Kehadiran Islam di Jakarta dan semakin banyaknya masjid yang didirikan pada abad ke-18, terutama setelah membludaknya orang Batavia yang menuntut ilmu di Makkah membawa daya jelajah intelektual yang luar biasa pada abad-abad berikutnya. (Saya sempat belajar Tafsir Ibnu Kasir Kepada Beliau. Pent.)
Banyaknya ulama yang bermunculan di abad ke-20 di berbagai penjuru kota Jakarta, dengan masjid dan lembaga pengajian sebagai locus intelektual, membawa dampak pada kecenderungan masyarakat Betawi (sebagai suku asli) yang dikenal sebagai masyarakat yang taat beragama (religius). Bahkan, Raffless sampai mengakui kemajuan perkembangan Islam di kalangan penduduk kota Batavia dalam bentuk asimilasi antara penduduk pribumi dengan pendatang selalu disebut Islamisasi orang selam.
Bersamaan dengan perkembangan Islam di Jakarta dan semakin banyaknya kelompok ulama, lahirlah sososk ulama Betawi yang menjadi generasi kedua dalam jaringan intelektual Islam Betawi pada abad ke -20, yakni KH. M. Syafi’I Hadzami. Ia dilahirkan pada tanggal 31 Januari 1931 M bertepatan dengan 12 Ramadlan 1349 H. Orang tuanya bernama Muhammad Saleh Raidi dan Ibu Mini. Sejak awal kecil KH. M. Syafi’I Hadzami berada dibawah bimbingan kakeknya, Husein, di Batutulis XIII, Pecenongan. Disinilah KH. M. Syafi’I Hadzami mendapatkan bimbingan intelektual pertama dengan belajar Al Qur'an hingga fasih beserta tajwidnya. Selain itu, ia juga belajar ilmu sharaf dan nahwu. Pada usia 9 tahun, KH. M. Syafi’I Hadzami sudah khatam Al Qur'an. Dibawah asuhan kakeknya yang disiplin dan tegas.
Sejak kecil, KH. M. Syafi’I Hadzami senang melihat orang-orang pintar, terutama para kyai. Ia ingin menyamai mereka. Karena itu, ketika kecil, ia senang berpakaian seperti ulama. Namun, ia tidak tahu dari mana datangnya keinginan itu. Padahal dalam tradisi keluarga, ia tidak melihat ada kecenderungan untuk menjadi kyai. Barangkali didikan kakeknya yang selalu menyuruhnya untuk mengaji dan sering mengajak ke tempat-tempat para ulama itulah yang membuat Syafi’i kecil ingin menyamai mereka (Ali Yahya, 1999). Keinginan itulah yang menjadikan Syafi’i Hadzami gigih dalam menuntut ilmu.
Penggambarannya untuk memburu ilmu-ilimu agama hanya terbatas di wilayah Jakarta. Ini berbeda dengan kebanyakan perjalanan intelektual ulama-ulama terkenal lainnya yang menuntut ilmu ke beberapa tempat. Syafi’i Hadzami tidak pernah menempuh pendidikan agama di pondok pesantren atau madrasah apalagi belajar di Timur Tengah. Pengajian kitab di masjid yang hingga sekarang ini masih hidup di kalangan masyarakat Betawi telah menjadi tradisi intelektual yang paling berharga bagi Syafi’i Hadzami. Dapatlah dikatakan bahwa selain tempat ibadah, masjid juga berfugsi sebagai tempat mengajarkan dan menyebarkan Islam (Aziz, 1996). Tradisi mengajar agama di masjid sebenarnya bukanlah hal yang baru. Kebiasaan ini dapat ditemukan di hampir seluruh dunia Islam, khususnya di dua masjid utama di tanah suci, Makkah dan Madinah, yang menurut Van Bruinessen (1990) dianggap oleh umumnya muslim Asia Tenggara abad ke-17 sebagai pusat kosmik dan sumber ilmu.
Namun kemantapan hatinya, ketekunan, dan kekerasan usahanya, yang didukung dengan kesungguhan beribadah, ketinggian akhlaq, dan kederdasan otaknya, telah mengantarkan Syafi’i Hadzami meraih keberhasilan yang patut dibanggakan, setara dengan ketinggian ulama lainnya. Inilah kelebihan Syafi’i Hadzami dalam perjalanan intelektualnya yang berbeda dengan kebanyakan ulama lainnya dalam jaringan intelektual abad ke-16 – 21.
Dalam buku biografinya yang ditulis oleh Ali Yahya (1999) disebutkan Syafi’i Hadzami tidak membatasi diri pada ilmu tertentu. Ia menyukai berbagai bidang keilmuwan. Di masa-masa awal, setelah mempelajari al Qur’an beserta tajwidnya dengan baik, maka ilmu yang palin ditekuninya adalah tauhid. Fiqh, dan ilma alat (nahwu, sharaf, dan balaghah). Berbagaikitab matan ia hafalkan, terutama yang berbentuk nadzam. Khusus untuk ilmu-ilmu alat, ia memberikan perhatian yang khusus. Penguasaan yang mendalam tentang ilmu alat menjadi prioritas utamanya di masa-masa awal. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa pengembangan selanjutnya dalam penguasaan berbagai cabang ilmu keislaman akan sangat tergantung kepada penguasaan ilmu alat. Setelah memiliki penguasaan yang mendalam tentang ilmu-ilmu alat barulah ia menekuni ilmu-ilmu lain, seperti ilmu ushul fiqh beserta qawaidnya, mantiq, tafsir, ulumul hadis, tasawuf, falak,’arudh dan lain sebagainya.
Jaringan Intektual
Jaringan intelektual yang didapat Syafi’i Hadzami dari guru-gurunya terbatas pada jaringan ulama Betawi, yang dikenal sebagai masyarakat religius dan mengandalkan masjid sebagai pusat intelektual. Namun demikian, Syafi’i Hadzami memiliki jaringan intelektual ke atas (guru-gurunya), seperti KH. Mahmud Romli, (1866 M), KH Ahmad Marzuki (1876 M), yang berpuncak pada dua ulama Haramain ternama abad ke-17; Ahmad al-Qusyasyi dan Abdul Aziz al Zamzami.
Beberapa ulama yang dikunjungi Syafi’i Hadzami memberikan kemantapan ilmunya sekaligus memperdalam pengetahuannya dalam keilmuwan Islam. Syafi’i Hadzami sering diajak kakeknya untuk mengaji dan membaca dzikir di tempat Kyai Abdul Fatah (1884-1947 M) yang dikenal sebagai pembawa Tarekat Idrisiyah ke Indonesia setelah mendapat ijazah dari Ahmad al-Syarif al-Sanusi di Makkah (Tim Penulis, 1994). Dari gurunya ini, ia mendapat doa khusus. Waktu itu, ia ikut berdzikir bersama kelompok Tarekat Idrisiyah yang dipimpin oleh Kyai Abdul Fattah. Dalam zikir itu, Syafi’i Hadzami yang masih belia pernah mengalami fana’ (lupa dan hilang kesadaran diri) kerena dibimbing agar ingat kepada Allah semata. Ia tidak ingat persis bagaimana situasiya saat itu. Maka kyai pun memberinya doa khusus. Ia dipanggil secara khusus menghadap sang kyai. Kyai Abdul Fattah mendoakan Syafi’i Hadzami agar kelak menjadi orang baik (Ali Yahya, 1999).
Syafi’i Hadzami juga berguru kepada Pa Sholihin tentang ilmu bahasa Arab, nahwu dan sharaf selama 2 tahun. Dalam mengajar, Pak Solihin tergolong keras dan disiplin, seperti kakeknya. Sebagai seorang yang telah ikut berjasa, maka untuk mengenangnya, musholla tempatnya belajar dinamakam raudlatuh al sholihin.
Setelah mengaji al Qur’an kepada guru-gurunya, Syafi’i Hadzami mengaji kepada Guru Sa’idan di Kemayoran (1948 – 1995). Pada gurunya ini, ia belajar ilmu tajwid ilmu nahwu dengan kitab pegangan mulhat al-i’rab, dan ilmu fiqh dengan kitab pegangan al Tsimar al Yani’ah yang merupakansyarah dari kitab al Riyadh al Badi’ah. Guru Saidan pula yang menyuruhnya belajar kepada kepada guru-guru yang lainnya, misalnya Guru Ya’kub, Sa’idi (Kebon Sirih), Guru Khalid (Gondangdia), dam Guru Abdul Madjid (Pekojan).
Salah satu guru utama Syafi’i Hadzami adalah Habib Ali ibn Husein al Atthas yang terkenal dengan sebutan Habib Ali Bungur. Kepadanya Syafi’i Hadzami belajar lebih kurang 18 tahun, yaitu sejak 1958 – 1976. Seperti murid-murid Habib Ali lainnya (KH. S. Muhammad ibn Ali al Habsyi, Habib Abdullah ibn Abdul Qodir Bil Faqih, KH. Abdullah Syafi’i, KH. Tohir Romli, KH. Abdurrazaq Ma’mun, Prof. KH. Abu Bakar Aceh), Syafi’i Hadzami juga datang dengan membaca kitab dihadapan Habib Ali yang sering disebut dengan sistem sorogan.
Syafi’i Hadzami juga rajin mengikuti pengajian umum yang diasuh oleh Habib Ali ibn Abdurrahman al-Habsyi (Kwitang). Pada awalnya, ia diajak oleh kakeknya untuk menghadiri majlis yang bisa diadakan setiap hari Ahad. Bahkan, dari Habib Ali inilah ia mendapat kata pengantar berbahasa Arab dalam karyanya yang berjudul al Hajjat al Bayyinah.
Guru Syafi’i Hadzami yang lain adalah KH. Mahmud Ramli, seorang ulama besar Betawi. Selama 6 tahun (1950-1956), ia mempelajari kitab-kitab kuning, diantaranya Ihya Ulum ad Din, dan Bujayrimi. Selain Syafi’i Hadzami, murid-murid Guru Romli yang menjadi ulama terkemuka di Jakarta adalah KH. Abdullah Syafi’i, Thabrani Paseban, dan lain-lain.
Syafi’i Hadzami juga berguru kepada KH. Ya’kub Sa’di di Kebon Sirih. Selama 5 tahun (1950-1955) ia telah mengkhatamkan kitab-kitab mantiq dan ushuluddin, seperti kitab Idhah al Mubham, Darwis Quwaysini, dll. Sedangkan dalam ilmu Nahwu, ia belajar kepada KH. Muhammad Ali Hanafiyah seperti kitab; Kafrawi, Mulhat al i’rab dan Asymawi.
Beberapa guru Syafi’i Hadzami lainnya adalah KH. Mukhtar Muhammad (1953-1958), KH. Muhammad Shaleh Mushannif, KH. Zahruddin Utsman, Syaikh Yasin al Fadani, dan KH. Muhammad Thoha.
Jika dilihat dari guru-gurunya ini, tampak sekali Syafi’i Hadzami belajar kepada para ulama yang berasal dari luar Jakarta yang memiliki bobot intelektual yang luar biasa. Namun demikian, tingkat keilmuwan Syafi’i Hadzami tidak kalah dengan ulama-ulama lainnya yang hidup dalam generasi abad ke-20.
Sikap Terhadap Pembaharuan
Dalam setiap perubahan zaman, diperlukan suatu usaha baru untuk menafsirkan dan menyelaraskan agama dengan tuntutan zaman. Karena itu, pembaharuan diyakini sebagai cara untuk menyesuaikan agama agar tidak ketinggalan zaman. Inilah yang diyakini KH. M. Syafi’i Hadzami, bahwa pembaharuan sangat diperlukan oleh agama. Ini berarti ia tidak kaku dalam menyikapi perubahan dan perkembangan yang terjadi. Ia tidak menjadikan pandangan hidupnya menjadi suatu sistem yang tertutup dan kemudian memalingkan diri dari proses modernisasi.
Dalam menyikapi pembaharuan pemahaman ajaran-ajaran agama, KH. M. Syafi’i Hadzami bersikap cukup luwes dan tidak kaku. Dalam menghadapi gagasan-gagasan baru, ia tidak mau langsungmenolak atau menyetujuinya tanpa menimbangnya terlebih dahulu dengan pedoman syari’at. Jadi, pembaharuan dalam memahami agama bukan sesuatu yang harus ditolak, asalkan tidak keluar dari relnya dan ditangani oleh orang yang memiliki persyaratan- persyaratan untuk itu. Pandangan ini didasarkan pada teks hadis Nabi SAW bahwa setiap seratus tahun ada yang disebut mujaddid (pembaharuan). Dalam kehidupan beragama ini ada mujaddid, yaitu orang-orang yang memperbaharui pandangan-pandangan agama. Jadi, yang di perbaharui bukan agamanya, tetapi pandangannya. Ibarat mata yang sudah tidak bisa memandang dengan jelas, bila memakai kacamata, apa yang dipandang akan menjadi lebih jelas. Padahal, objek pandangannya sama saja. Jadi, bukan objeknya yang dirubah, melainkan alat untuk memandangnya yang perlu diperbaharui. Itulah tugas seoarang mujaddid.
Karya-karyanya
KH. M. Syafi’i Hadzami dikenal sebagai ulama produktif menuliskan pemikirannya dalam bentuk buku. Pada umumnya, karya-karyanya ditulis dalam bentuk risalah-risalah kecil dengan bahasa Indonesia bertuliskan arab. Karya-karyanya hampir semuanya ditulis pada era 80-an sebagai puncak intelektual sang kyai. Sedangkan pada tahun-tahun berikutnya, produktifitas menulisnya sudah mulai berkurang.
Karya terkenal KH. M. Syafi’i Hadzami adalah buku yang berjudul Tawdhih al Adillah, yang disusun acara tanya jawab yang diasuhnya di Radio Cenderawasih. Hingga kini, sudah terbit dalam 7 (tujuh) jilid dan telah berkali-kali dicetak ulang, yang peredarannya tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negeri jiran Malaysia.
Karya-karya lainnya adalah;
Bersamaan dengan perkembangan Islam di Jakarta dan semakin banyaknya kelompok ulama, lahirlah sososk ulama Betawi yang menjadi generasi kedua dalam jaringan intelektual Islam Betawi pada abad ke -20, yakni KH. M. Syafi’I Hadzami. Ia dilahirkan pada tanggal 31 Januari 1931 M bertepatan dengan 12 Ramadlan 1349 H. Orang tuanya bernama Muhammad Saleh Raidi dan Ibu Mini. Sejak awal kecil KH. M. Syafi’I Hadzami berada dibawah bimbingan kakeknya, Husein, di Batutulis XIII, Pecenongan. Disinilah KH. M. Syafi’I Hadzami mendapatkan bimbingan intelektual pertama dengan belajar Al Qur'an hingga fasih beserta tajwidnya. Selain itu, ia juga belajar ilmu sharaf dan nahwu. Pada usia 9 tahun, KH. M. Syafi’I Hadzami sudah khatam Al Qur'an. Dibawah asuhan kakeknya yang disiplin dan tegas.
Sejak kecil, KH. M. Syafi’I Hadzami senang melihat orang-orang pintar, terutama para kyai. Ia ingin menyamai mereka. Karena itu, ketika kecil, ia senang berpakaian seperti ulama. Namun, ia tidak tahu dari mana datangnya keinginan itu. Padahal dalam tradisi keluarga, ia tidak melihat ada kecenderungan untuk menjadi kyai. Barangkali didikan kakeknya yang selalu menyuruhnya untuk mengaji dan sering mengajak ke tempat-tempat para ulama itulah yang membuat Syafi’i kecil ingin menyamai mereka (Ali Yahya, 1999). Keinginan itulah yang menjadikan Syafi’i Hadzami gigih dalam menuntut ilmu.
Penggambarannya untuk memburu ilmu-ilimu agama hanya terbatas di wilayah Jakarta. Ini berbeda dengan kebanyakan perjalanan intelektual ulama-ulama terkenal lainnya yang menuntut ilmu ke beberapa tempat. Syafi’i Hadzami tidak pernah menempuh pendidikan agama di pondok pesantren atau madrasah apalagi belajar di Timur Tengah. Pengajian kitab di masjid yang hingga sekarang ini masih hidup di kalangan masyarakat Betawi telah menjadi tradisi intelektual yang paling berharga bagi Syafi’i Hadzami. Dapatlah dikatakan bahwa selain tempat ibadah, masjid juga berfugsi sebagai tempat mengajarkan dan menyebarkan Islam (Aziz, 1996). Tradisi mengajar agama di masjid sebenarnya bukanlah hal yang baru. Kebiasaan ini dapat ditemukan di hampir seluruh dunia Islam, khususnya di dua masjid utama di tanah suci, Makkah dan Madinah, yang menurut Van Bruinessen (1990) dianggap oleh umumnya muslim Asia Tenggara abad ke-17 sebagai pusat kosmik dan sumber ilmu.
Namun kemantapan hatinya, ketekunan, dan kekerasan usahanya, yang didukung dengan kesungguhan beribadah, ketinggian akhlaq, dan kederdasan otaknya, telah mengantarkan Syafi’i Hadzami meraih keberhasilan yang patut dibanggakan, setara dengan ketinggian ulama lainnya. Inilah kelebihan Syafi’i Hadzami dalam perjalanan intelektualnya yang berbeda dengan kebanyakan ulama lainnya dalam jaringan intelektual abad ke-16 – 21.
Dalam buku biografinya yang ditulis oleh Ali Yahya (1999) disebutkan Syafi’i Hadzami tidak membatasi diri pada ilmu tertentu. Ia menyukai berbagai bidang keilmuwan. Di masa-masa awal, setelah mempelajari al Qur’an beserta tajwidnya dengan baik, maka ilmu yang palin ditekuninya adalah tauhid. Fiqh, dan ilma alat (nahwu, sharaf, dan balaghah). Berbagaikitab matan ia hafalkan, terutama yang berbentuk nadzam. Khusus untuk ilmu-ilmu alat, ia memberikan perhatian yang khusus. Penguasaan yang mendalam tentang ilmu alat menjadi prioritas utamanya di masa-masa awal. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa pengembangan selanjutnya dalam penguasaan berbagai cabang ilmu keislaman akan sangat tergantung kepada penguasaan ilmu alat. Setelah memiliki penguasaan yang mendalam tentang ilmu-ilmu alat barulah ia menekuni ilmu-ilmu lain, seperti ilmu ushul fiqh beserta qawaidnya, mantiq, tafsir, ulumul hadis, tasawuf, falak,’arudh dan lain sebagainya.
Jaringan Intektual
Jaringan intelektual yang didapat Syafi’i Hadzami dari guru-gurunya terbatas pada jaringan ulama Betawi, yang dikenal sebagai masyarakat religius dan mengandalkan masjid sebagai pusat intelektual. Namun demikian, Syafi’i Hadzami memiliki jaringan intelektual ke atas (guru-gurunya), seperti KH. Mahmud Romli, (1866 M), KH Ahmad Marzuki (1876 M), yang berpuncak pada dua ulama Haramain ternama abad ke-17; Ahmad al-Qusyasyi dan Abdul Aziz al Zamzami.
Beberapa ulama yang dikunjungi Syafi’i Hadzami memberikan kemantapan ilmunya sekaligus memperdalam pengetahuannya dalam keilmuwan Islam. Syafi’i Hadzami sering diajak kakeknya untuk mengaji dan membaca dzikir di tempat Kyai Abdul Fatah (1884-1947 M) yang dikenal sebagai pembawa Tarekat Idrisiyah ke Indonesia setelah mendapat ijazah dari Ahmad al-Syarif al-Sanusi di Makkah (Tim Penulis, 1994). Dari gurunya ini, ia mendapat doa khusus. Waktu itu, ia ikut berdzikir bersama kelompok Tarekat Idrisiyah yang dipimpin oleh Kyai Abdul Fattah. Dalam zikir itu, Syafi’i Hadzami yang masih belia pernah mengalami fana’ (lupa dan hilang kesadaran diri) kerena dibimbing agar ingat kepada Allah semata. Ia tidak ingat persis bagaimana situasiya saat itu. Maka kyai pun memberinya doa khusus. Ia dipanggil secara khusus menghadap sang kyai. Kyai Abdul Fattah mendoakan Syafi’i Hadzami agar kelak menjadi orang baik (Ali Yahya, 1999).
Syafi’i Hadzami juga berguru kepada Pa Sholihin tentang ilmu bahasa Arab, nahwu dan sharaf selama 2 tahun. Dalam mengajar, Pak Solihin tergolong keras dan disiplin, seperti kakeknya. Sebagai seorang yang telah ikut berjasa, maka untuk mengenangnya, musholla tempatnya belajar dinamakam raudlatuh al sholihin.
Setelah mengaji al Qur’an kepada guru-gurunya, Syafi’i Hadzami mengaji kepada Guru Sa’idan di Kemayoran (1948 – 1995). Pada gurunya ini, ia belajar ilmu tajwid ilmu nahwu dengan kitab pegangan mulhat al-i’rab, dan ilmu fiqh dengan kitab pegangan al Tsimar al Yani’ah yang merupakansyarah dari kitab al Riyadh al Badi’ah. Guru Saidan pula yang menyuruhnya belajar kepada kepada guru-guru yang lainnya, misalnya Guru Ya’kub, Sa’idi (Kebon Sirih), Guru Khalid (Gondangdia), dam Guru Abdul Madjid (Pekojan).
Salah satu guru utama Syafi’i Hadzami adalah Habib Ali ibn Husein al Atthas yang terkenal dengan sebutan Habib Ali Bungur. Kepadanya Syafi’i Hadzami belajar lebih kurang 18 tahun, yaitu sejak 1958 – 1976. Seperti murid-murid Habib Ali lainnya (KH. S. Muhammad ibn Ali al Habsyi, Habib Abdullah ibn Abdul Qodir Bil Faqih, KH. Abdullah Syafi’i, KH. Tohir Romli, KH. Abdurrazaq Ma’mun, Prof. KH. Abu Bakar Aceh), Syafi’i Hadzami juga datang dengan membaca kitab dihadapan Habib Ali yang sering disebut dengan sistem sorogan.
Syafi’i Hadzami juga rajin mengikuti pengajian umum yang diasuh oleh Habib Ali ibn Abdurrahman al-Habsyi (Kwitang). Pada awalnya, ia diajak oleh kakeknya untuk menghadiri majlis yang bisa diadakan setiap hari Ahad. Bahkan, dari Habib Ali inilah ia mendapat kata pengantar berbahasa Arab dalam karyanya yang berjudul al Hajjat al Bayyinah.
Guru Syafi’i Hadzami yang lain adalah KH. Mahmud Ramli, seorang ulama besar Betawi. Selama 6 tahun (1950-1956), ia mempelajari kitab-kitab kuning, diantaranya Ihya Ulum ad Din, dan Bujayrimi. Selain Syafi’i Hadzami, murid-murid Guru Romli yang menjadi ulama terkemuka di Jakarta adalah KH. Abdullah Syafi’i, Thabrani Paseban, dan lain-lain.
Syafi’i Hadzami juga berguru kepada KH. Ya’kub Sa’di di Kebon Sirih. Selama 5 tahun (1950-1955) ia telah mengkhatamkan kitab-kitab mantiq dan ushuluddin, seperti kitab Idhah al Mubham, Darwis Quwaysini, dll. Sedangkan dalam ilmu Nahwu, ia belajar kepada KH. Muhammad Ali Hanafiyah seperti kitab; Kafrawi, Mulhat al i’rab dan Asymawi.
Beberapa guru Syafi’i Hadzami lainnya adalah KH. Mukhtar Muhammad (1953-1958), KH. Muhammad Shaleh Mushannif, KH. Zahruddin Utsman, Syaikh Yasin al Fadani, dan KH. Muhammad Thoha.
Jika dilihat dari guru-gurunya ini, tampak sekali Syafi’i Hadzami belajar kepada para ulama yang berasal dari luar Jakarta yang memiliki bobot intelektual yang luar biasa. Namun demikian, tingkat keilmuwan Syafi’i Hadzami tidak kalah dengan ulama-ulama lainnya yang hidup dalam generasi abad ke-20.
Sikap Terhadap Pembaharuan
Dalam setiap perubahan zaman, diperlukan suatu usaha baru untuk menafsirkan dan menyelaraskan agama dengan tuntutan zaman. Karena itu, pembaharuan diyakini sebagai cara untuk menyesuaikan agama agar tidak ketinggalan zaman. Inilah yang diyakini KH. M. Syafi’i Hadzami, bahwa pembaharuan sangat diperlukan oleh agama. Ini berarti ia tidak kaku dalam menyikapi perubahan dan perkembangan yang terjadi. Ia tidak menjadikan pandangan hidupnya menjadi suatu sistem yang tertutup dan kemudian memalingkan diri dari proses modernisasi.
Dalam menyikapi pembaharuan pemahaman ajaran-ajaran agama, KH. M. Syafi’i Hadzami bersikap cukup luwes dan tidak kaku. Dalam menghadapi gagasan-gagasan baru, ia tidak mau langsungmenolak atau menyetujuinya tanpa menimbangnya terlebih dahulu dengan pedoman syari’at. Jadi, pembaharuan dalam memahami agama bukan sesuatu yang harus ditolak, asalkan tidak keluar dari relnya dan ditangani oleh orang yang memiliki persyaratan- persyaratan untuk itu. Pandangan ini didasarkan pada teks hadis Nabi SAW bahwa setiap seratus tahun ada yang disebut mujaddid (pembaharuan). Dalam kehidupan beragama ini ada mujaddid, yaitu orang-orang yang memperbaharui pandangan-pandangan agama. Jadi, yang di perbaharui bukan agamanya, tetapi pandangannya. Ibarat mata yang sudah tidak bisa memandang dengan jelas, bila memakai kacamata, apa yang dipandang akan menjadi lebih jelas. Padahal, objek pandangannya sama saja. Jadi, bukan objeknya yang dirubah, melainkan alat untuk memandangnya yang perlu diperbaharui. Itulah tugas seoarang mujaddid.
Karya-karyanya
KH. M. Syafi’i Hadzami dikenal sebagai ulama produktif menuliskan pemikirannya dalam bentuk buku. Pada umumnya, karya-karyanya ditulis dalam bentuk risalah-risalah kecil dengan bahasa Indonesia bertuliskan arab. Karya-karyanya hampir semuanya ditulis pada era 80-an sebagai puncak intelektual sang kyai. Sedangkan pada tahun-tahun berikutnya, produktifitas menulisnya sudah mulai berkurang.
Karya terkenal KH. M. Syafi’i Hadzami adalah buku yang berjudul Tawdhih al Adillah, yang disusun acara tanya jawab yang diasuhnya di Radio Cenderawasih. Hingga kini, sudah terbit dalam 7 (tujuh) jilid dan telah berkali-kali dicetak ulang, yang peredarannya tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negeri jiran Malaysia.
Karya-karya lainnya adalah;
1. | Sullamu al Arsy fi Qira’at Warsy |
Risalah setebal 40 halaman ini berisi kaidah-kaidah khusus dalam pembacaan al Qur’an menurut Syekh Warasy. | |
2. | Qiyas adalah Hujjah Syar’iyyah |
Dalam risalah ini, dikemukakan dalil-dalil dari al Qur’an, Hadis, dan Ijma’ ulama yang menunjukkan bahwa qiyas merupakan salah satu argumentasi syari’ah. | |
3. | Qobliyyah Jum’at |
Dalam risalah ini membahas kesunatan shalat sebelum shalat jum’at dan hal-hal yang berkaitan dengannya. | |
4. | Shalat Tarawih |
Di dalamnya dikemukakan dan dijelaskan dalil-dalil dari hadis dan keterangan para ulama yang berkaitan dengan shalat tarawih. | |
5. | Ujalah Fidyah Shalat |
Risalah ini membahas perbedaan pendapat tentang pembayaran fidyah (mengeluarkan bahab makanan pokok) untuk seorang muslim yang telah meninggal dunia yang dimasa hidupnya pernah meninggalkan beberapa waktu shalat fardhu. | |
6. | Mathmah al Rubi fi Ma’rifah al Riba |
Dalam risalah ini dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan riba, seperti hukum riba, bank simpan pinjam, deposito, dan sebagainya. |
(dari berbagai sumber) www.kemenag.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar