dalam kitab-kitab Ushuluddin biasa juga dijumpai perkataan Sunny, kependekan Ahlussunnah
wal Jama’ah, orang-orangnya dinamai Sunniyun. Tersebut
dalam kitab Ittihaf Sadatul Muttaqin karangan Imam Muhammad bin
Muhammad al Husni az Zabidi, yaitu kitab Syarah dari kitab Ihya Ulumuddin
karangan Imam Al Ghazali, pada jilid 2 pagina 6 yaitu : “Apabila disebut
kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, maka maksudnya ialah orang-orang yag mengikut rumusan
(paham) Asy’ari dan paham Abu Mansur al Maturidi.”
Kaum
Ahlussunah wal Jama’ah muncul pada abad 3 Hijriyah sebagai reaksi
dari firqah-firqah yang sesat (Syiah, Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah,
Mujassimah dan sebagian paham Ibnu Taimiyah) timbulah golongan yang
bernama kaum Ahlussunah wal Jama’ah, yang dikepalai oleh dua
orang ulama besar dalam Ushuluddin yaitu Syeikh Abu Hasan Ali al ‘Asy’ari
dan Syeikh Abu Mansur al Maturidi.*(1
Ahlu
Sunah merupakan madzhab terbesar yang
dianut umat Islam yang dikenal dengan sebutan Sunni. Para pengamat
sejarah mensinyalir bahwa Abdullah bin Umar dan Abdullah Ibnu Abbas
merupakan perintis gerakan kesatuan umat Islam dalam satu Jama’ah (Ahlu
Sunnah Wal Jama’ah). Keduanya dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW.
Yang senantiasa memelihara sunnah-sunnah Rasulullah SAW. Bakan saat terjadinya
kekuasaan Islam dari Khalifah Ali Bin Abi Talib oleh Muawiyah, kedua Abdullah
itu tidak masuk dalam perselisihan. Mereka memilih hidup zuhud dan memfokuskan
diri dalam ibadah-ibadh yang ketat (taqarrub) kepada Allah Azza Wa Jalla. Skap
moderat itu kemudian menjadi ciri dari teologi Ahlu Sunnah wal Jama’ah atau
Sunni (mengutip Nurcholis Majid; Khazanah Intelektual Islam).
Menurut
Nucholis Majid, istilah Ahlu Sunnah baru muncul pada masa kekuasaan
Daulah Abbasiyah di bawah pimpinan Abu Ja’far Al Mansur (137-159 H/754-755 M)
dan Harun Al Rasyid (170-194 H? 785-809 M), yakni saat munculnya Abu Hasan
Al Asy’ari (260-324 H?873-935 M). yang beraliran Al asyariyah dan Abu
Mansur Muhammad (w.944) yang beraliran Maturidiyah. Mereka berdua mengaku
berpaham (madzhab) Ahlu Sunnah.
Istilah
Ahlu Sunnah wal jama’ah apabila ditelusuri dari hadis terdapat pada
Riwayat Imam Abu daud dan Ibnu Majah. Tapi istilah itu kemudian melekat pada
kelompok Islam yang mendukung sunnah Nabi seperti ahli Hadis, ahli kalam dan
ahli politik. (Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, 1996)
Menurut
Abdul Hadi Awang, mereka yang disebut Ahlu Sunnah adalah yang mengaku
Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul Allah, mengakui para pemimpin Islam Khulafa’ ar
Rasyidun dan berpegang teguh pada Al Qur’an dan As Sunnah. (Abdul Hadi Awang,
Faham dan Ideologi Umat Islam : Rujukan Lengkap Anutan dan Aliran Pemikiran Masyarakat
Islam Sejak Zaman Khalifah Islam Pertama, 2008).
Generasi
pertama Ahlu Sunnah adalah para Sahabat Rasulullah SAW, tabi’in, dan
setelah tabi’in yang dikenal dengan sebutan Salaf. Generasi selanjutnya adalah
para ulama dari aliran Maturidiyah dan Asy’ariyah serta para ulama fiqih
seperti Ahmad bin Hmbal (w.241 H), Abu Hanifah, Malik Bin Anas (w. 179), Imam
Syafi’I, Imam Sufyan As Sauri, dan lainnya.
Keberadaan
aliran Ahlu Sunnah mulai kelihatan pengaruhnya saat mendapatkan dukungan
dari kekuasaan Daulah Abbasiyah yang dipimpin oleh Al Mu’tashim yang tidak
ketat dalam persoalan aliran teologi. Untuk memperlihatkan dukungannya ,
khalifah Al Mutawakkil yang menjabat setelah Al Mu’tashim, membebaskan Ahmad
bin Hambal dari tahanan dan menyatakan Mu’tazilah sebagai aliran terlarang.
Bahkan pejabat-pejabat yang masih beraliran Mu’tazilah diharuskan bertobat dan
masuk kealiran Ahlu Sunnah. Apabila masih bersikeras, tak segan-segan
mereka disiksa hingga menyatakan kelaur dari keyakinannya.
Bahkan
seorang Mu’tazilah yang juga pejabat hakim Mesir yang bernama Abu Bakar
Muhammad bin Abi Lais, oleh suruhan Al Mutaakkil dijatuhi hukuman cambuk,
dicerca dan disiksa sampai hampir mati. Hal itu dilakukan sebagai balas dendam
atas penyiksaan terhadapnya yang dilakukan Abu Bakar Muhammad bin Abi Lais saat
melakukan mihnah. Hampir semua tokoh dan pengikut Mu’tazilah pun
dijatuhi hukuman mati dan sebagian dipenjarakan serta disiksa hingga menyatakan
keluar dari aliran Mu’tazilah.
Tindakan kejam yang berbalut unsur politik dan
kebencian terhadap aliran yang berbeda ini menimpa juga pada sejarawan dan ahli
tafsir ternama, Muhammad bin Jarir At Thabari (w.311 H/923 M). Ulama
Sunni ini disiksa karena menulis buku “Ihtilafu Al Fiikaha” yang berisi
tentang perbedan pendapat dalam fiqih, tetapi tidak mencantumkan pendapat Ahmad
Bin Hambal. Setelah ditanya, At Thabari menjawab bawa Ahmad bin Hambal bukan
seorang ahli fiqih, tetapi seorang ahli hadis. Atas jawababnya itu At
Thabari diperlakukan secara keji dengan dilempari batu dan dituduh telah
meremehkan ulama besar. Hal yang paling menyakitkan bagi At Thabari adalah
munculnya larangan menghadiri kuliahnya dan mengharamkan membaca
karya-karyanya.
Tidak
hanya kepada Mu’tazilah kebijakan dan tindakan zalim khalifah Al Mutawakkil pun
merambah kepada semua aliran yang bercorak rasional. Selain itu Al Mutawwakkil
memerintahkan tentaranya untuk menghancurkan bangunan-bangunan suci Syi’ah,
termasuk makam Al Husain bin Ali dan melarang berziarah ketempat tersebut.
Bagaimanakah
ajaran dan pokok-pokok dasar keyakinan teologi Ahlu Sunnah ini ? dalam
memaknai iman, aliran ini berpendapat bahwa iman adalah keyakinan dalam hati,
mengucapkan dengan lisan dan pembuktian dengan perbuatan. Dalam konsep
ketuhanan Ahlu Sunnah menetapkan bahwa tauhid meliputi rububiyah,
uluhiyah, asma dan sifat. Mengenai Al Qur’an, Ahlu Sunnah meyakini al
Qur’an sebagai kalam Allah, bukan Makhluk seperti yang diyakini Mu’tazilah.
Ahlu
Sunnah menetapkan sumber pengambilan hukum
didasarkan pada Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Seseorang belum dikatakan
muslim apabila tidak menjalankan rukun Islam yang lima : membaca syahadat,
shalat (lima waktu), puasa (ramadhan), zakat dan haji. Adapun dalam rukun iman
(ushuluddina), Ahlu Sunnah menetapkan bahwa seseorang dikatakan beriman
apabila meyakini Allah sebagai tuhannya, iman kepada malaikat-malaikat, iman
kepada kitab-kitab Allah, iman kepada Nabi dan Rasul Allah, iman kepada hari
Akhir (qiyamat) dan iman kepada qadha-qadar yang ditetapkan Allah.
Sejarah
mencatat bahwa aliran ini pecah menjadi dua. Pertama adalah golongan
salafiyah yang diwakili Ahmad bin Hambal, Abu Hasan Al Asy’ari (w.330),
Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah (w.751) dan Muhammad bin Abdul Wahab
(1703-1787 M). adapun yang menjadi cirinya adalah mereka menafsirkan Al
Qur’an dan hadis secara harfiyah (tekstual), menolak ta’wil, melarang keras
penggunaan filsafat dan teologi, menolak semua ulama yang menafsirkan Al Qur’an
secara batiniyah, menyalahkan pendapat para fuqoha apabila tidak sesuai dengan
Al qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Kedua
adalah golongan Khalaf yang diwakili
oleh Al Baqilani (w.403 H) dan Al Juwaini (w.478 H). golongan ini masih
bisa menerima ta’wil dan bersikap toleran terhadap kalangan sufi. Bidang fiih
merujuk pada empat imam madzhab fiqih dan hadis menggunakan riwayat-riwayat
dari “ Al Kutub Al Sittah” yang meliputi Bukhari (w.256 H/870 M),
Muslim (w.261 H/875 M), Ibnu Majah (w. 273 H/886 M), Abu Daud (w.275 h/886 M),
Al Tirmidzi (w.279 H/892 M) dan An Nasai (w.303 H/916 M).
Pada
awal abad pertengahan, Imam Al Ghazali memasukkan Tasawuf dalam Khazanah
teologi Ahlu Sunnah. Hanya bidang filsafat yang tidak menjadi perhatian mereka
karena mereka berupaya agar tidak terpengaruh ajaran dan pemikiran dari luar
Islam, terutama tradisi hellenisme Yunani (Barat).
Selanjutnya
tampil Ibnu Taimiyah memberikan warna baru dengan pemikiran kritis dan membuka
pintu ijitihad yang sebelumnya tertutup akibat sikap taklid terhadap para ulama
terdahulu. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, khazanah intelektual di kalangan Ahlu
Sunnah mandek karena pada masa itu konsentrasinya terfokus pada perebutan
wilayah kekuasaan antar-daulah Islam.
Tumbuhnya
khazanah tasawuf dalam dunia Islam (Sunni) dan pertikaian politik
mengakibatkan aliran Ahlu Sunnah tercemari dengan ajaran-ajaran dari
luar Islam. Ditambah lagi dengan perebutan kekuasaan wilayah Islam dan politik
identitas yang mungkin meruncingkan pertikaian di antara aliran-aliran Islam.
Hal ini terlihat dari berdirinya pemerintahan Ghaznawi
dan Daulah Saljuk (1063 -1128 M) di Turkistan yang mengesahkan Ahlu
Sunnah sebagai madzhab resmi Negara. Adapun teologi Syi’ah Ismailiyah
Menjadi madzhab resmi Daulah Fathimiyah (969-1171 M) di Mesir.
Konflik
di antara sesame Daulah Islam yang membawa bendera teologi masing-masing
membuka peluang bangsa Barat untuk menjajah kawasan-kawasan Islam yang lemah
akibat konfik yang berkepanjangan. Akhirnya dunia Islam mengalami kemunduran
dalam khzanah intlektual dan menderita karena djajah bangsa Barat. *(2
Untuk
menolak paham Muktazilah, Asy’ari menyusun beberapa kitab tauhid. Tujuan
penulisan kitab tauhid yang dikarangnya tidak lain kecuali sebagai upaya
kembali pada jalan kebenaran. Yakni kembali kepada tradisi pemikiran ulama
salaf. Dalam kisah itu, karya tauhid yang dimaksud antara lain kitab al
Luma’(mengutip Syekh Hamad bin Muhammad al Anshari, mukaddimah(catatan
komentar) Al Ibanah ‘an Ushul al Diyanah). Bahkan menurut al
Hafidz, Asy’ari termasuk seorang tokoh yang sangat produktif. Akumulasi karyanya
mencapai hitungan lima puluh lima kitab. Dan rata-rata, bahasan karya-karyanya
seputar akidah yang diproyeksikan untuk menolak (counter) terhadap sendi-sendi
bid’ah dan penyimpangan akidah.
Sejak
saat itu ( setelah al Asy’ari menyampaikan kepada khalayak ramai bahwa
dirinya telah melepaskan baju Muktazilah) al Asy’ari dengan gigih
berjuang bersama Ahlul hadis meruntuhkan kepercayaan-kepercayaan
Muktazlah. Beliau merumuskan pokok-pokok pikiran dalam berbagai kitab
karangannya. Para pengikutnya pun berdatangan dari segala kawasan dunia Islam.
Aliran ini kemudian dikenal dengan sebutan al Asy’ariyah, dan dalam
perkembangan selanjutnya, aliran ini lebih banyak dikenal dengan sebutan Ahlusunnah
wal Jama’ah. (aliran ini diyakini oleh para pengikutnya sebgai faham yang
mewarisi tradisi eagamaan Nabi SAW, para sahabat, tabiin dan tabiin-tabi’in. Mereka
sebenarnya berjumlah mayoritas namun lebih banyak diam (silent mayoriti)
menghadapi beragam persoalan yang terjadi. Artinya sejak timbulnya perpecahan
di era Khalifah Usman RA dan ‘Ali RA, dikalangan umat sebenarnya terdapat
golongan yang berjumlah mayoritas namun memilih diam dan tidak mau ikut campur
dalam urusan politik. Mereka hanya diam dan mengamati setiap perkembangan yang
terjadi. Merekapun tidak menyatakan diri bergabung dengan kelompok tertentu.
Golongan inilah yang secara tradisional meneruskan tradisi kegamaan yang
diwariskan secara turun-temurun sejak era Nabi SAW. Hingga periode berikutnya.
Pada era kepemimpinan Al Ma’mun, dimana aliran rasional Muktazilah cenderung
dipaksakan agar dianut oleh seluruh rakyat, akhirnya glongan ini menampakkan
jati dirinya. Kebetulan saat itu terdapat seorang intelektual handal dan
kharismatik, Abu Hasan Al Asy’ari, yang siap berada di barisan terdepan
menentang faham Muktazilah. Bersama beliaulah golongan ini menggabungkan diri. Aliran
Asy’ariyah pada Akhirnya menjadi aliran yang dianut mayoritas umat Islam
hingga abad modern ini.)
Sehingga
perjalanan panjang tokoh-tokoh pejuang Ahlussunah wal jama’ah dalam sisi
tradisi pemikiran sesuai dengan yang disampaikan oleh Nabi SAW, sahabat dan
salafus al Shalih harus kita teladani meski harus berhadapan dengan cibiran
dan cemoohan sekalipun sebagaimana yang dialami ulama-ulama terdahulu dalam
mempertahankan keyakinannya.
Di
kalangan penganut Sunni, kegemilangan pemikiran Al Ghazali semakin mengokohkan
aliran Asy’ariyah sehingga paham ini hampir dianut oleh mayoritas umat
Islam diberbagi Negara. Paham Sunni Asy’ariyah secara tradisional terus
bertahan hingga berabad-abad lamanya dan tetap dengan memakai atribut dan nama
lama, yakni Sunni Asy’ariyah atau Ahlussunnah wal Jama’ah. Di
Indonesia, aliran ini direpresentasikan oleh berdirinya gerakan Nahdlatul Ulama
(NU) serta lembaga-lembaga pendidikan pesantren yang tersebar luas di seantero
negeri.
Selain
paham tradisional Asy’ariyah, aliran Sunni semakin berkembang dengan
lahirnya sekte-sekte baru yang mengkalim dirinya sebagai pengikut Ahmad bin
Hambal, salah satu tokoh utama Sunni, tetapi tidak mengaku sebagai
pengikut Asy’ari. Sekte baru tersebut dinamakan dengan Aliran salaf
dan dipelopori oleh ulama kenamaan Ibnu Taimiyah. Paham salaf Ibnu
Taimiyah ini pada abad-abad berikutnya semain berkembang dengan melahirkan
sekte cabang baru yang cukup banyak jumlahnya seperti aliran salaf dan gerakan
Wahabi.
Masuknya
Filsafat Yunani ke dunia Islam semakin menyemarakkan diskursus akidah
dikalangan umat Islam. Aliran pertama yang sangat dipengaruhi filsafat adalah
Muktazilah, sehingga ajaran tauhid mereka cenderung rasional dan liberal.
Pemerintahan Al Ma’mun yang memang menaruh minat cukup besar terhadap filsafat,
akhirnya menjadikan aliran Muktazilah sebagai madzhab resmi Negara. Akibatnya
pihak pemerintah cenderung memaksa para pegawai pemerintah dan tokoh masyarkat
untuk menganut paham Muktazilah. Dari sinilah kemudian timbul perlawanan dari
berbagai pihak terhadap ajaran Muktazilah, yang pada akhirnya melahirkan paham Ahlussunah
wal Jama’ah (Sunni). Di Bagdhad hadir abu Hasan Al Asy’ari, di Samarkand
ada Abu Mansur al Maturidi, dan di Bukhara terdapat Abu al Yusr Ali al Bazdawi.
Mereka semua menggelorakan semangat perlawanan terhadap faham Muktazilah dan
mengingkrarkan diri sebagai pengikut Ahli Hadis (Imam Ahmad Bin Hambal)
yang mewarisi akidah nabi Muhamad SAW dan para sahabatnya (Sunni).
Pada
masa-masa berikutnya dua aliran ini (Muktazilah dan Sunni) nyaris
mendominasi percaturan diskursus tauhid umat Islam, disamping aliran Syiah yang
sesekali muncul kepermukaan. Ketiganya terus berkompetisi memperebutkan
kantong-kantong suara umat Islam. Perbedaannya jika Sunni semakin mendapat
simpati, maka Syiah cenderung jalan ditempat dan Muktazilah justru semakin
anjlok.
Pada
permulaan abad ke-5 Hijriyah aliran Muktazilah akhirnya mati sama sekali, dan
tinggallah Syi’ah dan Sunni yang terus bertahan. Pada abad ini erakan
kembali ke aliran Salaf yang digelorakan Ibnu Taimiyah beberapa abad
sebelumnya, berhasil melahirkan gerakan-gerakan baru dikalangan kaum Sunni,
seperti Wahabi di Saudi Arabia dan Muhammadiyah di Indonesia. Sementara
aliran-aliran Sunni lainnya seperti Asy’ariyah dan Maturidiyah
juga terus bertahan dan bahkan melahirkan gerakan baru pula, seperti Nahdlatul
Ulama di Indonesia. *(3
Pengaruh
penerjemahan buku-buku filsafat terhadap perbedaan pendapat dalam Islam tmpak
sangat jelas. Nuansa pemikiran Islam banyak dipengaruhi oleh pertentangan antar
madzhab filsafat kuno tentang alam, materi dan metafisika. Dikalangan umat
Islam ada yang mengikuti madzhab dan metode filsafat kuno. Pada masa daulah
‘Abbasiyah muncul kaum skeptic yang meragukan segala sesuatu dengan metode kaum
sofistik yang terdapat di Yunani dan Romawi.
Dari
madzhab-madzhab filsafat di atas lahir bermacam-macam pemikiran yang mempengaruhi
pemikiran keagamaan dan muncul beberapa pemikir yang melahirkan pemikiran
filosofis di bidang akidah Islam. Dalam madzhab Mu’tazilah, umpamanya terdapat
para ulama yang menggunakan metode filosofis dalam menetapkan akidah Islam.
Demikian pula ilmu kalam madzhab Mu’tazilah dan ilmu kalam mazdhab
penentangnya, Ahlussunnah, merupakan kumpulan silogisme, perbandingan
filosofis dan kajian rasonal murni.
Sebenarnya
pada abad ke-3 dan ke-4 Hijrah, Mu’tazilah semakin melemah. Dulu mereka
gigih dalam menolak kaum yang sesat dan menyerang Islam. Ketika mereka telah
lemah, Al Asy’ari mucul di tengah-tengah ulama Sunni dan orang-orang
yang melanjutkan aktivitas mereka untuk melaksanakan pekerjaan besar, sebab ia
adalah murid para ulama Mu’tazilah dan mengenal benar kegigihan mereka dalam
hal itu. Di samping itu, ia telah menjadi imam Ahlussunnah yang terkenal
pada waktu itu setelah dominasi golongan Mu’tazilah hilang. Dengan begitu al
Asy’ari memperoleh kedudukan yang tinggi dan mempunyai banyak pendukung, ia
mendapatkan dukungan dan pembelaan dari para penguasa. Kemudian ia mengalahkan
musuh-musuhnya, baik dari kaum Mu’tazilah maupun dari kaum yang sesat serta
orang-orang kafir. Para pendukungnya menyebar luas keberbagai kawasan untuk
memerangi musuh Ahlussunnah dan penentangnya. Kebanakan ulama pada
masanya menggelarinya sebagai Imam Ahlussunah wa al jama’ah.
Kendatipun
demkian, sepeninggalannya datang sejumlah ulama yang menentangnya. Ibnu
Hazm misalnya menganggapnya sebagai bagian dari Jabariyah.
Pendapat Al Asy’ari tentang perbuatan manusia, dalm pandangan Ibnu Hazm,
tidak menetapkan adanya Ikhtiar manusia. Ia juga menganggapnya sebagai pengikut
Murji’ah karena pendapatnya mengenai pelaku dosa besar.
Setelah Ibnu Hazm menyusul para
pengkritik lain terhadap Al Asy’ari pada bebrapa masalah selain dua
masalah di atas. Kendatipun demikian, kebanyakan para penentangnya sirna dalam
sejarah perjalanan Islam. Dari generasi ke generasi , pendukungnya justru
semakin kuat. Pandangan merekasemakin kokoh dan mengikuti jejak Al Asy’ari.
Mereka berdiri pada posisi Al Asy’ari dalam menyerang Mu’tazilah dan
golongan yang mengingkari Ketuhanan. Posisinya mereka gantikan dalam segala
bidang dan pembicaraan tentang akidah.
Sekalipun kesuksesan Al Asy’ari
berlanjut terus pada awal perjalanan sejarahnya, tetapi ada sejumlah ulama
besar Islam yang menentangnya, sungguhpun jumlah mereka tidak banyak. Dari
kalangan Hambalipun ada ulama yang menentangnya. *(4
Selain
dari Abu Hasan al Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi ada lagi seorang teolog
dari mesir yang juga bermaksud untuk menetang ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah.
Teolog itu bernama al Thahawi (w.933 M) dan sebagaimana halnya dengan Al
Maturidi ia juga pengikut dari Abu Hanifah, Imam dari Madzhab Hanafi dalam
lapangan hukum Islam. Tetapi ajaran-ajaran At Thahawi tidak menjelma sebagai
aliran teologi dalam Islam. Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang
timbul dalam Islam ialah aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan
Maturidiyah. Aliran-aliran Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah tidak mempunyai
wujud lagi kecuali dalam sejarah.
Yang
masih ada sampai sekarang adalah aliran-aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dan
keduanya disebut Ahl Sunnah wa al jama’ah. Aliran maturidiyah
banyak dianut oleh ummat Islam yang bermadzhab Hanafi, sedangkan aliran
Asy’ariyah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya.
Dengan masuknya kembali paham rasionalisme kedunia Islam, yang kalau dahulu
masuknya itu melalui kebudayaan Yunani Klasik akan tetapi sekarang melalui
kebudayaan Barat Modern, maka ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali,
terutama sekali di kalangan kaum intelegensia Islam yang mendapat pendidikan
Barat. Kata Neo-Mu’tazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai
Islam,”umpamanya kaum modernis Islam India disebut neo- Mu’tazailah oleh
pengarang-pengarang barat. Robert Caspar menulis tentang, “Le Renouveau du
Mo’tazilisme” dalam Insitut Dominicain d’Etudes Orientales du Caire
Melanges, IV (1957).
Kaum
Mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan karena
mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi karena mereka
ragu akan keoriginalan hadis-hadis mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh
karena itu mereka dapat dipandang sebagai golongan yang tidak berpegang teguh
pada sunnah. Dengan demikian kaum Mu’tazilah, disamping merupakan golongan
minoritas, adalah pula golongan yang tidak kuat berpegang pada sunnah.
Mungkin
inilah yang menimbulkan term ahli Sunah dan Jama’ah, yaitu golongan yang
berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagi lawan bagi golongan
Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tak kuat berpegang pada sunnah.
Maka
sunnah dalam term ini berarti hadis. Sebagaimana diterangkan Ahmad Amin, Ahli
Sunnah dan Jama’ah, berlainan dengan kaum Mu’tazilah, percaya pada dan
menerima hadis-hadis Sahih tanpa memilih dan tanpa interpretasi. Dan Jama’ah
berrati mayoritas sesuai dengan tafsiran yang diberikan Sadr al Syari’ah al
Mahbubi yaitu ‘ammah al Muslimin (umumnya Ummat Islam) dan al
Jama’ah al katsir wa al sawad al a’dzam (jumlah besar dan khalayak
ramai).
Term
ini kelihatannya banyak dipakai sesudah timbulnya aliran-aliran al Asy’ari
dan al Maturidi, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Dalam
hubungan ini Tasy Kubra Zadah menerangkan : “ ……. Dan aliran Ahli Sunnah dan
Jama’ah muncul (dzahara) atas keberanian dan usaha Abu Hasan Al Asy’ari
disekitar tahun 300 H, karena ia lahir di tahun 260 H, dan menjadi pengikut
Mu’tazilah selama 40 Tahun.” Dengan kata lain Al Asy’ari keluar dari golongan
Mu’tazilah sekitar tahun 300 H dan selanjutnya membentuk aliran teologi yang
kemudian dikenal dengan namanya sendiri. Tetapi lama sebelum lahirnya aliran
Asy’ari kata-kata Sunnah dan Jama’ah telah dijumpai di dalam tulisan-tulisan
Arab. Umpamanya di dalam surat al Ma’mun kepada Gubernurnya Ishaq Ibnu Ibrahim
yang ditulis di tahun 218 H, yaitu sebelum al Asy’ari lahir, tercantum
kata-kata wa nasabu anfusahum ila al sunnah (mereka mempertalikan
diri mereka dengan sunnah) dan kata-kata ahl al Haq wa al din wa al
Jama’ah (ahli kebenaran, agama dan jama’ah).
Bagimanapun,
yang dimaksud dengan Ahli sunnah dan Jama’ah di dalam lapangan Teologi
Islam adalah Kaum Asy’ariyah dan kaum Maturidi. *(5
Istilah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berasal dari kata-kata :
a.
Ahl
(ahlun), berarti golongan atau pengikut.
b.
Al
Sunnah berarti tabiat, perilaku, jalan
hidup, perbuatan yang mencakup ucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah SAW.
c.
Wa huruf ‘athaf yang berarti dan atau serta.
d.
Al
Jama’ah berarti jama’ah, yakni jama’ah para
sahabat Rasul Saw. Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup para sahabat.
Secara
etimologis, istilah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah berarti golongan yang
senantiasa mengikuti jalan hidup Rasulullah SAW dan jalan hidup para
sahabatnya. Atau golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul SAW dan sunnah
para sahabat, lebih khusus lagi sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As Siddiq,
Umar bin Khatab, Ustman bin ‘Afan dan Ali Bin Abi Thalib.
Selanjutnya
jalan hidup Rasulullah SAW tidak lain adalah ekspresi nyata dari kandungan al
Qur’an. Ekspresi nyata tersebut kemudian biasanya disitilahkan dengan al Sunnah
atau al Hadis. Kemudian Al Qur’an sebagai kalamullah, terkemas sendiri dalam
mushaf Al Qur’an Al karim. Sedangkan ekspresi nyatanya pada diri Rasulullah SAW
pun terkemas secara terpisah dalam kitab-kitab hadis, seperti sahih Bukhari,
Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Al turmudzi, Sunan An Nasai dan Sunan Ibnu
Majah, serta kitab hadis-hadis lainnya yang disusun oleh para ulama lainnya.
Di
samping itu para sahabat, khususnya sahabat empat adalah generasi pertama dan
utama dalam melazimi perilaku Rasulullah SAW, sehingga jalan hidup mereka
praktis merupakan penjabaran ynata dari petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah.
Setiap langkah hidupnya, praktis merupakan aplikasi dari norma-norma yang
terkandung dan terkehendaki oleh ajaran Islam, serta mendapat petunjuk dan
control langsung dari baginda Rasulullah Saw. Oleh karena itu, jalan hidup
mereka relatif terjamin kelurusannya dalam mengamalkan ajaran Islam, sehingga
jalan hidup mereka pulalah yang paling tepat menjadi rujukan utama setelah
jalan hidup Rasulullah Saw. Sendiri. Dalam hadis diterangkan :
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ حَدَّثَنَا
النَّضْرُ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي جَمْرَةَ سَمِعْتُ زَهْدَمَ بْنَ
مُضَرِّبٍ سَمِعْتُ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ
أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ قَالَ
عِمْرَانُ فَلَا أَدْرِي أَذَكَرَ بَعْدَ قَرْنِهِ قَرْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ
إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ وَيَخُونُونَ وَلَا
يُؤْتَمَنُونَ وَيَنْذُرُونَ وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ السِّمَنُ
Artinya :”Telah bercerita kepadaku Ishaq telah
bercerita kepada kami an-Nadlar telah mengabarkan kepada kami Syu'bah dari Abu
Jamrah, aku mendengar Zahdam bin Mudlarrib, aku mendengar 'Imran bin Hushain
radliallahu 'anhuma berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baik ummatku adalah yang
orang-orang hidup pada zamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang
setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka". 'Imran
berkata; "Aku tidak tahu apakah setelah menyebut generasi beliau, beliau
menyebut lagi dua generasi atau tiga generasi setelahnya.""Kemudian
akan datang setelah kalian suatu kaum yang mereka bersaksi padahal tidak
diminta bersaksi dan mereka suka berkhiyanat (sehingga) tidak dipercaya, mereka
memberi peringatan padahal tidak diminta memberi fatwa dan nampak dari ciri
mereka berbadan gemuk-gemuk". (HR. Bukhari)
Ada dua pendapat mengenai hadis tersebut. Pertama, periode seratus.
Pertama dari masa hidup Nabi SAW (abad 1 H). kemudian seratus tahun
kedua (abad II H) dan disusul seratus tahun berikutnya lagi (abad III). Hal ini
didasarkan pada pengertian qarnun, yaitu abad atau hitungan 100
tahun. Kedua, ada yang berpendapat bahwa qarnun tidak
diartikan dengan perhitungan 100 tahun, tetapi yang dimaksud adalah suatu
situasi yang mana ajaran-ajaran Islam secara affah, integral dan komprehensif
dia amalkan oleh pemeluk-pemeluknya dan belum timbul adanya firqoh-firqoh. Hal
ini terjadi hanya pada masa hidup Nabi SAW, masa Khalifah Abu Bakar As Siddiq
Ra., dan Umar Bin Khatab. Pasca masa tersebut mulai timbul adanya
konfik-konflik politik dan diikuti oleh perbedaan paham keagamaan, yaitu masa
akhir khalifah Utsman bin ‘Affan dan seterusnya.
Sejalan dengan pemikiran yang demikian itu , maka tepatlah definsi Ahlus
Sunnah Wal jama’ah yang dikemukakan oleh Abu al Fadl bin al syekh ‘Abd al
Syakur al Sanuri dalam kitabnya “ Al kawakib al lamma’ah fi Tahqiq al
Musamma bi Ahlussunah wa al Jama’ah”. Bahwasanya yang dimaksud dengan Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah ialah golongan yang senantiasa berpegang teguh (committed)
mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Dan petunjuk (tariqah) para sahabatnya, baik
dalam lingkup akidah, ibadah maupun dalam lingkup akhlak.
Adapun wujud konkritnya, Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak lain
ialah golongan yang senantiasa berpegang teguh terhadap petunjuk Al Qur’an dan
As Sunnah. Artinya dalam segala hal selalu merujuk kepada petunjuk Al Qur’an
dan al Sunnah. Selanjutnya diterangkan :
“tatkala itu telah terjadi penamaan Ahlussunah wal Jama’ah
bagi orang-orang memegangi sunnah Nabi SAW dan thariqah (cara hidup) para
sahabat dalam akidah agama, amal perbuatan badaniyah dan akhlak hati.”
Menurut Muhammad Khalifah al Tamimi dalam “Mu’taqad Ahl as
Sunnah wal Jama’ah Fi Tauhid al Asma Wa al Shifat, 1999” : “Pengertian
tentang Ahlus Sunnah ; kadang-kadang para ulama menggunakan nama Ahlus
Sunnah Wal jama’ah, sebagai pengganti dari nama salaf. Maka Ahlus Sunnah
Wal jama’ah adalah para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan siapa saja
yang berjalan menurut pendirian Imam-Imam yang memberi petunjuk dan orang-orang
yang mengikutinya dari seluruh umat semuanya. Maka menyimpang dari pengertian
ini semuanya dipandang sebagai kelompok ahli bid’ah dan orang-orang yang
memperturutkan hawa nafsu. Diterangkan oleh Ibnu Abbas ra. Dalam menafsirkan
firman Allah Ta’ala (surat Ali Imran, ayat 106) :
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ
وُجُوهٌ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ
بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ
Artinya : “ Pada hari yang di waktu itu ada muka yang
putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang
hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Kenapa kamu kafir sesudah
kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu".(QS.
Ali Imran :106 )
Dikatakan wajah yang putih berseri adalah orang-orang
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan wajah yang hitam muram adalah adalah wajah
orang-orang ahli bid’ah dan perpecahan.
Dengan kata lain, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
adalah golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulullah SAW, dan jejak
para sahabat terutama jejak Khulafa al Rasyidin, dengan senantiasa
berpegangteguh kepada Al Qur’an dan al Sunnah.
Mengenai batasan paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
di atas, para ulama merujuk kepada beberpa dalil naqli, terutama yang termaktub
dalam beberapa hadis. Di antaranya :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَرَقَتْ
الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتْ النَّصَارَى
عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ
وَسَبْعِينَ فِرْقَةً
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Wahb bin
Baqiyyah dari Khalid dari Muhammad bin Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah
ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan,
Nashara terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan
umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan." (HR. Abu
Daud, At turmudzi, An Nasa’I dan Ibnu Majah)
Hadis ini, tidak secara tegas menyatakan adanya
golongan yang disebut “ Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, “ tetapi baru
diisyaratkan bakal terpecahnya umat Rasulullah Saw. Menjadi 73 Golongan
(firqah). Maka golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berarti salah satu dari
73 golongan tersebut.
Hadis lain, yakni yang diriwayatkan dari sahabat
Abdullah Ibnu Umar Ra., bahwasanya Nabi saw. Bersabada :
…….وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ
وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً
كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي قَالَ
أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مُفَسَّرٌ لَا نَعْرِفُهُ مِثْلَ هَذَا
إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ
“…………sesungguhnya bani Israil terpecah menjadi tujuh
puluh dua golongan dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga
golongan semuanya masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan, " para
sahabat bertanya, "Siapakah mereka wahai Rasulullah?" Beliau
menjawab: "Mereka adalah golongan yang mana aku dan para sahabatku
berpegang teguh padanya". Abu Isa berkata; 'Hadits ini hasan gharib
mufassar, kami tidak mengetahuinya seperti ini kecuali dari jalur sanad seperti
ini.”'(HR. Turmudzi)
Meskipun belum secara tegas terungkap istilah Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah, namun maknanya yang tersirat di dalamnya, yakni bahwa
golongan yang selamat dari ancaman api neraka itu adalah golongan yang
senantiasa mengikuti jejak (jalan hidup) Rasulullah SAW. Dan para sahabatnya.
Makna yang demikian inilah yang kita maksudkan sebagai batasan (pengertian)
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Dengan demikian, maka golongan Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah ialah satu-satunya golongan umat Islam yang selamat dari ancaman
neraka, hal ini lebih tegas lagi diungkapkan dalam hadis lain yang Artinya :
“(Rasulullah Saw.
bersumpah) bahwa demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad,sungguh umatku bakal
terpecah menjadi 73 golongan.Maka yang
satu golongan masuk surga,sedangkan yang 72 golongan masuk neraka.Seorang
sahabat bertanya: Siapakah golongan yang
masuk surga itu ya Rasulullah? Jawabnya: Yaitu golongan Ahlus Sunnah Wal
jama’ah”. (HR.Al-Tabrani)
Hadis tersebut secara langsung menyebutkan kata”Ahlus
Sunnah Wal Jammaah” sebagai satu-satunya golongan yang dinyatakan bakal
selamat bisa masuk surga.
Berdasarkan ketiga hadis tersebut, jelaslah bahwa umat
Islam akan terpecah ke dalam banyak golongan sebagaimana umat Yahudi dan
Nasrani. Di antara 73 golongan itu, terdapat satu golongan yang selamat dari
ancaman neraka, yakni golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulullah
saw. Dan jejak hidup sahabatnya. Dan golongan yang selamat (masuk sorga) itu
ialah golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Dengan demikian, maka sejalan dengan batasan terdahulu
bahwa yang dimaksud dengan Ahlussunah Wal jama’ah ialh golongan yang senantiasa
mengikuti jalan hidup Rasulullah Saw. dan jalan hidup para sahabat, tentunya
dengan berpegang teguh kepada Al Qur’an dan al Sunnah. Golongan yang demikian
inilah yang diisyaratkan oleh Rasulullah Saw. akan masuk surga.
Jumlah para sahabat Rasul, tentulah cukup banyak,
ketika Nabi Saw. melakukan haji Wada’ menurut suatu riwayat adalah bersama
114.000 sahabatnya. Ini belum terhitung mereka yang tidak ikut berangkat
menunaikan haji karena keadaan, mereka yang telah meninggal dunia sebelumnya,
baik sebagai syuhada’ maupun meninggal dunia karena sakit atau lainnya. Selama
perilakunya tetap berpegang teguh kepada Al Qur’an dan al Sunnah meskipun
Rasulullah saw. telah wafat, maka semua perilaku mereka itu akan diikuti oleh
kaum muslimin yang berfaham Ahlus Sunnah Waljama’ah. Namun, mengingat banyaknya
jumlah mereka dan tidak mudahnya mengidentifikasi perilaku satu persatu dari
mereka, maka yang menjadi rujukan utama ialah sahabat empat yang dikenal
sebagai al Khulafa’ Al Rasyidin (para khalifah yang terpercaya), yakni sahabat
: Abu Bakar Siddiq Ra., Umar Ibnu Khatab Ra., Utsman Bin Affan Ra., dan Ali
bin Abi Thalib Karramallahuwajhah.
Bahkan hanya keempat sahabat itulah yang disifati oleh
Rasulullah Saw. sebagai al Mahdiyyin (sahabat utama yang mendapat petunjuk)
serta diperintahkan supaya diikuti perilakunya, sebagaimana diungkapkan dalam
hadis yang berbunyi :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ
حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ قَالَ
حَدَّثَنِي خَالِدُ بْنُ مَعْدَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ
عَمْرٍو السُّلَمِيُّ وَحُجْرُ بْنُ حُجْرٍ قَالَا أَتَيْنَا
الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ وَهُوَ مِمَّنْ نَزَلَ فِيهِ { وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ
لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ }فَسَلَّمْنَا
وَقُلْنَا أَتَيْنَاكَ زَائِرِينَ وَعَائِدِينَ وَمُقْتَبِسِينَ فَقَالَ
الْعِرْبَاضُ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ
مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ
اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا
بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ
الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal
berkata, telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim berkata, telah
menceritakan kepada kami Tsaur bin Yazid ia berkata; telah menceritakan
kepadaku Khalid bin Ma'dan ia berkata; telah menceritakan kepadaku 'Abdurrahman
bin Amru As Sulami dan Hujr bin Hujr keduanya berkata, "Kami mendatangi
Irbadh bin Sariyah, dan ia adalah termasuk seseorang yang turun kepadanya ayat:
“(dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang
kepadamu, suapaya kami memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, "Aku
tidak memperoleh kendaraan orang yang membawamu) ' -Qs. At Taubah: 92- kami
mengucapkan salam kepadanya dan berkata, "Kami datang kepadamu untuk
ziarah, duduk-duduk mendengar sesuatu yang berharga darimu." Irbadh
berkata, "Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat
bersama kami, beliau lantas menghadap ke arah kami dan memberikan sebuah
nasihat yang sangat menyentuh yang membuat mata menangis dan hati bergetar.
Lalu seseorang berkata, "Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasihat
untuk perpisahan! Lalu apa yang engkau washiatkan kepada kami?" Beliau mengatakan:
"Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, senantiasa taat
dan mendengar meskipun yang memerintah adalah seorang budak habsyi yang hitam.
Sesungguhnya orang-orang yang hidup setelahku akan melihat perselisihan yang
banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang dengan sunahku, sunah para khalifah
yang lurus dan mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah
dengan gigi geraham. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam
urusan agama), sebab setiap perkara yang baru adalah bid'ah dan setaip bid'ah
adalah sesat." (HR. Abu Daud ).
Perlu dipelajari perkembangan sejarah Ahli Sunnah Wal
Jamaah mulai dari awalnya tatkala ia masih bersifat substansial hingga
melembaga menjadi sebuah paham.Kongkretnya, mulai dari periode rosul,sahabaat,
tabiin,imam mazhab empat,imam Al-Ghazali dan Al-Junaidi.Sehingga substansi dan
institusi paham Ahlus Sunnah wal Jamaah itu akan dapat dipahami lebih
jauh dan lebih luas.
Apabila di telusuri dari masa khlifah Abu Bkar ra.
Sampai masa khalifah Ali bin Abi Thalib kw. (11-40 H/632-661 M), umat Islam
tidak luput dari nuansa perbedaan faham. Namun paham-paham yang muncul dan
sampai keluar dari khittah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah (Al Qur’an dan Hadis)
pada dasarnya tidak sebanding dengan jumlah mereka yang masih berada dalam
Khitahnya.
Samapi disini batasan subsatansial paham Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah masih diikuti oleh golongan terbanyak. Golongan
mayoritas ini memang belum disebut sebagai golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Para ulama menyebutnya dengan istilah yang berbeda-beda, antara lain :
a.
Jumhur al Ummah al islamiyyah (mayoritas Umat Islam).
b.
Jamaiyyah (umat terbesar)
c.
Al Sawad al A’dzam (kelompok Besar)
d.
Al salaf Al Salih (para pendahulu yang
saleh-saleh)
e.
Ahl al Haq (golongan yang hak/benar)
f.
Ahl Al Hadis
Perkembangan selanjutnya, nama-nama tersebut masih
banya dipergunakan untuk menyebutkan golongan terbanyak yang tetap berpegang
teguh kepada petunjuk naqli (Al Qur’an dan As Sunnah), bahkan pada gilirannya,
nama-nama itu sering dipergunakan sebagai nama lain dari Ahlus Sunnah Wal
jama’ah.
Paham Ahlus Sunnah Wal jama’ah, adlah paham Islam yang
secara menyeluruh. Para ulama tidak ada yang berbeda pendapat tentang Islam
dalam lingkup makro yang meliputi lngkup-lingkup aqidah, ibadah (fiqih), dan
akhlak (tasawuf). Maka dengan mengacu batasan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
secara formal di atas, ruang lingkup paham Ahlussunnah Wal jama’ah meliputi tiga
lingkup aqidah, ibadah dan akhlak. Dan dalam makna yang mikro, ia hanya
meliputi lingkup akidah saja.
Untuk membedakan lingkup-lingkup Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah tersebut dengan lingkup-lingkup paham lain, perlu ditegaskan dengan
menyebutkan masing-masingnya menjadi Akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,
Ibadah (fiqh) Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan Akhlak Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Substansi paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah
mengikuti Sunnah Rasul dan Tariqah sahabat (utamanya sahabat empat) dengan
berpegang teguh kepada petunjuk Al Qur’an dan al Sunnah (al Hadis), maka
lembaga (madzhab) dilingkup fiqih tetap mengikuti Sunnah Rasul dan Tariqah
sahabat dengan berpegang teguh kepada petunjuk Al Qur’an dan Al Sunnah.
Adapun institusi akidah (kalam) Yang sejalan dengan paham Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah ialah insitusi akidah yang dicetuskan oleh Abu Hasan al
Asy’ari dan Abu Mansur Al maturidi. Meskipun tidak sama persis pemikiran
kalam mereka berdua, tetapi pemikirannya tetap commited terhdap petunjuk
naqli. Keduanya sama-sama mempergunakan akal sebatas untuk memahami naqli,
tidak sampai mensejajarkannya apalagi memujanya. Bahkan secara terang-terangan
melalui karya-karyanya, keduanya sama-sama menolak dan menentang logka
Mu’tazilah yang terlalu memuja akal dan nyaris mengabakan petunjuk naqli.
Dengan demikian maka dalam konteks historis paham Ahlussunah
Wal jama’ah adalah sebuah paham yang dalam lingkup “akidah” mengkuti
pemikiran kalam Al asy’ari atau al Maturydi. Dan institusinya kemudian
disebut al Asy’ariyah atau al maturidiyah. Sebagai institusi besar,
keduanya tidak luput dari tokoh-tokoh pengikut yang selain menyebarkan, juga
mengembangkan pemikiran kalam yang dicetuskan oleh pendirinya.
Beberapa nama tokoh yang menyebarkan dan mengembangkan
pemikiran kalam al asy’ari dan al Maturidi itu, tercatat nama-nama besar
seperti ; Al Baqilani, al Juwaini (Imam Al Haramain), al isfirayini, Abu Bakar
Al Qaffal, Al Qusyairiyi, Fahr Al Din Ar Razi, Izzudin Abdul Salam, termasuk Al
Ghazali dan Al Badzawi. Dan pemikiran kalam yang banyak masuk serta mewarnai
umat Islam di Indonesia ialah pemikiran kalam al Asy’ari yang telah
dikembangkan oleh Al Ghazali melalui karya-karyanya, antara lain : Ihya Ulumuddin,
Al Iqtisad fi Al I’tiqad, Al Munqidz Min Al Dlalal, dan lain-lain.
Sejak agama Islam masuk Indonesia telah dikenal pula
tokoh-tokoh al Asy’ariyah seperti : syaikh Sanusi, Syaikh Dasuki, Syaikh Al
Bajuri, Syaikh Nawawi Banten, Syaikh al Tarabulisi, Syaikh Al Fatani, dan
lain-lain. Pemikiran kalam mereka ada kemungkinan sebagian ada yang berbeda
dengan pemikiran kalam al Asy’ari sendiri atau setidaknya bernuansa lain.
Bahwa umat Islam Indonesia sebagai mayoritas warga
Negara dan bakan merupakan jumlah terbanyak Negara yang penduduknya beragama
Islam. Dalam paham keagamaanya, hampir seluruh Muslim Indonesia adalah berpaham
teologi Ahlussunah Wal Jama’ah atau Sunni, dan sedikit sekali mereka
yang mengaku berpaham Syiah, Liberalisme (tahririyah), radikalisme (ushuliyah)
dan lain-lain. Mereka yang disebut terakhir ini, sebenarnya jumlah pengikutnya
itu tidaklah banyak. Hanya saja mereka tertata rapi, disiplin, fanatik dan
memiliki komitmen tinggi terhadap kelompoknya, sehingga mereka tampak bergaung
dan hebat. *(6
===================
Maraji’:
1.
(KH. Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal jama’ah, tahun 2008)
2.
(Ahmad Sahidin, Aliran-Aliran dalam Islam, 2009)
3.
(Tim Saluran Teologi 2005 (Santri Tamatan Aliyah MHM) , Akidah Kaum
Sarungan; Refleksi Mengais Kebeningan Tauhid, tahun 2010)
4.
(Prof. DR. Muhammad Abu Zahrah: (Tarikh Al Madzahib Al Islamiyah)
Terjmh. Aliran Politik dan Akidah Dalam Islam, tahun 2011 M)
5.
(Prof.DR. Harun Nasution, Teologi Islam”Aliran-aliran, sejarah,
analisa, perbandingan, 2011)
6.
(Prof. DR. KH. Sahilun A. Nasir, M.pd.I; Pemikiran Kalam (Teologi
Islam), Sejarah, Analisa dan Perkembangannya, tahun 2010)
7.
Al Imam Muhammad Abu Zahroh,
Tarikh Al Madzahi Al islamiyah, Dar Al Fikr Al ‘Arabi
9 Robi’ul Awwal 1433 H
Oleh : محمد مؤلف
Tidak ada komentar:
Posting Komentar