Judul Buku:
ULAMA BETAWI
(Studi Tentang Jaringan Ulama
Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20).
Penulis: Ahmad Fadli HS
Penerbit: Manhalun Nasyi-in
Press, Jakarta, 2011
ISBN:
978-602-98466-1-4
Betawi kerapkali dijadikan bahan
kajian dan diskusi yang menarik dari dulu hingga kini, karena diskursus
mengenai Betawi mengandung estetika tersendiri. Topiknya pun beraneka warna dan
selalu aktual serta faktual bahkan terkadang kontroversial, seperti kajian
sosial politik dan kebudayaan Betawi.
Kendati demikian, corak keislaman
dan sejarah sosial intelektual Islam di Betawi belum banyak dikaji, karena
perhatian baru difokuskan kepada sejarah sosial, politik, keseniaan dan
kebudayaan serta kepurbakalaan.
Padahal sejarah sosial intelektual Islam di
Betawi telah memiliki peran yang signifikan dalam perubahan di masyarakat
Betawi. Para pelaku sejarah intelektual Islam di Betawi adalah para ulama
Betawi pada abad ke 19 dan 20 yang menimba ilmu di Timur Tengah selama
bertahun-tahun. Setelah mereka menuntut ilmu di Timur Tengah, khususnya di
Makkah dan Madinah, sebagian besar mereka kembali ke Betawi. Di sinilah mereka
menjadi penyebar utama tradisi intelektual keagamaan Islam di Makkah dan
Madinah ke Betawi.
Penelitian ini mencoba menelusuri
jaringan ulama Betawi yang belajar langsung kepada ulama Timur Tengah pada abad
ke-19 dan 20 serta upaya transmisi keagamaan di Betawi. Kajian ini mencoba
mengembangkan teori Azyumardi Azra dan Martin van Bruinessen tentang adanya
keterkaitan intelektual antara ulama Nusantara dengan ulama Makkah dan Madinah
dan upaya reformasi yang dilakukan sekembalinya mereka ke tanah air. Perbedaan
hanya terletak pada dimensi ruang dan waktu.
Penelitian ini juga mencoba
menelusuri perkembangan Islam di Betawi mulai masa Jayakarta hingga Batavia dan
menelusuri corak keberagamaan Islam di Betawi. Terlepas dari perdebatan asal
usul komunitas etnis Betawi, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa etnis Betawi
memiliki ketaatan yang fanatik terhadap ajaran Islam dan perasaan anti Barat
yang kuat. Kuatnya pengaruh Islam dan sentimen anti Barat pada pertengahan abad
ke-19 itu dapat disebabkan oleh perkembangan dakwah Islam yang semakin
meningkat terutama dengan munculnya sejumlah ulama-ulama Betawi terkemuka yang
telah berhasil dalam memberikan pemahaman tentang Islam.
Islam dan Betawi merupakan hal yang
tidak bisa dipisahkan. Bahkan sebutan “Betawi” hanya bisa digunakan oleh
penduduk asli Jakarta yang beragama Islam. Sedangkan penduduk asli Jakarta yang
beragama Kristen secara turun temurun biasanya disebut dengan daerah asalnya,
seperti penduduk asli Jakarta yang beragama Kristen yang diduga keturunan
Mardijkers di daerah Tugu Jakarta Utara disebut orang Tugu dan penduduk asli
beragama Kristen di daerah Depok disebut orang Depok atau Belanda Depok.
Penduduk asli Batavia saat itu kerapkali menyebut dirinya dengan Orang Selam
yang agaknya merupakan pengucapan setempat untuk Islam. sebagaimana Srani untuk
kata “Nasrani”.
Hamka menemukan bukti tentang
kuatnya orang Betawi memegang agama Islam. Selama 350 tahun dijajah Belanda
tetapi jarang sekali terdengar anak Betawi yang masuk Kristen. Kendati orang
Betawi hidup dalam kemiskinan dan kekurangan ilmu pengetahuan tetapi jika masuk
Kristen adalah aib sekali. Hal itu menolak teori bahwa kemiskinan mudah menjadi
kafir. Segala sesuatu telah diderita oleh orang Betawi kecuali menjadi kafir.
Ridwan Saidi berpendapat bahwa
Islam memberi makna eksistensial akan keberadaan orang Betawi pada era
penjajahan Belanda. Zikir, ratib, pembacaan manakib Syaikh Saman, maulid
Barjanji serta Diba. Semuanya merupakan ekpresi pengagungan pada Asma Allah
sekaligus pernyataan diri isyhadû bi annâ muslimûn (saksikanlah bahwa kami
adalah orang-orang Islam). Suatu ekpresi teologis yang nyaris sepi dari
politik, kendati demikian penjajah Belanda dibuat tidak berkutik.
Persentuhan Islam dengan budaya
Betawi tanpa menimbulkan konflik. Hal ini bisa terjadi karena Islam yang hadir
di Betawi lebih bermadzhab Syafi’i dan berfaham Ahli Sunnah Wal Jama’ah yang
cenderung lebih toleran dan inklusif serta menghargai budaya dan tradisi lokal.
Oleh karenanya dapat dipahami bila organisasi Islam modernis dan Organisasi
Islam yang berfaham Wahabi kurang mengakar di kalangan masyarakat Betawi karena
organisasi tersebut kerapkali mengecam apa yang dinamakan TBC (tahayul, bid’ah
dan khurafat). Kecaman tersebut dalam banyak hal tertuju pada budaya dan
tradisi Betawi yang dalam beberapa hal bersentuhan dengan tahayul, bid’ah dan
khurafat.
Deskripsi tentang kuatnya
masyarakat Betawi dalam memegang teguh ajaran Islam dikarenakan oleh
perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat terutama dengan munculnya sejumlah
ulama-ulama Betawi terkemuka dalam memberikan pemahaman tentang ajaran Islam.
Ulama-ulama Betawi tersebut memiliki jaringan keilmuan di Timur Tengah karena
menimba ilmu di beberapa negara Timur Tengah sehingga mereka melakukan
penyebaran keislaman di Nusantara terutama di Betawi.
Azra mengungkapkan bahwa penyebaran
keilmuan Islam di Nusantara sampai abad ke-19 bersumber dari ulama yang
terlibat jaringan intelektual dengan ulama Timur Tengah, terutama Makkah dan
Madinah (Haramain). Penulis berkeinginan untuk mengembangkan teori yang telah
dikemukakan oleh Azra tersebut.
Keilmuan Islam yang berlangsung di
pusat dunia Islam (Haramain) saat itu memiliki karakteristik yang jelas, yaitu
gagasan pembaharuan sebagai rekontruksi sosio-moral masyarakat Muslim.
Pembaharuan ini menekankan pada ketaatan terhadap syariat atas tasawuf dari
Masyarkat Muslim. Penerimaan ulama Haramain terhadap tasawuf kala itu adalah
tasawuf yang telah diperbaharui dan sejalan dengan tuntutan syari’at sebagaimana
yang diajarkan oleh Al-Ghazali.
Penyebaran pembaharuan keilmuan
Islam di Betawi abad ke-19 dan 20 merupakan proses penerusan ulama Nusantara
yang memiliki hubungan intelektual dengan ulama Makkah abad sebelumnya. Mereka
telah menjalin hubungan erat dengan sejumlah tokoh penting di pusat keilmuan
Makkah. Keterlibatan ulama Nusantara dalam jaringan ulama Haramain dimulai pada
paruh kedua abad ke-17 yang dimulai oleh Nuruddin ar-Raniri (w. 1069 H/1658 M),
Abdur Rauf Singkel (1035-1105 H/1615-1693 M) dan Yusuf al-Maqassari
(1626-1699). Kemudian disusul oleh ulama abad ke-18 yaitu Abdul Shomad
al-Palimbani (1704-1788), Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812), Dawud bin
Abdullah al-Fatani (1718-1847), Muhammad Nafis al-Banjari (1735-1812) dan
Abdurrahman al-Mashri al-Batawi.
Pembaharuan keagamaan secara
langsung dari Makkah ke Betawi telah terjadi pada abad ke-19 dan 20. Bahkan
pada abad ke-18 sudah ada ulama Betawi yang bernama Abdurahman Al-Mashri
Al-Batawi yang menimba ilmu di Makkah. Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi adalah
teman karib Abdul Shamad Al-Palimbani dari Sumatera Selatan
(1116/1704-1203/1789) dan Muhammad Arsyad Al-Banjari (1122/1710-1227/1812) dari
Kalimantan Selatan. Kendati informasi mengenai Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi ini
sangat minim, tetapi peran dan kiprahnya menunjukkan bahwa dia terlibat aktif
secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama terpenting di Nusantara
pada abad ke 18.
Sebelum kembali ke Betawi, karena
merasa belum mendapat pengetahuan yang memadai, Abdurahman Al-Batawi bersama
dengan Muhammad Arsyad dan Abdul Shamad meminta idzin kepada gurunya, ‘Atha’
Allah Al-Mashri untuk menambah
pengetahuan di Kairo. Kendati menghargai niat baik mereka, ‘Atha’ Allah
menyarankan agar mereka lebih baik kembali ke Nusantara sebab mereka sudah
dianggap memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup dan dapat mereka manfaatkan
untuk mengajar di tanah air mereka. Mereka tetap memutuskan pergi ke Kairo
tetapi hanya untuk berkunjung bukan untuk belajar. Mungkin sebagai tanda
hubungan baik mereka dengan ‘Atha’ Allah dan kunjungan mereka ke Kairo sehingga
Abdurahman Al-Batawi menambahkan laqab “Al-Mashri” pada namanya.
Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi
bersama Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Al-Bugisi kembali ke Nusantara
pada 1186/1773. Sebelum ke Banjarmasin, atas permintaan Al-Batawi, Muhammad
Arsyad tinggal di Batavia selama dua bulan. Kendati dia tinggal di Batavia
hanya untuk waktu yang relatif singkat tetapi dia mampu melakukan pembaruan penting
bagi kaum Muslim di Batavia. Beberapa masjid di Batavia dibetulkan arah
kiblatnya. Menurut perhitungannya,
kiblat masjid-masjid di Jembatan Lima (Masjid Kampung Sawah/Masjid
Al-Mansur) dan Pekojan, tidak diarahkan secara benar menuju Ka’bah dan karenanya
harus dirubah. Kontroversipun bermunculan di kalangan para pemimpin muslim di
Batavia sehingga gubernur jenderal Belanda memanggil Muhammad Arsyad untuk
mengklarifikasi masalah itu. Muhammad Arsyad menjelaskan perhitungan secara
matematis sehingga membuat gubernur terkesan dan memberikan hadiah kepadanya.
Di kemudian hari, pembetulan arah kiblat itu juga diusulkan Abdurahman
Al-Batawi di Palembang ketika dia mengadakan perjalanan ke sana sekitar tahun
1800 yang juga menimbulkan kontroversi di sana.
Ulama-ulama Betawi pada abad ke 19
pasca Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi adalah Syaikh Junaedi Al-Batawi. Menurut
C. Snouck Hurgronje, di Makkah pada perempatan ketiga abad ke 19 ada “sesepuh”
(nestor) para profesor Jawi yang berasal dari Betawi yang bernama Junaed yang
sudah menetap selama 50 tahun. Ketika berkunjung ke Makkah—menurut Hurgronje—ia
telah melakukan kajian-kajian mendalam di negeri asalnya tetapi tidak pernah
kembali ke negerinya. Jika Junaed sudah tiba di Makkah 50 tahun yang lalu, maka
berarti ia sudah tiba di Makkah di awal abad ke 19 M. Junaed memiliki banyak
murid di antaranya adalah KH. Mujtaba bin Ahmad atau dikenal dengan Guru
Mujtaba. Jika Guru Mujtaba akhirnya kembali ke Betawi pada 1904, Syaikh Junaed
Al-Batawi tetap tinggal di sana. Khabarnya Junaed meninggal dunia di tanah suci
akhir abad ke 19. Kendati tidak diketahui tanggal yang pasti mengenai wafatnya,
Junaed telah mendidik murid-muridnya asal Betawi menjadi ulama-ulama besar.
Sayang sekali sampai sekarang tidak diketahui di mana anak dan keturunan Junaed
berada sekarang.
Ulama Betawi berikutnya adalah
Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya (1822-1914). Ayahnya adalah Sayyid
Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya. Sedangkan ibunya adalah Aminah binti
Syaikh Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi.
Sayyid Usman pergi ke Makkah untuk
menunaikan ibadah haji kemudian belajar di sana selama 7 tahun. Dia belajar
kepada ayahnya dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, seorang mufti Makkah. Pada tahun
1848 Sayyid Usman berangkat ke Hadramaut dan menimba ilmu kepada Syaikh
Abdullah bin Husein bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Alwi
bin Saggaf Al-Jufri dan Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahar. Untuk memperdalam
bermacam-macam ilmu, dia belajar juga ke Mesir, Tunis, Al Jazair, Istambul,
Persia dan Syiria.
Di antara karya Sayyid Usman yang
terpenting adalah Tawdih al-Adillat ‘ala Syurûth Syuhud al-Ahillat. Latar
belakang kitab ini adalah karena pada tahun 1882 umat Islam di Jakarta terbagi
dua dalam menentukan awal puasa Ramadhan. Sebagian mulai puasa Ramadhan pada
hari Minggu dan sebagian mulai puasa pada hari Senin. Banyak karya-karya Sayyid
Usman yang masih dibaca oleh masyarakat Betawi, di antaranya adalah Sifat Dua
Puluh. Karena keilmuan Sayyid Usman yang memadai maka diangkatlah dia menjadi mufti
Betawi oleh pemerintahan Hindia Belanda.
Di antara murid Sayyid Usman adalah
KH Abdul Muhgni Kuningan atau biasa dipanggil Guru Mugni (1860-1935). Guru
Mugni terhitung ulama yang paling terkemuka di wilayah Selatan. Dalam usia 16
tahun, ia dikirim ayahnya menuntut ilmu di Makkah dan bermukim di sana selama 9
tahun. Di sana Guru Mugni berguru kepada banyak ulama, antara lain Syaikh
Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid Al-Hadrami, Syaikh Sa’id Al-Yamani,
Syaikh Ali Al-Maliki, Syaikh Abdul Karim Al-Dagestani, Syaikh Mahfud At-Tremasi
dan Syaikh Muhammad Umar Syatha.
Selama di tanah suci, ia berteman
dengan sejumlah orang Betawi yang kelak menjadi ulama Besar, seperti KH.
Marzuqi (Guru Marzuqi) yang telah menerima ijazah tarekat Al-Alawiyah dari
Muhammad Umar Syatha. Guru Mughni memiliki banyak murid yang telah menjadi
ulama besar, di antaranya adalah Guru Abdul Rahman Pondok Pinang, KH. Mughni
Lenteng Agung, Guru Naim Cipete, KH Hamim dan KH Raisin Cipete, Guru Ilyas
Karet dan Guru Ismail Pedurenan (dipanggil Guru Mael, mertua KH Ahmad Junaidi
Menteng Atas.)
Ulama Betawi terkemuka lainnya
adalah Habib Ali Abdurrahman Al-Habsy (1869-1968). Habib Ali ditinggal wafat
ayahnya, Habib Abdurrahman ketika ia berusia 12 tahun. Ayahnya berwasiat kepada
istrinya, Nyai Salmah—seorang putri Betawi asli yang berasal dari Mester Pulo
(Jatinegara sekarang)—agar Habib Ali dikirim belajar ke Hadramaut dan Makkah.
Habib Ali akhirnya diberangkatkan ke Hadramaut ketika umurnya masih 12 tahun.
Di Hadramaut Habib Ali berguru kepada Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Habib
Ahmad bin Hasan Al-Attas, Habib Abdurahman bin Muhammad Al-Masyhur dan lain
sebagainya. Setelah kembali dari Hadramaut dan Makkah, Habib Ali kembali ke
Indonesia dan menetap di Jakarta bersama ibunya, Nyai Salmah.
Sejak masih berusia 20-an tahun
Habib Ali mendirikan majelis taklim. Sebelum di Kwitang, majelisnya berlangsung
di Tanah Abang. Ia kemudian mendirikan Masjid Al-Riyadh di Kwitang dan di
dekatnya didirikan Madarasah ‘Unwanul Falah’.
Banyak ulama Betawi yang merupakan
murid dari Habib Ali dan dididik di Madrasah ‘Unwanul Falah yang menerapkan
sistem pendidikan modern. Di antara muridnya yang sangat tekun mengikuti dan
menjadi pembicara di majelisnya adalah adalah KH Abdullah Syafi’i (1910-1985),
KH. Fathullah Harun (1913-1989) dan KH Tohir Rohili (1920-1999). Habib Ali pun
mempersaudarakan mereka bertiga dengan putranya, Habib Muhammad Al-Habsyi. Dari
KH. Abdullah Syafi’i dan KH. Tohir Rohili berdiri dan berkembang pesat majelis
taklim As-Syafi’iyah dan At-Tahiriyah. Sedangkan KH. Fathullah Harun menjadi
ulama Betawi ternama di Malaysia.
Hubungan antara Habib Ali dengan
murid-muridnya cukup menarik dan romantis. Pada saat pemilu 1955, Habib Ali
kendati tidak memperlihatkan berpihak pada salah satu partai dan tidak pernah
mengemukakan pilihannya pada orang lain tetapi ia lebih dekat dengan Nahdlatul
Ulama (NU). Ketika NU mengadakan Muktamar di Gedung Olahraga Lapangan Ikada
(Monas) Jakarta, Habib Ali diminta membaca doa. Ia juga banyak memiliki
murid-murid orang-orang NU, termasuk Ketua Umumnya saat itu, KH Idham Khalid
yang kerapkali datang ke masjidnya.
Murid-murid Habib Ali yang lain
KH. Ahmad Thabrani Paseban (1901-1985), KH. Abdul Hadi Pisangan (1909-1998),
KH. Muhammad Na'im Cipete (1912-1973), KH. Muhammad Sasi Cililitan (w. 1992),
KH. Zayadi Muhajir (1918-1994), KH. Muhajirin (1921-2003), KH. Abdul Rasyid
Ramli (1922-2006), KH. Rahmatullah Shidiq (1923-1979), KH. Syafi’i Hadzami (1931-2006),
KH. Nahrawi Abdul Salam (1931-1999), KH. Abdurrazaq Makmun, KH. Ismail dan lain
sebagainya.
Ulama Betawi dari wilayah Timur
yang paling berpengaruh adalah KH Ahmad Marzuqi yang akrab dipanggil Guru
Marzuqi (1293-1352 H/1876-1934 M). Ayahnya bernama Ahmad Mirshad adalah
keturunan keempat dari Sultan Laksana Melayang, salah seorang Pangeran dari
kesultanan Melayu Pattani di Muangthai Selatan. Ketika berusia 16 tahun,
Marzuqi berangkat ke Makkah dan menetap di sana selama tujuh tahun. Di Makkah
ia menimba ilmu kepada ulama terkemuka seperti Syaikh Ali al-Maliki, Syaikh
Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Umar Sumbawa, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh
Ahmad Khatib al-Minangkabau, Syaikh Mahfud At-Tremasi dan banyak lagi. Guru
Marzuqi di Makkah juga mendalami tasawuf dan memperoleh ijazah untuk
menyebarkan tarekat al-Alawiyah dari Syaikh Muhammad Umar Syatha yang
memperoleh silsilah tarekatnya dari Syaikh Ahmad Zaini Dahlan.
Setelah kembali ke Betawi, ia
diminta oleh Sayid Usman Banahsan untuk mengajar di masjid Rawabangke (Rawa
Bunga) selama lima tahun kemudian pindah dan menetap di Cipinang Muara. Di
sinilah Guru Marzuqi merintis berdirinya pesantren di tanah miliknya yang cukup
luas. Di antara para murid-muridnya yang kelak menjadi ulama besar adalah KH
Abdul Jalil Tambun, KH. Muhammad Amin Kalibata (1901-1965), KH. Muhammad Tambih
Bekasi (1907-1977), KH. Abdul Hadi Pisangan (1909-1998), KH Muhtar Thabrani
Kaliabang Bekasi (1912-1971), KH. Muhammad Na’im Cipete (1912-1973)), KH
Abdullah Syafi’i Kampung Bali Matraman, KH Nur Ali Bekasi (1913-1992) dan KH Aspas Cilincing. Di antara putera Guru
Marzuqi yang melajutkan perjuangannya adalah KH Abdul Malik (Guru Malik), KH
Muhammad Baqir Rawabangke, KH Abdul Mu’thi Buaran Bekasi dan KH Abdul Ghofur
Jatibening Bekasi.
Dari pusat kota Jakarta tepatnya di
Kampung Sawah Jembatan Lima muncul ulama Betawi terkemuka yang bernama KH.
Muhammad Mansur atau akrab dipanggil Guru Mansur (1878-1967). Ia dan Guru
Mughni disebut oleh masyarakat Betawi sebagai “Paku Jakarta” Hal ini membuktikan bahwa keulamaan dan
ketokohan mereka tidak diragukan lagi.
Guru Mansur lahir pada tahun 1878
di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta Barat yang dahulu masih termasuk
kawasan hunian orang-orang asal Kepulauan Banda. Ayahnya bernama KH Abdul Hamid
bin Damiri bin Imam Habib bin Abdul Muhit bin Pangeran Tjakra Jaya (Tumenggung
Mataram). Abdul Muhit adalah orang alim yang membangun Masjid Kuno di Kampung
Sawah pada tahun 1717 M (sekarang bernama Masjid Al-Mansur). Guru Mansur
merupakan keponakan dari Syaikh Junaid Al- Batawi karena KH. Abdul Hamid, ayah
Guru Mansur adalah adik kandung Syaikh Junaid Al-Batawi. Guru Mansur pertama
kali belajar agama kepada ayahnya dan sesudah ayahnya meninggal, ia belajar
dari kakak kandungnya KH Mahbub bin Abdul Hamid dan kakak misannya yang bernama
KH Thabrani bin Abdul Mugni. Selain kepada mereka, Guru Mansur juga pernah
belajar kepada seorang ulama dari Meester Cornelis (Jatinegara) bernama H.
Mujtaba bin Ahmad. Di Makkah ia juga memperdalam ilmunya dengan Tuan Guru Umar
Sumbawa yang kelak mengangkatnya sebagai Katib (sekretaris) karena tertarik
pada tulisan Guru Mansur yang rapi.
Setelah menimba ilmu di Makkah
selama empat tahun, Guru Mansur kembali ke tanah air melalui beberapa negara
yang disinggahinya, seperti Aden, Benggala, Kalkuta, Burma, India, Malaya dan
Singapura. Setelah sampai di tanah air, Guru Mansur membantu ayahnya mengajar
di madrasah Kampung Sawah (sekarang Chairiyah Mansuriyah). Mulai tahun 1907, ia
mengajar di Jamiatul Khair bersama dengan tokoh-tokoh Islam lainnya seperti
Ahmad Surkati dan KH Ahmad Dahlan.
Rasa nasionalisme Guru Mansur tidak
diragukan lagi. Hal ini terbukti ketika Jakarta berada di bawah kekuasaan
kolonial Belanda pada tahun 1948, Guru Mansur terpaksa harus berurusan dengan
Hoofd Bureau Kepolisian Gambir karena ulahnya yang memasang bendera merah putih
di menara Masjid Kampung Sawah. Kendati Guru Mansur berada di bawah ancaman
senjata Nica, ia tetap mempertahankan bendera merah putih tetap berkibar di
menara mesjid itu. Guru Mansur pun berujar “Islam tidak mau ditindas, saya
enggak mau ngelonin kebatilan”
Selama hidupnya, Guru Mansur telah
menghasilkan beberapa karya ilmiah, di antaranya Sullamun nairain, Khulâsatul
jadawil, Kaifiyatul amal ijtima, khusûf wal kusûf dan lain sebagainnya. Di
antara murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama adalah KH. Muhammad Amin
Kalibata (1901-1965), KH. Muhammad Radjiun Kebon Sirih (1916-1982) yang pernah
menjadi ketua Masjid Pekojan dan KH Muhammad yang mendalami ilmu Falaq dan
kemudian diangkat menantu dan meneruskan usaha mertuanya mengembangkan Madrasah
Al-Mansuriyyah (yang masih berdiri hingga kini). Ahli falaq lain didikannya
yang cukup berhasil adalah KH Muhajirin Amsar Ad-Dary (1921-2003), Pimpinan
Perguruan Islam An-Nida, Bekasi.
Masih banyak para ulama
Betawi yang memiliki jaringan ulama ke Makkah, baik secara langsung maupun
tidak langsung, seperti KH. Mahmud Ramli Menteng (1866-1959), KH. Ahmad Kholid
Gondangdia (1874-1946), KH. Abdul Madjid Pekojan (1887-1947), KH. Najihun
(1897-1984), KH. Muhammad Amin (1901-1965), KH. Ahmad Thabrani (1901-1985), KH.
Muhammad Tambih (1907-1977), KH. Ali Alhamidi (1909-1985), KH. Abdul Hadi
(1909-1998), KH. Abdullah Syafi’i (1910-1985), KH. Muchtar Thabrani
(1912-1971), KH. Muhammad Na'im (1912-1973), KH. Nur Ali Bekasi (1913-1992),
KH. Hasbiyallah (1913-1982), KH. Muhammad Sasi Cililitan (w. 1992), KH.
Fathullah Harun (1913-1989), KH. Mursyidi Klender (1915-2003), KH. Muhammad
Radjiun (1916-1982), KH. Zayadi Muhajir Klender (1918-1994), KH. Thohir Rohili
Bukit Duri (1920-1999), KH. Muhadjirin Amsar Ad-Dary (1921-2003), KH. Abdul
Rasyid Ramli (1922-2006), KH. Abdul Hannan Sa’id (1923-2000), KH. Rahmatullah
Shidiq (1923-1979), KH. Syafi’i Hadzami (1931-2006) dan Dr. KH. Ahmad Nahrawi
Abdul Salam Al-Indunisi (1931-1999) yang akan diuraikan biografinya dalam bab
tersendiri di buku ini
Ulama-ulama Betawi yang disebutkan
di atas adalah ulama terkemuka dari Betawi yang pernah menetap dan menuntut
ilmu di Timur Tengah terutama di Makkah dan Madinah pada abad ke 19 dan 20 atau
berguru kepada Ulama Betawi yang pernah menuntut ilmu di Timur Tengah sehingga
pantas diperkirakan bahwa ada jaringan ulama Betawi yang meneruskan pembaharuan
keagamaan ulama Timur Tengah dengan kitab-kitab karya mereka. Kitab-kitab
kuning yang dikarang oleh ulama Betawi atau yang diajarkan oleh ulama Betawi
kepada para murid-muridnya mencerminkan bagaimana ulama Betawi berhubungan
dengan tradisi ulama Timur Tengah. Muatan muatan kitab kuning tersebut
mengkaitkan pada tradisi ortodoks (klasik) universal yaitu aqidah Al-Asy’ari,
fiqih As-Syafi’i dan tasawuf Al-Ghazali.
Fenomena ulama Betawi yang belajar
di Timur Tengah pada abad ke-19 dan ke-20 membuktikan bahwa teori Azra dan
Martin van Bruinessen tentang adanya hubungan ulama Makkah dan Nusantara juga
terjadi di Betawi. Sehingga dirasa penting melakukan penelitian untuk
menggungkapkan jaringan ulama Betawi yang belajar di Makkah serta bagaimana
subtansi pengajaran pembaharuan yang disebarkan pada abad ke-19 dan ke-20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar